Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.
Yah. Selalu begitu.
Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.
Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.
Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
"Emang selalu gitu, ya?""Hm?""Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?""Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Car
"Ane, kemaren gue lihat Tama makan di mall bareng cewek, kayak Pat sih. Dia ... emang masih berhubungan, ya sama Patricia?"Tadi siang Satika sengaja datang ke VER. Memboyong setumpuk tupperware berisi menu makan siang yang usut punya usut dimasak langsung oleh Tante Riya—ibunya yang juga adik dari ayah Zianne—dalihnya sih, itung-itung sebagai perayaan atas kehamilan Zianne yang telah memasuki minggu ke delapan.Di atas sofa tempatnya duduk, Zianne sendiri baru berniat untuk menyendok sup krim asparagus yang beberapa hari ini memang kerap dia angan-angankan kegurihannya. Namun, segala bentuk antusiasme pun bayangan akan betapa nikmatnya menyantap masakan Tante Riya yang sudah teramat diidam-idamkannya itu, justru seperti begitu saja pecah secara berhamburan sewaktu Satika mulai mengungkit soal Tama.Tentu.Karena, Zianne tahu. Dia selalu tahu bahwa bagi Tama, ta
Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe."Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyele
"Mbak Ane?"Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya."Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru.""Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius."Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?""Yang Ti
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.