Setelah Juda kembali memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, ia dan Danis pun beranjak menuju pintu keluar. Danis membuka pintu dengan menarik kenopnya, bersamaan dengan dorongan yang berasal dari luar. Martin muncul dengan tampilan sehari-harinya untuk bekerja. Celana jeans dan kaus oblong. Sangat kasual. Sama seperti saat ia nongkrong. Terlihat kelebatan tidak senang di wajah Martin sekilas saat melihat Juda mengintip dari balik bahu Danis. Namun, sepertinya Juda tidak terlalu memperhatikan. Karena di detik selanjutnya, wanita itu menyeruak maju untuk menyapa Martin. “Hai, Martin,” sapa Juda dengan nada ceria yang terdengar akrab. Setidaknya itu yang tertangkap telinga Danis meski wajah Juda menampilkan ekspresi datar. “Hai, Ju. Udah mau balik?” Martin membalas dengan senyum tipis sembari memberikan lirikan tidak suka ke arah Danis. Juda mengangguk. Kemudian mereka menukar posisi. Juda melangkah keluar diikuti Danis, sementara Martin melangkah masuk ke dalam apartemen.
Danis langsung kembali naik ke unit apartemennya—lebih tepatnya apartemen Martin yang ia tumpangi—begitu taksi yang membawa Juda pergi sudah berbelok meninggalkan area gedung apartemen. Danis sebenarnya agak malas berhadapan dengan Martin yang pasti akan langsung menceramahi dirinya. Namun, Danis tidak punya pilihan lain. Saat masuk ke dalam, mata Danis langsung berserobok dengan manik mata Martin yang saat ini tengah duduk di sofa yang langsung tepat menghadap pintu apartemen. Tatapan itu membuat Danis semakin merasakan pahit. Sebesar itu kesalahannya, hingga Marti memandangnya dengan penuh kekecewaan. “Ngelihat kalian berdua tadi, gue bahkan nggak perlu jadi orang cerdas buat tahu udah seberapa jauh hubungan kalian berkembang dalam waktu sesingkat ini.” Martin mendecih. “Lo sama sekali nggak tahu dampak yang bakal lo timbulkan karena ketololan lo ini?” Sahabat Danis itu beranjak dari tempatnya duduk menuju ke dapur. Ia menuang vodka ke dalam gelas dan meminumnya seperti meneguk
Kabar tentang Juda yang 'menikung' suami Grita dengan cepat menyebar dari telinga ke telinga, dari mulut ke mulut, hingga saat sampai kepada Juda, kabar itu sudah dibumbui dengan bermacam-macam tambahan yang membuat Juda terlihat amat sangat buruk di mata teman-teman satu angkatannya yang baru satu minggu yang lalu ia temui di acara reuni.Mereka membicarakan dan menghujat Juda di grup alumni angkatan dengan sengit dan terang-terangan, seolah-olah Juda tidak tergabung di sana. Dan sesungguhnya, ini jauh lebih buruk dan memalukan daripada saat ia dituduh merebut Edgar dari Sonia hingga dilabrak ke sekolah dulu. Dulu, orang-orang dengan cepat lupa karena ada kabar panas yang menggegerkan satu sekolah—seorang siswa kelas dua di sekolah mereka ketahuan membuang bayi yang baru saja ia lahirkan di sebuah bangunan kosong yang berada di dekat sekolah.Dan sekarang, tidak ada berita yang bisa mendistraksi mereka. Seolah perseteruan Grita dan Juda kali ini adalah puncak dari permusuhan mereka b
Ema nyengir lebar. Kemudian kembali mendudukkan bokongnya di sofa dengan nyaman. “Ini beneran mau kita diemin aja mereka?” tanya Ema. “Terus gue musti ngapain? Udah lah biarin aja mereka bacot sesuka hati.” “Nggak bisa gitu, dong, Ju. Nama baik lo jadi pertaruhan.” “Gue bukan artis, Em. Masa gue harus bikin konferensi pers buat nambahin bahan gosip mereka?” Ema mencebik. Ia gemas sekali dengan sikap Juda. “Tapi ini tetep harus dilurusin, Ju. Gue sakit hati banget ngeliat lo diginiin.” “Ntar dulu lah. Yang lebih urgent bukan itu.” Mata Ema membola lebih besar. “Lo kenapa terlibat masalah mulu sih, ASTAGA!” Erangan Ema terdengar sangat dramatis. “Masalah apa yang lebih penting daripada ngurusin martabat lo sebagai seorang cewek? Sumpah deh, Ju. Ini lo dituduh jadi pelakor dan lo masih mikir ada yang lebih urgent dari itu?” Juda memasang wajah datar. “Kalau misal lo sama Danis udah sampai tidur bareng, gue nggak kaget.” Bantal melayang tepat menegnai wajah Ema hingga wanita itu
Meski sudah berusaha mengulur-ulur waktu, Juda tidak bisa mengelak dari Danis yang sudah sejak kemarin gatal ingin segera menginterogasi dirinya tentang hubungan wanita itu dengan Guntur.“Wow,” kata Danis melihat tampilan Juda pagi itu.“Nggak usah komentar. Kamu ke sininya kepagian. Jadi, selamat menikmati penampilan cantik aku di pagi hari,” kata Juda dengan jemawa. Meski nadanya bercanda, Juda mengatakannya dengan ekspresi datar.Juda keluar dari kamar kos tanpa memedulikan tampilannya yang seperti gembel. Rambutnya mengembang dan mencuat sana sini seperti singa. Kausnya yang sudah lusuh berkat dimakan oleh waktu tampak kusut karena ia tidak bisa tidur hingga subuh dan hanya guling-guling tidak jelas di atas kasur. Baru saja Juda akan memejamkan mata, Ema tiba-tiba muncul di depan gerbang indekosnya dalam keadaan setengah mabuk dan mereka pun malah mengobrol tentang banyak hal hingga Juda melupakan niatnya untuk tidur.Ini memang sangat bukan Juda. Selain saat bersama Ema dan kelu
Di indekos yang Juda sewa, ada teras yang cukup lebar. Pemilik indekos menempatkan meja dan kursi di sana, yang memang khusus disediakan untuk para tamu yang datang berkunjung−sementara itu hanya keluarga yang boleh masuk sampai ke kamar. Dari teras, Juda tinggal berjalan ke sayap kiri untuk menuju dapur bersama yang sesungguhnya jarang Juda singgahi.Saat jarak di antara mereka berdua tinggal tiga meter, dari arah berlawanan mendadak muncul seorang laki-laki muda menyapa Juda dengan akrab. Juda mengobrol selama beberapa saat dengan laki-laki itu, yang kemudian pamit untuk pergi.“Jadi ini kos-kosan campur?” tanya Danis saat Juda meletakkan teko dan gelas di atas meja lalu duduk di kursi yang bersebarangan laki-laki itu.Juda menuangkan minuman ke masing-maisng gelas seraya mengangguk.“Kenapa nggak ngekos di kos-kosan yang khusus cewek aja?” Dari cara Danis bertanya tidak terdengar nada menghakimi. Sebab, Danis tahu, ia tidak berhak. Tidak ada yang salah juga tinggal di indekos campu
“Aku nggak suka kamu manggil aku begitu,” tukas Juda melenceng dari pembahasan. Tampak kekesalan membayangi wajahnya. “Aku nggak salah di sini, tapi kamu juga seolah mau mojokin aku. Tadi katanya kamu cuma mau tahu kan? Bukan mau marah-marah gini.”“Aku nggak marah, Ju. Kenapa kamu pikir aku marah sama kamu?”“Kamu marah kalau kamu udah mulai manggil aku Juda,” koreksi Juda.Danis menghela napas keras-keras. Seolah sedang berusaha menghilangkan ganjalan yang menyesaki jalan napasnya.“Aku beneran nggak marah. Aku cuma lagi mikirin dampak dari perbuatan kamu, Ju,” geram Danis dengan gemas.“I didn’t do anything wrong. Aku tuh cuma iseng, Danis. ” balas Juda bersikukuh. Sebab ia memang tidak melakukan sesuatu yang curang. Ia hanya sedang apes saja karena bertemu dengan lelaki beristri yang hobi berselingkuh.“Kalau kamu cuma iseng, kenapa kamu bisa sampai terlibat masalah ini?”Juda mendengkus. “Ya aku emang iseng, tapi kan tetep serius waktu swipe kanan swipe kiri.”Danis geleng-geleng
Tentu saja bukan respons itu yang Danis kira akan Juda lontarkan kepadanya. Danis sudah nyaris kalang kabut menyiapkan jawaban−jawaban bohong tentu saja, sebab Danis belum siap menjelaskan hubungannya dengan Renata yang kandas−jika Juda bertanya tentang statusnya.“Aku berharap kita berhasil ngelewatin satu bulan ini dan yakin buat melangkah ke jenjang yang lebih serius,” Danis menjawab diplomatis.Juda melotot. “Jangan gila! Aku nggak ingat kita pernah ngobrol soal melangkah ke jenjang yang serius atau apa pun itu.”“Jangan langsung panik gitu dong, Ju. Maksud aku, kita pacaran dulu. Sekarang kan kita statusnya masih magang.”Juda segera mengembuskan napas lega. “Kirain kamu langsung pengen nikah. Aku nggak siap kalau itu.”Danis tersenyum kecut. Tentu saja ia tidak akan menawarkan pernikahan kepada Juda dalam waktu dekat sebelum urusannya dengan Renata selesai. Danis hanya berharap jika perceraiannya dengan Renata tidak mengalami kendala dan bisa berlangsung dengan cepat tanpa banya