Share

7. Promenade Sentimentale.

Penulis: SIMBAAK
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.

Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.

Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.

Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksudkannya adalah benar Patricia. Namun, yang betul saja, minta foto?

Zianne bahkan tak lagi merasa yakin dengan bagaimana nanti reaksinya apabila langsung dihadapkan dengan sosok Patricia. Seseorang yang telah lebih dari setahun ini, selalu coba diamatinya dari jauh.

Tanpa sadar Zianne malah jadi mengeluarkan sebentuk decakkan resah, yang membuat Usa di sampingnya, semakin gencar guna menuntut, "Tuh, kan! Mbak Ane mau istirahat?"

"Hm? Memang?"

"Mbak Ane pucat." Usa membeberkan. "Mau gandeng lengan saya?" susulnya menawarkan, lengkap dibarengi oleh sorot was-was dari kedua netranya yang kian kental.

Zianne sendiri refleks tersenyum ringan. Selain, dia hendak membuktikan pada Usa soal kondisinya, dia juga kerap merasa lucu.

Em, bagaimana, ya?

Usa itu sudah layaknya adik yang tidak pernah dimilikinya. Gadis itu di waktu-waktu tertentu, bisa berubah menjadi sangat protektif. Jauh. Teramat jauh sekali lebih protektif bahkan jika dibandingkan dengan Sarien. Contohnya, sekarang. Zianne tahu pasti kalau Usa tentu hanya bereaksi berlebihan saja. Seperti biasa saat jiwa Protektornya sedang kumat.

"It's okay, Sa. Saya baik," ujar Zianne menenangkan.

"Tapi, saya takut Mbak nanti limbung. Pucat banget gitu. Atau, mau balik ke atas aja? Biar saya panggilin dokter?"

"Serius. Saya baik." Zianne makin memperlebar tarikkan otot-otot di sekitar bibirnya. "Eh, boleh nggak sih kamu ntar hubungi Pak Yugas? Minta kalau bisa, ketemuannya jangan di Cengkareng, ya?"

Usa mengangguk. "Siap, Mbak. Buat rapat bareng Tim Export mau saya batalkan sekalian?"

"Eh, jangan dong! Kayaknya, mereka ada perkara yang urgent buat dibahas. Nggak apa. Saya cuma pengen ketemuan di dekat-dekat sini supaya bisa sambil mampir ke tempat Bu Rien, kok," jelas Zianne yang lantas kembali diangguki Usa secara patuh.

"Lewat sebelah sini, Mbak." Tak berselang lama, Usa lalu menunjuk sebuah lorong. Membimbing perjalanan dalam jarak sekitar lima meter, Usa kemudian membukakan sebuah pintu kayu jati berpelitur rumit—satu-satunya ruangan berpintu kayu di VER—untuk Zianne.

Dan, tepat pada saat pintu pelan-pelan terdorong, ruangan serba putih di dalam sana pun kian jelas terlihat. Bersamaan dengan itu, seberkas suara mulai berbondong-bondong menyerbu, menyusup ke curamnya lembah telinga Zianne.

Itu ... sungguhan.

Tampak secara nyata. Nun, di depan sana, persis di atas wooden bench, menghadap sebuah grand piano—yang Zianne tahu memang sejak dulu, selalu tersimpan di sana untuk keperluan VER—terduduklah sesosok perempuan.

Rambutnya berkibar halus, mungkin karena terkena embusan blower di sudut ruangan yang dibiarkan menyala. Sedang, sepasang netranya pun memejam ringan. Namun, kesepuluh jemarinya terus bergerak lihai ke kiri dan kanan, sesekali mereka bahkan melayang di udara. Sebelum, kembali cekatan mendarat, menyentuh tuts, merangkai melodi-melodi klasik yang bahkan sanggup to remind you of something going on in your life at the moment.

Jujur. Zianne tidak benar-benar dapat meyakini musik apa kiranya yang tengah Patricia mainkan. Dia buta nada. Akan tetapi, walau dia tidaklah mengerti apakah itu an alto third, deep bass atau bahkan mezzo-soprano. Namun, Zianne tahu bahwa ada keindahan yang terpancar dari musik yang sedang Patricia pertontonkan.

Itu ... boleh jadi sudah nyaris satu menit lewat. Sewaktu nada-nada halus yang Patricia ciptakan mendadak berubah menjadi sedikit memburu dengan nada-nada yang seperti patah-patah di setiap ujungnya.

Mendengarnya, Zianne bahkan sampai dibuatnya terpaku. Angannya seolah terlempar begitu saja ke sebuah hari, di mana dirinya masih berusia lima tahunan.

Di kediamannya yang luar biasa megah. Pada kawasan taman di belakang rumahnya yang mungkin hampir setara luasnya dengan setengah lebar lapangan sepak bola. Di balik rimbunnya dedaunan juga warna-warni bunga. Ada sebuah ayunan kayu. Zianne tak terlalu ingat siapa gerangan yang membuatnya dan menaruhnya di sana. Tapi, dia masih sangat ingat jika dia memang pernah duduk di atasnya.

Tidak sendiri. Dulu, di kiri serta kanannya hadir pula sosok Ibu pun Ayahnya. Mereka bersama-sama mendorong ayunan yang Zianne duduki hingga terayun dengan tinggi, membuat Zianne sontak tertawa-tawa kencang. Sesekali tawa itu bahkan mampu membubarkan kawanan burung-burung gereja yang kerap sengaja hinggap di dahan-dahan.

Serta, itu bisa dibilang merupakan salah satu akhir pekan terbaik dalam perjalanan hidup Zianne yang sampai hari ini, Zianne masih percaya bakal sulit untuk dapat tergerus atau pun tertandingi oleh momen-momen lain.

Kemudian, ketika melodi-melodi Patricia mulai terdengar sayup-sayup saja, saat itulah Zianne seperti bisa menangkap kembali gambar senyum rekah milik Ayah dan Ibunya. Senyum yang terakhir diulas—yang saking lamanya sudah tak pernah Zianne saksikan, kadang ia jadi lupa seperti apa wujud persisnya—bersama sebuah pesan, bahwa Zianne haruslah hidup sesuai dengan apa yang Zianne inginkan.

Lalu, benarkah hidup seperti ini yang sungguh Zianne inginkan?

Hidup di mana di depan matanya, kini Patricia sudah tertangkap berdiri. Jaraknya mungkin dua langkah saja dari arahnya.

Zianne belum mempersiapkan diri. Dia juga belum tahu harus memajang raut macam apa pada permukaan wajahnya. Namun, perempuan di hadapannya justru keburu menyodorkan sebelah telapak tangannya ke sisi Zianne.

"Patricia," sebutnya kemudian, lengkap bersama selukis senyum di bibir.

Zianne tak otomatis menyambut. Dia malah larut untuk termangu memerhatikan tangan itu, sepersekian detik.

Tangan itu ....

Yah. Tangan itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang bukan sekali-dua kali saja acap dilihatnya berada dalam genggaman erat Tama. Sesuatu yang hingga detik ini, nyaris tak pernah tangan Zianne rasakan.

Tangan itu juga adalah tangan yang sering kali digunakan untuk menyisir surai Tama. Sesuatu yang Zianne bahkan tak ingat, pernahkah dia melakukannya secara sadar pada Tama?

Tangan itu pun adalah tangan yang tak pernah lupa untuk Tama simpan di atas dadanya, dikecupinya dengan berjuta perasaan. Sesuatu yang Zianne bahkan tak berani untuk coba-coba membayangkan seperti apa rasanya.

Zianne sontak melepaskan keterguguannya, tentu bersama segala bayang-bayang sosok Tama dan patricia yang seakan begitu saja pecah berhamburan bagai kaca dalam benaknya.

Mengangkat pandangan, dia tataplah lurus-lurus sosok Patricia.

Tinggi mereka tak terpaut terlalu jauh. Zianne mungkin unggul satu-dua sentian. Surainya hitam legam, jatuh membentuk tirai dengan sempurna hingga sebatas pinggulnya yang ramping.

Dia cantik. Mata pun hati Argatama memang jeli.

Pelan-pelan menjulurkan tangan, Zianne lantas merangkum jari-jari Patricia menggunakan jari-jemarinya. Mereka saling bersalaman—bersentuhan untuk pertama kalinya—tak lama, bibir Zianne berujar, "Salam kenal."

Sayangnya, gejolak itu tiba-tiba datang menyerang. Zianne tak kuasa menahannya. Dan, Zianne tahu bersamaan dengan itu, dia baru saja sukses menabuh genderang perang pada Patricia.

Oh, apakah itu hidup yang diinginkannya—atau, malah oleh calon buah hatinya?

Entahlah.

***

***

Bab terkait

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    12. To Tears And Memory.

    "Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    13. Bintang Yang Tak Dapat Dilihat.

    Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    14. Refleksi.

    Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    1. Bukan Dido dan Aeneas.

    "Emang selalu gitu, ya?""Hm?""Perempuan dianggap konsentrasi hidupnya sebatas sumur, dapur, kasur melulu."Tama meletakkan gelas bekas kopinya ke kitchen sink, urung untuk menggosoknya dengan sabun pria itu lantas berbalik badan kilat dan berujar, "Kok?""Barusan aku ikut menandatangani petisinya Miranda Lim." Tama mengangguk—menyampaikan bahwa dia siap mendengar segala keluh kesah perempuan yang kini duduk di hadapannya di bar stool. "Ya kali nggak ada satu pun komposer perempuan yang masuk silabus di program akademik yang disusun sama Maxwel?"Karena, komponis perempuan nggak menonjol di tradisi western art music, katanya?" Perempuan itu terkekeh, mengejek. "Clara Schumann, Barbara Strozzi, mereka ini apa kalau bukan perempuan? Oh, My God!"Nggak ngerti lagi deh, padahal jaman udah terus berkembang maju. Okelah, waktu Car

Bab terbaru

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    14. Refleksi.

    Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    13. Bintang Yang Tak Dapat Dilihat.

    Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    12. To Tears And Memory.

    "Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    7. Promenade Sentimentale.

    "Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    6. Kontradiksi

    Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

DMCA.com Protection Status