Home / Romansa / ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN ) / 3. Symphony No. 6, Pathétique.

Share

3. Symphony No. 6, Pathétique.

Author: SIMBAAK
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe.

"Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.

Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.

Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyeletukkan sebuah tebakkan, "Telur dadar?"

Patricia cuma mesem sambil mengangkat sepasang pundaknya enteng. "Kali ini kalo kurang garem ngomong!"

Dan, itu berarti Tama benar kan?

"Kapan emang pernah kurang garem?" Pria itu melontarkan gumaman, yang praktis mematik munculnya desisan sebal Patricia.

Oh, ayolah! Tidak tahu bila itu bagi perempuan lain, tapi bagi Patricia, tentu lebih baik jika dia harus mendengar kejujuran dari mulut Argatama-entah seburuk apa pun itu, termasuk juga di dalamnya terjembrengnya fakta mengenai kehamilan Zianne-daripada malah mesti menjadi pihak yang terus-menerus tak tahu apa-apa.

Iyalah. Karena, Patricia sendiri bahkan ragu kalau dia akan bisa bersikap layaknya Zianne. Yang diserbu oleh seribu satu tipu daya, namun tetap tegak berdiri dengan tenang?

Huh! Really? Patricia saja merasa tidak yakin, kok jika Zianne itu masih tidak tahu apa-apa, tentang semua yang telah terjadi di balik punggungnya dalam kurun satu tahun belakangan ini.

Bagaimanapun juga, perempuan itu jelas-jelas berasal dari golongan hartawan, memiliki kekuasaan yang mungkin terletak dalam jentikkan jari-jemarinya serta, tolong jangan lupakan soal intuisinya sebagai seorang perempuan. Jadi, harusnya sih tidak sulit lah untuk Zianne untuk mampu mengendus sesuatu yang selama ini coba dia dan Tama simpan rapat-rapat berdua.

Lagi pula, kembali lagi ke poin kejujuran, bukannya itulah yang menjadi pembedanya dengan Zianne? Tama tak pernah sekali pun menipunya di masa lalu, hal tersebut juga akan Patricia pastikan agar tak akan terjadi pula di masa kini, pun berlaku hingga kedepannya nanti. Yah. Tama tidak boleh membohonginya, tidak meski itu hanya secuil dan remeh.

"Sering," ujar Patricia seraya menipiskan bibirnya. "Kapan hari waktu aku bikin gulai daun singkong itu asin banget loh. Tapi, kamunya malah sok enak-enak aja. Nyebelin tau!"

"Terus maunya gimana?"

"Ya, bilang! Kalau enak, ya enak. Nggak, ya nggak. Mau itu kemanisan kek, keasinan kek, atau segala kepedesan kek, bilang! Biar kemampuanku meningkat gitu loh."

"Emang kalau kemampuan kamu meningkat setelahnya mau apa? Buka warteg?" tanggap Tama yang sewaktu Patricia melirik, tampak di bibirnya hadir segurat senyum miring yang luar biasa tipis. Yang mana jika mereka bukan dua orang yang telah saling mengenal sejak jaman purba-istilahnya-boleh jadi itu baru bakal ketahuan kalau sudah dikeker via teleskop!

Dan, yah, Patricia tahu betul kalau Tama sekarang sedang berusaha menggodanya. Benar-benar deh!

"Ya, nggak gitu! Seenggaknya kalau kemampuanku meningkat kan aku bisa lebih percaya diri," kilah perempuan itu seraya melarikkan pandangannya ke lingkungan sekeliling cafe.

To be honest, sama kayak namanya, Deus Ex Machina-yang kerap didatanginya bersama Tama sejak pria itu resmi beristri-memiliki bangunan yang terbilang lumayan tua nan reot untuk berdiri di tengah-tengah barisan gedung pencakar langitnya kota Jakarta.

Selain itu, menu yang kerap ditawarkannya pun, yah so-so lah. Di luar itu, pengunjungnya bahkan kadang tak ada-dengan kondisi sepayah itu, entah jurus apa yang diam-diam mereka lakukan di balik dapur dan buku besar dalam setahun ini, sehingga mereka masih sanggup lolos dari ancaman gulung tikar.

Namun, di samping bertaburnya segala kengenesan tersebut, bagaimanapun juga utamanya untuk Patricia serta Tama, Deus Ex Machina tak ubahnya sepotong solusi. Berjarak sekitar lima belas menit saja perjalanan dari ME Entertainment-kantor tempat Tama sibuk bekerja, yang bahkan kadang digelutinya bagai kuda.

Nuansanya yang tampak hitam-putih nyaris di seluruh sudut bangunan, lengkap diselingi oleh pemandangam berupa cat-cat yang mengelupas secara tidak aesthetic. Kecil kemungkinan bagi mereka untuk tertangkap mata jika bertemu di sana.

Oke, walau Tama terkesan cuek saja bilapun ada yang memergokinya jalan bersama Patricia. Namun, itu tidak berlaku bagi Patricia sendiri. Setidaknya, janganlah secepat ini.

"Percaya diri untuk apa?" Suara berat Tama yang nadanya terdengar rendah begitu saja menghempas lamunan Patricia.

Berdeham beberapa kali, Patricia masih melarikan netranya ke mana-mana saat mencetuskan jawaban yang tak kalah pelannya, "Berdiri. Di sisi kamu."

Tama kontan terbisu. Entah apa yang sekarang riuh hilir-mudik dalam benaknya. Akan tetapi, toh, dia terus bertahan demi menyoroti perempuan di hadapannya lekat-lekat sampai segaris senyum tiba-tiba terulas secara sempurna di atas wajahnya.

"Oke. Next time, aku bakal selalu ngomong. Jujur. Tapi, emang beneran enak, kok apalagi waktu udah dicampur pake sambel terasi kuahnya." Tama mengacungkan sebelah jempolnya ke udara. "Lagian, kamu berdiri di sisiku nggak sebagai koki, kalau-kalau kamu butuh diingatkan."

Membalas senyuman Tama melalui putaran bola mata, Patricia berbisik, "Thanks."

Mengangkat dua pundaknya, Tama mulai mematutkan perhatiannya ke arah tupperware di depannya sewaktu bertanya, "Mau ketemu klien siapa gitu?"

"Kukasih tau juga kamu nggak bakal percaya," tuduh Patricia seraya bersandar pada punggung kursi.

"Kok?" Tama lantas menempatkan tangannya di atas tutup tupperware. "Ini, boleh aku makan sekarang?" tanyanya yang selepas mendapati munculnya sebuah anggukan ringan dari Patricia, pria itu langsung diliputi semangat empat lima guna membuka wadah menu makan siangnya, demi menemukan wujud sekepal nasi putih seukuran mangkuk, dua potong telur dadar lengkap disertai oleh irisan daun bawang pun cabe, dua potong buah melon, tumis kacang panjang, juga ...

"Ayam asem manis?" Tama terpaku sesaat. Pria itu mungkin bahkan tidak sadar kalau dia baru saja meloloskan sebaris gumaman bernada gamang.

"Yep. Itu juga aku baru belajar sih," sahut Patricia sambil menebar senyuman jenaka yang selalu menjadi favorit Tama.

"Makasih."

"Hm?"

"Aku belum sempat makan." Tama mengadu seraya meraih sendok lalu dengan begitu buru-burunya dia melakukan suapan pertama.

"Nggak sarapan lagi?" Patricia berdecak. Benar-benar merasa tak puas. "Kenapa sih? Makanlah sesekali, kasian tau Zianne. Udah dia sibuk kerja, masih mau susah-susah nyiapin makanan eh, malah enggak pernah kamu makan."

"Siapa yang minta? Bukan salahku."

Oh, come on! Selalu Tama bersama tingkah ngeselinnya bila menyangkut Zianne!

Pria berkemeja hitam itu tengah mengunyah telur dadarnya, ketika mendadak terdengar mencetuskan info, "Tiketnya udah dapet."

"Serius?" Patricia nyaris menjerit bahagia.

Tama mengangguk. "Tinggal soal akomodasi. Mau sekalian aku pesan-"

"Jangan-jangan! Biar aku aja." Patricia menyela sigap. "Dan, buat uang tiketnya ntar aku ganti."

Tama sontak menghentikan seluruh aktivias bersantapnya supaya dapat menatap Patricia lurus-lurus. Pria itu kesal, Patricia tahu-rahangnya bahkan sudah mengetat. Karena, memang selalu begini kalau dirinya mulai bersikap seolah mereka adalah dua orang asing.

"Lagi? Zianne lagi?" ujar Tama sengau.

Bukannya, memang selamanya akan ada Zianne di antara mereka, ya? Terlebih, sekarang dengan kondisi Zianne yang tengah mengandung keturunan Tama ... itu mungkin bakal memperkecil kesempatan bagi pria itu untuk memimpikan mengenai segala bentuk masa depan yang melibatkan Patricia di dalamnya.

"Enggak gitu, tapi siapa tau nanti dia ada cek-"

"Patricia, tolong?" gunting Tama. "Itu bahkan nggak ada dua juta dan itu uangku. Hasil kerja kerasku. Aku berhak memakainya buat apa aja. Nggak ada urusannya sama Zianne atau, ketakutan kamu soal dia yang mungkin nanti bakal ngecek atau apalah. Kalau-kalau kamu lupa, pernikahan yang sekarang kami jalani, nggak seperti pernikahan kebanyakkan orang lainnya."

Begitukah?

Namun, pernikahan milik kebanyakkan orang lainnya yang selama ini Patricia tahu, ya, mereka kerap tinggal di tempat yang sama. Mereka bertemu di setiap harinya. Mereka membagi hari-hari mereka bersama lalu, di satu waktu mereka juga menghasilkan keturunan. Serta, semua hal itu bukannya sudah terjadi dalam pernikahan Argatama kan?

Patricia belum sempat menelurkan respons sebab, sebuah pesan masuk keburu terdengar singgah di ponselnya.

Membacanya sekilas, dia lalu menatap Tama. "Aku udah ditunggu."

"Siapa?"

"Klien."

"Loh, katanya mau ketemuan di sekitar sini?" Pria itu tampak heran. Namun, Patricia justru merasa lega karena, agaknya Tama telah memilih untuk menyingkirkan topik yang sebelumnya tengah alot mereka bahas.

"Nggak jadi."

"Aku antar!"

Yah. Itu bukan permintaan, tapi perintah.

"Boleh, tapi habisin dulu buahnya!" ujar Patricia.

Tama mengamini. Dia mengunyah sepotong melon dalam mulutnya sembari bertanya, "Di daerah mana ketemuannya?"

"Kuningan."

Tama mengangguk.

"VER."

Tama mendongak.

"Kantor Zianne."

Dan, Tama tak dapat lolos dari ketersedakkannya.

Sambil meminum air putih yang diangsurkan Patricia, Tama masih sempat mengejar fakta, "Urusan?"

"Urusan ... menurut kamu?" Patricia sontak menyemburkan tawa renyah begitu dilihatnya Tama melempar sebentuk tatapan berbau kepo. "Kerjaan. Santai."

"Memang kapan aku nggak santai?" gerutu Tama.

"So, jadi nganter nggak, nih?"

"Jadilah." Pria itu membereskan kembali tempat bekas makannya.

"Ntar, ada yang lihat, loh."

"Biarin."

"Ntar, Zianne tahu, loh."

"Ya, baguslah."

Patrica berdecak. Namun, dia tetap menyambut uluran tangan Tama dan merangkum jari-jarinya erat.

***

Related chapters

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    4. To You.

    "Mbak Ane?"Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya."Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru.""Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius."Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?""Yang Ti

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    5. Bagai Siang dan Malam.

    "Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.Yah.Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.Yah.Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    6. Kontradiksi

    Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    7. Promenade Sentimentale.

    "Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

Latest chapter

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    14. Refleksi.

    Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    13. Bintang Yang Tak Dapat Dilihat.

    Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    12. To Tears And Memory.

    "Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    11. The Poetry Of The Air.

    Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    10. Satu Permintaan.

    "Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    9. Tolong, Ingat Selalu!

    "Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    8. Di Satu Hari Nanti.

    Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    7. Promenade Sentimentale.

    "Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu

  • ZIANNE ( BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN )    6. Kontradiksi

    Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.

DMCA.com Protection Status