Share

6. Kontradiksi

Author: SIMBAAK
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir.

"Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.

Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.

Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

Oh, tentu mereka wajib memanfaatkan peluang lah. Bagaimanapun juga mereka lagi naik daun. Terlebih, di sepanjang tahun kemarin rapor penjualan mereka terbilang gemilang bersama raupan nyaris dua belas juta penonton untuk total empat film yang dirilis—tiga di antaranya box office dan Tama produseri sendiri sedang satu sisanya, pria itu hanya menyandang tanggung jawab sebagai Executive Producer. Di mana, kesemuanya itu benar-benar dijalani Tama dengan penuh jungkir balik.

Serius.

Masih segar kok dalam benak Patricia hari ketika Tama datang bersama wajahnya yang super-keruh akibat gagal memperoleh pendanaan dari investor, atau hari sewaktu kedua netra Tama yang sehitam arang itu seolah berkobar sarat akan semangat gara-gara baru saja berhasil meng-hire salah seorang Sutradara incarannya. Juga, ratusan hari-hari lainnya yang tak kalah kaya akan cerita.

Dan, bagaimana Patricia bisa tau hingga sedetail itu?

Oh, masihkah harus ditanya?

Jelas, sebab Patricia bukanlah Zianne. Sehingga Tama tak harus menyimpan rahasia darinya. Seremeh apa pun itu.

Lalu, yang satu ini mungkin adalah salah satu contoh kecilnya.

"Ada janji ketemuan bareng orang dari BPI, harusnya sih nanti agak sorean, tapi katanya mumpung siang ini dia masih di Palmerah, bentar lagi mau terbang ke Jogja soalnya," beber Tama jujur seperti biasa. Yang mana Patricia sih yakin, yah, kendati pun dengan kalimat tanya serupa, jawaban yang sama belum tentu akan Tama berikan jika pelontarnya merupakan orang lain—sekalipun itu seorang Zianne.

Ah, perlukah Patricia merasa sedikit berbangga diri akan keunggulan yang berhasil diraihnya tersebut?

Sebuah senyum sukses ditelannya bulat-bulat persis saat dia memutuskan untuk berujar tenang, "Ya udah. Gih, berangkat!"

Dua detik Tama seperti tengah dipaksa guna berpikir keras—yang entah apa itu gerangan—sampai-sampai pria itu menyeletukkan sesuatu yang lekas dihalau dengan sempurna oleh Patricia, "Tapi—"

"Nggak mungkin kan kamu serius mau ikut naik?"

Tama mengernyit. Entah dia terkejut, bingung, atau tak setuju. Entahlah, Patricia sedang tak ingin mengira-ngiranya.

Perempuan itu lantas melambai asal ke udara. "Ini VER loh," tuturnya seolah Tama tak tau di mana kiranya mereka tengah berada. "Yang di setiap penjuru gedungnya, teramat tau kalau kamu itu, ya, Argatama. Pasangannya Zianne. Nggak mungkin kan kamu lupa?

"Dan, yakin mau bikin kegaduhan sekarang? Nggak cukup sama kemungkinan kita di sini yang bisa aja lagi ketangkep kamera CCTV?"

"Aku nggak apa-apa," ucap Tama yang sialnya terdengar cukup sungguh-sungguh, "tapi ... kamu?" imbuhnya tak berselang lama.

Patricia lurus-lurus menatap sepasang mata milik Tama yang seandainya dia memaksa untuk ikut larut tak berkedip, layaknya apa yang saat ini sedang Tama lakukan, boleh jadi dialah yang bakal lebih dulu tersesat dalam jeratan pandangan super-intens pria itu.

"Aku ... jelas apa-apa lah." Patricia akhirnya kuasa mengutarakannya selepas mengehela sepenggal napas berat.

"Oke." Pria itu mengangguk—tanpa menyudahi kontak yang ada—mengerti. Mengerti bila apa yang Patricia butuhkan, apa yang Patricia rasakan juga apa yang Patricia pentingkan, kedudukannya terang lebih utama dari apa pun untuk saat ini. "Aku tinggal?" usul Tama setelahnya.

"Sure."

"Aku jemput pulangnya?"

"Nggak usah. Aku bukan anak SD yang  bakal kehilangan arah buat pulang cuma gara-gara nggak ada yang ngejemput."

Tama nyaris saja menerbitkan segaris senyum gelinya demi merespons perkataan konyol Patricia. Namun, toh, nyatanya perempuan itu memang selalunya mampu bertindak lebih gesit guna memupus segala euforia dalam hati Tama—melalui sebuah pembahasan yang terus-menerus sama, khususnya di beberapa waktu belakangan ini—dengan berujar, "Dan, enggak kah kamu pengen biasain diri? Coba deh, sesekali jemput lah Zianne. Apalagi, udah ada calon anak kamu juga loh sekarang!"

Tama berdecak. Entah apa sebenarnya niat Patricia mengkonfrontasinya macam begitu. Yang pasti, Tama tak suka.

"Patricia, enough, oke?" gumam Tama, memperingatkan.

"Oke. Kalau gitu, mau titip salam buat Zianne ... mungkin?"

"Patricia ...?"

"Iya, Tama?" Perempuan itu menelengkan kepalanya ringan dengan sengaja—menggoda.

"Jangan bercanda!"

"Katanya tadi, nggak takut." Kali ini perempuan itu sukses melipat lengannya di bawah dada seakan sibuk menantang.

Dan, Tama memang tertantang. Terbukti detik berselang pria itu lalu menyergah, "Memang nggak."

"Terus?"

"Denger!" Argatama mengambil jeda nyaris lima detik untuk menyetabilkan arus respirasi. "Jika ada yang bikin aku cemas itu cuma satu. Yaitu, kalau gara-gara aku justru kamu lah yang jadi harus kena masalah. Kamu lah yang bakal nanggung banyak luka. Itu yang paling aku khawatirkan. Jadi, berhenti ngomongin soal Zianne dengan cara kayak gini!"

"Cara kayak apa?"

"Cara seolah kamu baik-baik aja. Faktanya, kamu nggak begitu. Berhenti pura-pura! Karena, kamu nggak harus merasakan semua luka-luka itu."

"Terus, siapa yang pantas ngerasain semua itu?" todong Patricia, suaranya sama sekali tak terdengar memburu meski hatinya tiada henti menggebu.

"Zianne?" sebutnya lagi sewaktu Tama hanya diam. "Kamu yakin nanti bisa ngelepas dia walau sekarang kondisinya udah beda?"

Lalu, itu mungkin belum genap satu detik ketika Tama menjawab dalam gumaman, "Iya."

***

Related chapters

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    7. Promenade Sentimentale.

    "Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    12. To Tears And Memory.

    "Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    13. Bintang Yang Tak Dapat Dilihat.

    Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    14. Refleksi.

    Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m

Latest chapter

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    14. Refleksi.

    Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    13. Bintang Yang Tak Dapat Dilihat.

    Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    12. To Tears And Memory.

    "Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    7. Promenade Sentimentale.

    "Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    6. Kontradiksi

    Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

DMCA.com Protection Status