Tadi siang Satika sengaja datang ke VER. Memboyong setumpuk tupperware berisi menu makan siang yang usut punya usut dimasak langsung oleh Tante Riya—ibunya yang juga adik dari ayah Zianne—dalihnya sih, itung-itung sebagai perayaan atas kehamilan Zianne yang telah memasuki minggu ke delapan.
Di atas sofa tempatnya duduk, Zianne sendiri baru berniat untuk menyendok sup krim asparagus yang beberapa hari ini memang kerap dia angan-angankan kegurihannya. Namun, segala bentuk antusiasme pun bayangan akan betapa nikmatnya menyantap masakan Tante Riya yang sudah teramat diidam-idamkannya itu, justru seperti begitu saja pecah secara berhamburan sewaktu Satika mulai mengungkit soal Tama.
Tentu.
Karena, Zianne tahu. Dia selalu tahu bahwa bagi Tama, tanpa Patricia merupakan suatu ketidakmungkinan. Meski, yah, sejauh ini dia lebih gemar untuk berpura-pura tidak tahu. Dan, Satika boleh jadi adalah satu-satunya orang yang sudah hapal betul akan tabiat Zianne yang satu itu.
Jadi, rasanya sungguh tidak ada gunanya bilapun Zianne ingin bersikeras menutupinya. Perempuan itu ... musthil mampu dia bohongi.
"Ya, gitu," sahut Zianne pelan, tangannya kembali meletakkan sendok ke tepian meja.
"Lo tau!" Dengan tegas Satika mulai menuding, "dan, lo diem aja? Ya Tuhan, Ane! Tama itu suami lo!" Hampir-hampir Satika menjerit, andai kata dia tak buru-buru sadar kalau mereka sedang ada di kantor.
"Ya, mungkin aku mesti sabar dikit, Tik. Nanti ... siapa tau ...." Suara Zianne terdengar kian patah-patah sekaligus meragukan. "Siapa tau ... nanti ... Mas Tama bakal berubah, hm?"
Berubah? Ada suara sinis yang berbisik dari dalam diri Zianne.
Iya. Benar.
Bukannya dia emang udah berubah, yah?
Tama jelas telah jauh sekali berbeda dari Tama yang pernah Zianne kenal. Dulu.
Atau, memang beginilah sosok Tama yang sebenarnya? Suka mengabaikan, selain itu, jago mengelabuhinya pula? Oh, seberapa kenal sih, selama ini Zianne terhadap seorang Argatama? Di luar nama, dia memang tahu apa?
"An?" Satika memanggil, netranya meneliti Zianne lekat. "Lo tau, nggak pernah ada yang salah untuk ngomong, 'gue nggak baik-baik aja'. Lo manusia biasa. Jangan memaksa!"
Memaksa?
Entah, mungkin Satika belum tahu.
Tapi, Zianne tidak pernah merasa terpaksa menikah dengan Tama. Dia juga tidak terpaksa saat nyatanya di satu tahun belakangan, Tama lebih sering menganggapnya tak ada. Zianne tidak pernah terpaksa dalam menjalani hari demi hari dalam pernikahan mereka yang aneh ini.
Bahkan, ketika akhirnya Tuhan memutuskan guna menitipkan setitik nyawa lain di tengah-tengah kehidupan rumah tangganya—yang masih kata Satika, bagaikan kapal yang terombang-ambing di lautan lepas—Zianne merasa dia masih bisa. Dia masih memiliki sisa-sisa kekuatan untuk terus bertahan.
Lagi pula, bukannya dialah yang justru telah memaksa? Tiba-tiba masuk ke dalam hidup Tama? Mengacaukan seluruh rancangan masa depan yang telah Tama susun dengan apik dari jauh-jauh waktu?
Menggeleng-gelengkan kepala, Zianne harus segera berhenti berlarut-larut memikirkan hal tersebut!
Yah.
Dia cepat-cepat membasuh mulutnya di wastafel. Mualnya beberapa hari ini memang datang lebih intens. Namun, nafsu makannya malah terjun bebas tanpa batas. Di luar ginger tea, Zianne bahkan tak sanggup menelan apa pun seharian ini.
Ya, hamil tuh, beneran tidak mudah.
Mendesah luar biasa panjang, perempuan itu lantas menyipit saat menangkap pantulan dirinya yang terbiaskan di dalam cermin.
Perempuan tersebut, kalau dicermati masihlah sama seperti perempuan yang acap kali Zianne lihat semenjak hari pertama kepindaahannya ke kediaman Tama.
Mengenakan gaun tidur sutra, surainya yang hitam legam, jatuh tergerai, rapi bagai tirai di sepanjang batas punggungnya. Bibir itu ... juga tetap berwarna merah muda walau lipstiknya lupa ia pulaskan. Namun, memang betul ada yang hilang di sana. Tawanya. Beberapa orang termasuk Satika, selalu bilang begini:
Apa jadi istri Tama emang semenyiksa itu?
Tidak.
Oh, tentu tidak! Tidak boleh!
Zianne buru-buru menepuk ringan kedua belah pipinya yang basah setelah mencuci muka. Dia pun masih sempat mengusap sayang bagian perutnya yang mulai agak bergelombang, sebelum melangkah keluar toilet demi kemudian, menemukan sosok Tama yang agaknya baru saja tiba.
Pria itu tampak duduk di kursi paling ujung pada meja makan. Hari ini, kemejanya biru—sesuai dengan setelan paling gampang dijangkau dalam lemari, yang memang sengaja Zianne susun sedemikian rupa—jari-jemari panjangnya tiada henti bergerak, memutar-mutarkan sebotol air mineral.
Dengan punggung menyender, rapat ke kursi. Bersama sepasang bahu yang kentara sekali tengah menegang—seolah beban manusia di sepenjuru dunia berbondong-bondong bermutasi ke pundaknya.
Tama ... kenapa?
Zianne bedeham ringan, berupaya memberi tanda akan kehadirannya. Berikutnya, dia sudah bergegas untuk duduk persis di seberang Tama. Jarak yang sebetulnya hanya selemparan koin, tapi terasa sangat jauh. Sebab, cuma Zianne seorang lah yang melakukannya. Tidak ada balasan berarti dari sisi Tama untuk balik memandanginya.
"Mas, baru pulang? Udah makan malam?" buka perempuan itu pengertian yang lantas direspons Tama melalui sebuah lirikan tajam.
Yah. Seperti biasa. Kalau tidak mendelik, menggumam tak jelas, paling-paling Tama, ya bakal bungkam jika dia merasa pembicaraan yang Zianne bawa tidaklah penting-penting amat.
Lagi, buat apa juga sih Zianne kayak kaset rusak begini? Terus saja mengulang-ngulang pertanyaan serupa?
Padahal, toh, jawabannya praktis absolut. Mau Zianne menghidangkan prasmanan di rumah kek, mau perempuan itu masak sendiri kek, atau bahkan sampai bela-belain minta Celebrity Chef buat masak sekalian kek, Tama bakal selalu lebih memilih buat makan di luar—di tempat Patricia tepatnya.
Zianne ... sudah tahu.
"Aku tadi bikin ayam asem manis, nanti kalo Mas lapar bisa diangetin," ujar Zianne bertahan bicara sepihak. "Em, Mas mungkin mau mandi sekarang, biar aku siapin dulu, ya air panasnya, hm?"
Satu detik, lima detik, lebih dari tiga puluh detik dan tak ada tanda-tanda Tama tertarik menanggapi.
Aneh? Jelas tidak. Kan biasanya memang begitu.
Untuk Tama sedari awal, Zianne mungkin tak ubahnya tembok rumahnya. Pria itu tidak pernah terang-terangan berusaha guna mengaggap keberadaan Zianne di sana.
Namun, entah karena dia terlalu bodoh, terlampau buta atau tidak ngotak, Zianne mau-maunya bertahan untuk lanjut berujar, "Lagi banyak kerjaan, ya, Mas di kantor?"
Kengototan yang hanya berujung kesia-siaan. Sebab, sepi kembali jadi satu-satunya hal yang menyambut.
Meski demikian, Zianne tak sedikit pun mau melepas tautan matanya terhadap wajah tertunduk Tama.
Iya. Namanya, Argatama Prakosatama, Zianne mengenalnya sebagai laki-laki yang luar biasa baik.
Ya kali, Tama bahkan tak akan mikir dua kali untuk menghentikan perjalanan cuma demi nolongin anak kucing yang kecebur got di pinggir jalanan kompleks, misalnya.
Pria itu juga sopan, dia amat perhatian pada nyaris setiap orang tua. Oma Rien—satu-satunya yang Zianne miliki selepas kepergian ayah serta ibunya—pun tak ketinggalan pernah menjadi bukti kebaikan Tama.
Sungguh. Laki-laki itu, tidak pernah keberatan untuk direpotkan.
Benar. Tama sebaik itu kepada semua orang kecuali, Zianne. Ah, tidak. Dulu, Tama juga baik, kok, itu kenapa Zianne suka dekat-dekat dengan pria itu.
Hingga pada suatu hari, Zianne nekat mengungkapkan isi hatinya pada Tama. Lalu, selepas kejadian itu pria itu kontan tak lagi memperlakukannya dengan sama.
Tama bahkan sempat menghilang dari hidup Zianne. Mungkin sekitar satu bulan lebih tujuh belas harian, sebelum secara mendadak pria itu justru datang dengan sebuah ajakan menikah. Untuk Zianne.
Kenapa, orang yang bahkan memelototinya saat menerima pernyataan cinta, tiba-tiba mau mempersuntingnya? Sampai hari ini Zianne tidaklah tahu alasannya.
"Zianne?"
Sang empunya nama spontan mengerjap-ngerjap, bingung, tapi dia tetap memerhatikan Tama, yang kali ini balas menyorotinya bersama pandangan yang sulit terbaca.
"Saya nggak sengaja," akunya tiba-tiba. "Maaf."
Zianne mengangangkat pangkal alisnya, menanti Tama bicara lebih jelas, tapi ketika pria itu melirik ragu-ragu ke arah perutnya, Zianne akhirnya paham apa kiranya yang Tama maksudkan.
Lalu, apa?
Dengan Tama bilang tidak sengaja, memang kehamilan tersebut bisa lantas di-undo? Benar-benar! Bukannya, Tama itu cerdas, tapi kok otaknya tak berfungsi dalam masalah yang gini-gini?
Oh, enggak sengaja nidurin, terus keluar di dalem? Enggak sengaja kalo udah jadi bahan anak? Gitu?
Samar-samar Zianne mendesah lelah, seraya berujar dengan menahan geraman, "Terus, karena Mas nggak sengaja, harus aku apain? Karena, Mas ngerasa nggak sengaja, emangnya bisa perutku nanti kempes lagi?"
"Ya, terserah kamu."
"Maksudnya?"
"Terserah kamu kalau mau kamu pertahankan atau nggak. Tapi, dengan atau tanpa itu pun, nggak akan mengubah apa-apa. Selamanya, enggak bakal ada kamu.
"Kalau-kalau kamu lupa serta butuh untuk diingatkan, maka, mau itu kemarin, hari ini dan bahkan sampai saya mati, ada orang lain yang akan terus saya cintai. Yang enggak akan pernah berganti jadi kamu."
Yah.
Dia, Patricia kan?
Patricia, Patricia, Patricia ... berapa kali sudah Tama menyebutkan nama itu dalam sehari? Tidak terhitung.
Tama—entah disadarinya atau tidak—sering menyebutkannya di setiap pagi. Saat dia bangun lebih dulu dari Zianne, bahkan sebelum pria itu pergi mandi, dia akan duduk sendirian di ruang tengah, sambil sibuk menelepon. Siapa? Oh, tentu saja Patricia.
Atau, ketika menejelang malam. Begitu dia mengurung diri di ruang kerjanya. Sayup-sayup nama Patricia pun tak ketinggalan muncul. Tak berhenti sampai di sana, di sela mimpinya bukan sebatas sekali-dua kali Tama memanggil-manggilnya.
Sebegitu rutinnya, hingga lama-lama Zianne jadi bertanya-tanya, apakah Tama masih ingat dengan namanya? Bukan hanya tak mampu bercokol dalam pikiran, Zianne pun rasanya teramat jarang singgah di mulut Tama.
Sumpah!
Seandainya bisa, sehari saja. Cukup satu hari saja dari tiga ratus enam puluh lima hari yang Patricia miliki untuk berdiam di hati Tama, Zianne ingin diberi satu saja kesempatan untuk dapat tinggal di hati yang sama. Apa itu terlalu muluk-muluk?
Jelas itu terlampau mengada-ada.
Di depannya, Tama bahkan mulai mendorong kursi secara tak sabar. Tanpa repot-repot berpamitan, pria itu pun buru-buru beranjak menyongsong lantai dua.
Namun, tepat sewaktu kaki Tama nyaris memijak pada undakan pertama, Zianne keburu berseru, "Mas! Mas Tama!"
Pria itu memang langsung berhenti, meski tak sedikit pun ia mau menoleh.
Zianne tidak tahu kenapa rumah tangga yang dulu ia angankan lengkap disertai oleh mata yang berbinar juga tawa yang merebak, justru harus berakhir menjadi seperti ini?
Dia meremas kuat kain sutra di atas dadanya—tempat dari segala perih bermuara—menggigiti samar bibir bawahnya yang bergetar kencang, sebelah lengannya yang bebas lalu, ia larikan guna mendekap erat kawasan perutnya.
Menghalau sekumpulan serak yang seolah berlomba-lomba mencekat, Zianne kemudian berikrar bersama bergulirnya setetes air mata, "Ini ... anakku. Dan, dia nggak akan ke mana-mana selain hadir di sini, bersamaku."
Yah.
Tak apa biarpun Tama tak menginginkannya. Tidak apa jika Tama memilih untuk mengabaikannya. Karena, Zianne akan menjadi segalanya. Segalanya, yang kelak sang buah hati butuhkan.
Itu, janjinya.
***
Patricia melambaikan tangannya ringan pada Tama yang terlihat baru memasuki kawasan Deus Ex Machina Cafe."Udah lama?" tanya pria itu sesaat setelah mendorong mundur kursi kayu berkaki tinggi yang berada tepat di hadapan Patricia.Sigap menggeleng, Patricia menyahut santai, "Paling sepuluh menit lah." Lalu, diangsurkannya sebuah lunch box bertingkat ke arah Tama. "Yang bawah cornflake cookies. Baru belajar sih dan bentuknya mungkin bikin enek waktu dilihat, tapi pas nyicip rasanya lumayan, kok buat temen lembur." Sebaris cengiran lugu pun ikut terbit guna menutup penjelasannya.Sementara Tama yang mendengarnya sontak ber-woah ria tanpa suara. Sebelum, menundukkan kepala demi dapat membaui sekelebat aroma gurih yang khas, yang terlebur bersama menyengatnya wangi-wangi artifisial dalam ruangan. Meski demikian, toh, Tama masih cukup percaya diri ketika menarik kesimpulan serta menyele
"Mbak Ane?"Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya."Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru.""Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius."Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?""Yang Ti
"Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.Yah.Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.Yah.Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.