"Mbak Ane?"
Zianne sontak mendongak untuk menemukan sosok Usa—Asisten Pribadinya, yang tengah memeluk erat sejumlah berkas di dada—yang telah berhasil menutup pintu dan dengan cepat merangsek ke arahnya.
"Setengah jam lagi, Mbak ada rapat bareng Tim Export yah," ujar Usa memberitahu, tangannya secara cekatan segera meletakkan dokumen-dokumen yang dia bawa ke atas meja luas Zianne. "Sehabis itu, sorenya Mbak ada janji ke Kebayoran Baru buat menggantikan Bu Rien bertemu sama Pak Yugas untuk membahas soal pembangunan gudang baru."
"Oke. Adalagi?" Zianne sengaja meninggalkan kertas sketsa yang baru dicoretnya menggunakan spidol warna-warni sebanyak dua kali, demi dapat membalas tatapan Usa dengan serius.
"Pianis yang mau kita ajak kerja sama dalam gelaran fashion show untuk launching produk summer collection udah datang. Mbak mau coba ketemu?"
"Yang Tim Marketing sampai perlu waktu dua bulan buat ngerayu itu?" Usa menjawabnya melalui sebuah anggukan penuh semangat. "Em, ya udah, boleh deh."
"Siap. Nanti saya aturin." Gadis yang rambutnya tergulung rapi di bawah tengguk itu lalu kembali menegapkan cara berdirinya.
Beberapa detik mengelem mulut sambil diam-diam mengawasi Zianne yang sedang mencoba meraih ulang perlengkapan mendesainnya, Usa akhirnya menyerah terhadap keseganannya—untuk mengungkit perihal masalah pribadi sang atasan—dengan berkata, "Eung ... Mbak Ane lagi ada butuh sesuatu, mungkin?" Matanya lantas berusaha mencari-cari sepasang netra sayu milik Zianne yang kerap memancarkan kilat sewarna cokelat madu.
Dan, saat sukses ketemu, Usa dengan tanggap menyambung, "Siapa tahu Mbak Ane ada kepengen makan yang aneh-aneh, gitu? Kayak eum ...? Mau saya cariin Asinan Bogor? Ada yang enak dan baru banget buka, loh, Mbak di deket-deket sini."
Di VER, selain Oma Rien, ya memang cuma Usa lah yang sudah tahu perihal akan kehamilan Zianne. Namun, karena dua orang tersebut sudah tahu, Zianne pun jadi tak yakin, sih jika info itu belum menyebar secara telak hingga ke sepenjuru gedung.
Oh. Tentu saja bukan Usa—kalau pun benar kehamilan Zianne telah tersiar luas—pelakunya. Sebab, di VER, jelas tidak ada satu pun mulut yang mampu guna menyaingi keemberan mulut seorang Sarien.
Yah. Oma Rien—Ibu dari Ayah Zianne—paling suka berbicara. Baik itu soal pekerjaan ataupun update mengenai kehidupan keluarganya—khususnya bagian yang baik-baik.
Privasi? Oh, Oma Rien tidaklah kenal apa itu privasi, mengimingi adalah jalan ninjanya selama ini! Dan, beliau bangga akan hal itu!
Entahlah.
Zianne saja kadang sulit untuk dapat memahami tentang kegemaran Omanya yang satu itu.
Lalu, balik lagi ke tawaran Usa tadi!
Sekilas, Zianne tampak berpikir, tapi dia sepertinya memang sedang tidak menginginkan apa-apa. Kecuali, kebab hangat kayaknya enak. Terlebih, kalau dia santap di rumah. Ini, boleh jadi terdengar agak gila. Namun, mengigiti tortilla sambil duduk di sofa yang samar-samar menguarkan wangi parfum Tama, rasanya ... mungkin bakal menyenangkan.
Sayangnya, dia mesti sigap mengeyahkan segala bentuk angan tersebut jauh-jauh. Sebab, pada kenyataannya saat ini, Zianne masih harus bekerja.
Dan, apa barusan? Aroma parfum Tama? Maksudnya, bau-bau segar kayak rerumputan yang habis dipangkas, atau harum daun-daun yang telah terkena guyuran hujan? Secercah rebakkan wewangian yang seolah tengah mengundang Zianne untuk tersesat dalam lumatan hutan yang lebat?
Oh. Mimpi saja sana!
Argatama bahkan terlalu jago untuk dengan pelitnya meninggalkan jejak-jejaknya di rumah. Jangankan udara dalam ruangan, sarung bantalnya pun selalu ia jaga untuk tak meninggalkan bekas akan tanda-tanda eksistensinya.
Yah.
Di bangunan besar bersebut rumah itu, Tama memang tak pernah melewatkan waktu untuk datang. Namun, Zianne tidak pernah merasa jika pria itu benar-benar pulang. Tidak, meskipun itu cuma sehari.
Menghela napasnya tanpa kentara, Zianne masih sempat mengulas segaris senyum pada bibir merahnya sebelum berujar dengan santai, "Belum ada kepengen, sih, Sa. Ntar kalau saya butuh sesuatu, pasti saya kasih tahu kamu, kok."
"Oke," sahutan Usa agak terdengar kurang puas. Mungkin itulah mengapa gadis tersebut lantas buru-buru menyambung, "Tapi, kalau teh mau, yah, Mbak? Soalnya, barusan pas makan siang Mbak Ane makannya dikit banget saya perhatiin."
Lagi, senyum Zianne rekah.
Yah. Walau dia gagal mendapat perhatian dari Tama, setidaknya masih ada orang-orang yang rela untuk memberi perhatian terhadapnya.
Benar.
Akan selalu ada Usa, Oma, juga tentu dirinya sendiri, yang bakal mencurahkan sebanyak-banyaknya perhatian bagi calon buah hatinya ini.
Maka, bersama hati yang terasa sedikit lebih lapang, Zianne kemudian berkata, "Ginger tea kayak biasa boleh, deh, Sa."
"Sip. Saya buatin dulu, yah, Mbak?" respons Usa girang seraya mulai bersiap beranjak.
"Makasih, Sa."
"Gampang itu mah. Lagi, apa sih yang enggak buat dedeknya?" balas Usa lengkap diiringi oleh nada bergurau yang kental. "Beliin batagor ke Bandung juga saya jabanin lah!"
Aku masih setia memajang senyum geli, sedang Usa yang nyaris mendorong pintu pun belum meredakkan intensitas bunyi kikikkannya ketika, tiba-tiba sebuah kepala ujug-ujug datang menyembul tanpa permisi dari celah pintu dan sontak membuat kami—aku, Usa serta orang di balik pintu—refleks terperanjat secara berjamaah.
"Ya, Allah! Pak Sangga! Bikin jantungan aja!" seru Usa kesal sewaktu berhasil mengenali siapa gerangan manusia di balik pintu tadi.
"Hehe. Sori, sori, Us. Gue kira lo kagak di depan pintu banget."
"Bapak aja yang kebiasaan kayak bajaj nyelonong sana-sini! Jangan diulangi lagi!"
"Iye! Gue jahit juga nih mulut lo, bacot mulu! Sana ah balik ke kandang lo!"
"Nggak pake disuruh juga bakal balik! Males di sini lama-lama. Ada makhluk yang bikin sepet!" gerutu Usa sambil berlalu bersama langkahnya yang lebar.
"Nggak mau lo ganti tuh, Asisten Pe'a yang kerjaanya bikin senewen itu?" Pria berkaos hitam dengan celana jeans robek-robek pada dua dengkulnya itu langsung menyerocos seraya mengikis jarak ke arah Zianne.
"Kan kamu yang senewen bukan aku. So, ya, nggak masalah lah," ujar Zianne enteng, atensinya kembali tercurah pada hasil sketsanya yang belum juga dapat separuh.
"Eh, An? By the way, coba, deh lo tebak barusan gue nemu apa?"
Melalui ekor matanya yang memanjang, Zianne dapat menangkap sosok Sangga yang telah sukses mengempaskan tubuh besarnya di atas sofa.
"Duit gopekan?" tebak perempuan itu kemudian, asal.
"Terus, gue pungut buat kerokan?"
"Bener lo pungut buat kerokan?" Zianne otomatis mendogak.
"Ya, kagak lah!" Sangga menggeram gemas. Heran! Apakah di mata Zianne levelnya adalah duit receh gopekan? Yang bergambar kembang melati? Yang bener aja!
"Terus?"
"Tama."
"Maksudnya?" Kali ini, sepasang alis Zianne terlihat hampir menyatu. Mungkin efek bingung atau kaget? Entahlah.
"Gue lihat Tama di basement."
Ngapain?
Karena, mustahil kan jika pria itu ke VER untuk menemui Zianne. Secara, dia belum pernah melakukannya—oke, kecuali saat ada permintaan yang berasal dari Oma. Di luar itu, Tama tidak akan melakukannya.
Datang demi Zianne adalah sebuah omong kosong.
Namun, jika memang bukan untuk dirinya, lalu untuk siapa?
Tama ....
Mendadak, Zianne diserang perasaan resah yang tak mengenakkan.
Dia, tentu tidak nekat datang bersama orang lain kan?
Ke VER? Rumah Zianne?
***
"Ah, cieee. Mau nyamper lo lunch kali tuh?" celetuk Sangga sarat akan godaan yang hanya Zianne balas dengan sebaris tawa sumbang.Yah.Sebab, kesimpulan tersebut jelas lah terlalu muluk-muluk. Makan bareng? Zianne bahkan tak yakin jika dia pernah melakukannya-di suatu waktu khususnya setelah mereka menikah-bersama Tama, berdua saja.Yah.Zianne bukan Patricia. Sehingga bagi Tama, dia tentu tak harus merasa perlu berepot-repot ria meluangkan waktu cuma untuk sekadar makan dalam satu meja sama-sama. Malahan, mau Zianne makan atau tidak sekali pun, toh itu tidak pernah menjadi suatu persoalan berarti kok bagi Tama.Maka, ketika Zianne memutuskan guna mengeluarkan sebuah decakkan pelan, spontan dia bergumam, "Ngimpi!"Namun, agaknya Sangga melewatkan kekecutan yang mendadak merundung perempuan itu. Sampai-sampai dia justru melontarkan usul, "Nggak mau disamperin
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Patricia Battista, namanya.Sungguh, Tama tidaklah terlahir sebagai pribadi yang haus akan rasa ingin tahu—terlebih mengenai urusan orang lain. Tidak ketika, hidupnya saja sudah ibarat segulung benang kusut. Namun, pada sore hari di Senin itu, di penghujung semester dua yang penuh hiruk-pikuk. Dari sisi hard court, tempatnya tengah sibuk memunguti satu demi satu bola tenis, tanpa sengaja sayup-sayup dia mendengar segerombolan siswi di tribun heboh merumpi.Aktivitas yang jujur, lumrahnya tentu bakal langsung Tama abaikan. Dan, dia memang melakukannya, anyway. Memilih untuk terus bergerak mengikuti ke mana pun arah bola terserak, sembari sesekali merundukkan tubuh jangkungnya demi menggapai tennis balls yang tadi tiada henti dia pukul keras-keras. Akan tetapi, siapa sangka memang bila segala polah cuai tersebut toh tak mampu dipertahankannya hingga akhir. Tangannya yang sudah terjulur serta siap guna m
Meski sepasang kakinya terasa kebas, tetapi Zianne tetap bergerak tangkas. Sesekali lajunya yang terburu bahkan berbenturan dengan bahu-bahu milik orang lain yang gagal Usa halau tepat waktu. Kendati demikian, Zianne tak sedikit pun terlihat tertarik guna mengurangi kecepatan pacu langkahnya.Lalu, di sana, di sebuah lorong rumah sakit yang terasa teramat panjang jaraknya untuk ditebas, netranya yang terus-menerus bergulir-gulir resah akhirnya berhasil menemukan wujud Dokter Kunto, yang agaknya tengah terlibat pembicaraan serius bersama Kana persis di depan ruang rawat khusus milik Sarien.Mereka bahkan sempat menyampaikan kata-kata yang sayangnya tidak bisa secara jelas Zianne tangkap apa bunyinya, ketika tadi saling berpapasan di bibir pintu.Yah.Sebab, sungguh, tak ada suara lain yang lebih ingin Zianne dengar kehadirannya selain suara bernada angkuh khas Sarien—yang mungkin akan gatel untu
"Hoo! Look who's here!" Sarien sekonyong-konyong menyingkirkan tablet yang semenjak siuman tadi langsung sibuk ia pelototi ke ruang kosong pada overbed table di hadapannya—yang sebetulnya pun telah sesak dengan luberan kertas-kertas kerja—demi menyambut sesosok tamu, yang mana adalah seorang pria berjaket kulit hitam. Dia datang bersama sebuah ransel cukup besar di atas punggungnya. Menegaskan seolah dia hendak pergi berlibur, meski ini bukan weekend.Sarien masih sempat untuk menebar segores senyum supel ketika dia lanjut berujar santai, "Apa kabar ME? Film baru siap rilis? Kapan rencana proses filming-nya? Katanya, baru berhasil hire Kamila Salim, yah sama Top Model Margaretha?"Tama tak kunjung memberikan respons berarti. Dia memilih menaruh ranselnya di pojok sofa yang melintang di tengah ruangan dengan mulut tersulam. Bergegas guna mengambil sebuah piring berisi d
Tama masih memegang erat-erat dua lembar boarding pass di tangan kirinya, saat sebelah tangannya yang lain bergerak turun untuk kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Di depannya—kira-kira sepuluh langkah melintang—Patricia tampak sedang berjalan bersama langkahnya yang terjejak ringan juga segores senyum super-sumringah.Tama terus lekat mengawasi. Tak ingin kehilangan satu detik pun moment berisi segala luapan keceriaan milik perempuan itu. Yah. Karena, belakangan—entah kapan persisnya, mungkin sejak satu tahun yang lalu ketika, Tama justru mengambil keputusan untuk menikahi Zianne, atau jauh sebelum itu saat lamat-lamat takdir tahu-tahu tak lagi hanya menulis kisah tentang mereka, berdua saja—senyum Patricia yang telah belasan tahun Tama kenal—bukan senyumnya yang tak sampai mata—sudah jarang sekali terpatri.Namun, cuma berkat festival musiknya Bach, Beethoven
"Mbak Ane nanti siang ke tempat Dokter Waru, mau saya temani?" Usa yang baru saja meletakkan tumpukkan file-file bersubstansi sales plan yang rencananya bakal segera kena evaluasi ke atas meja kerja Zianne, dengan sigap menawarkan.Tentu saja. Walau sering kali Zianne hanya akan menolak sih lalu, berangkat seorang diri atau sesekali disupiri oleh Pak Yoko.Yah. Selalu begitu.Namun, sebagai seseorang yang menghabiskan nyaris seluruh masa remajanya untuk melihat Zianne seorang sebagai sosok propulsi utamanya, Usa tidak akan pernah lelah memberikan apa yang dapat dia beri—sekalipun itu cuma sesepele perhatian.Baginya, yang dulu begitu kenyang menelan segala bentuk penolakkan, Zianne dan Sarien adalah lorong terang yang menariknya dari jalan buntu pun ketersesatan yang mengancam.Maka, meski orang-orang di luar sana kerap mengoceh bahwa Zianne hanya beruntung. Karena, ke
"Emangnya Kamila Salim mau kerja sama bareng aku?" ujar Patricia sarat akan kesangsian seraya mengangkat lembaran-lembaran berisi letter of agreement—yang belum lama ini Tama sodorkan—menggunakan tangan kirinya.Oh, bukannya apa-apa. Tapi jika tidak salah maka, minggu lalu Tama baru saja mengaku bahwa dia telah sukses meng-hire Kamila Salim untuk turut ambil bagian sebagai Music Director di salah satu bakal calon filmnya. Dan, tentu saja itu sebuah pencapaian. Secara siapa sih yang tidak tahu Kamila Salim? Peraih Piala Citra di tiga tahun berturut-turut. Nyaris semua film kini tengah berlomba-lomba untuk menempatkannya sebagai Sang Penyuntik Nyawa.Ah, come on! Kamila Salim jelas adalah seorang partner yang cukup luar biasa. Namun, sayangnya tidak cukup akseptabel sih bagi Patricia—mengingat sejarah di antara keduanya yang bahkan terus berkembang, hingga membuat mereka ta
Zianne baru saja menutup pintu toilet, ketika Sarien tahu-tahu sudah berdiri di balik punggungnya sambil menggenggam sebuah botol kecil—dari warnanya yang tampak keemasan, agaknya sih itu ginger oil."Mual banget? Perlu Oma panggilin Waru ke rumah?" sambutnya menawarkan. Warudaya adalah dokter kandungan, by the way, sekaligus salah satu orang—dari segelintir sosok lain, pemilik berbagai macam kepiawaian—kepercayaan Sarien, yang di minggu-minggu belakangan ini memang rutin Zianne kunjungi.Namun, sungguh, entah itu Usa lalu sekarang Sarien, sepertinya mereka sedang gemar untuk beraksi berlebihan. Karena, sumpah, Zianne merasa dia tengah baik-baik saja. Oke, seharian ini mualnya memang datang dalam waktu yang intens, sampai-sampai dia bahkan sempat membuat kehebohan di depan Patricia—dengan cara tidak sengaja sedikit-seciprat-banget, memuntahinya.Akan tetapi, di luar lemas, Zianne b
"Mbak Ane, bener nggak apa-apa?" Usa yang berjalan lambat, tepat di sisi Zianne reaktif bertanya. Ada gurat-gurat cemas dalam ekspresi yang ditunjukannya—yang kontan membuat Zianne justru mengangkat sebelah alisnya, bingung.Dan, yah, mereka hanya berakhir berdua, by the way. Sebab, Sangga Si Mulut Besar tiba-tiba memilih untuk tak jadi ikut bergabung. Dalihnya sih, harus buru-buru mengejar salah seorang Kolektor Wine yang baru saja tertangkap radar tengah singgah di Jakarta.Entahlah. Pria itu beserta dunia pun kesibukkannya memang kadang terlalu merungsingkan bila dipikirkan. Persis seperti permintaan yang tadi sempat dilayangkannya sebelum pergi, di mana Sangga memohon agar Zianne bersedia guna membidik satu barang dua potret Patricia. Demi cinta, sesumbarnya seolah itu hal yang mudah bagi Zianne untuk dapat mengabulkannya.Oh! Meski Usa sudah mengonfirmasi jika Pianis yang dimaksu
Tama menyakui kembali ponselnya sebelum mengayunkan langkah untuk berbalik menuju ke tempat di mana mobilnya telah rapi terparkir."Ada urusan?" sambut Patricia menembakan tebakkan seraya mulai mengangkat tubuhnya dari sisi pintu depan SUV hitam milik Tama yang sedari beberapa saat lalu dia gunakan untuk menyender santai. "WT atau ME?" sambung perempuan itu menyebut dua tempat yang memang paling berpengaruh dalam menyita waktu pun atensi Tama selama ini.Tama mengedik pelan. "ME," jawabnya kemudian, singkat.Serta, yah, mestinya sih sudah bisa diduga. Marvelous Entertainment—yang bekennya disebut sebagai ME itu—belakangan, toh, memang sedang menjadi salah satu production house yang begitu gencarnya memproduksi film layar lebar. Bahkan jika Patricia tak salah ingat, maka, sekarang Tama pun tengah disibukkan dengan jadwalnya yang harus terlibat dalam memproduseri dua judul film sekaligus.