Terpaan angin di siang hari yang terik menyapa rambut sepunggung milik seorang perempuan yang tengah melangkah buru-buru di zebra cross. Surai yang sesekali menutupi mata membuatnya tampak kesulitan menyugar rambut karena sedang membawa tumpukan kertas dan laptop. Ia menghela napas panjang sesampainya di ujung jalan, lalu melangkah lebih santai ke arah kafe yang ia tuju. Melirik jam tangan, ia berdecak karena terlambat sepuluh menit. Syukur-syukur kalau pacarnya mau menunggu.
Senyum wanita itu mengembang saat melihat orang yang ia cari sedang duduk di salah satu kursi dekat jendela, duduk melingkari meja bundar dengan teman-temannya. Akhir-akhir ini sangat sulit untuk mereka bisa bertemu, entah kenapa. Padahal jadwalnya sendiri masih sama seperti biasa.
Perlahan langkah wanita itu mendekat dan sayup-sayup percakapan sang kekasih dengan teman-temannya terdengar.
"Jadi kapan lo mau traktir kita? Eh, Naja, jangan lupa juga kunci mobil lo serahin gue. Itu punya gue sekarang," ujar wanita yang duduk di depan seorang pria yang ia panggil Naja. Wanita itu menaik-turunkan alis dengan senyum merekah, seperti baru saja memenangkan sesuatu.
Naja menyugar rambutnya. Pria itu tampak gusar. "Sialan! Susah banget temen lo itu digodain, Dar. Pantes masih perawan di usia dua lima," gerurunya sambil merogoh saku celana bahannya lalu melempar kunci mobil ke meja.
"Udah gue bilang Yuca emang gitu orangnya. Dulu, satu jurusan juga tau itu." Dara, wanita itu terkekeh sambil mengambil kunci mobil Naja.
Langkah wanita itu berhenti ketika nama Yuca disebut. Yuca, itu adalah nama penanya dan nama yang biasa dipakai teman-teman untuk memanggilnya. Yuca berjalan ke arah toilet, berdiri di samping tembok dan menguping obrolan tiga orang di sana. Entah mengapa ia merasa harus mendengarkan percakapan itu lebih lanjut.
Yuca memeluk laptop dan tumpukan kertas naskah skenario yang sedang ia garap di depan dada. Perasaannya mulai tidak enak. Ada rasa nyeri di ulu hatinya yang entah datang dari mana. Seolah titik itu sudah bisa mencerna obrolan tadi sebelum otaknya bekerja.
"Jadi lo mau putusin Yuca atau lanjut, Naj?" tanya seorang pria yang memakai kemeja biru muda di samping Dara.
"Ya, putuslah, Renra Adiguna!" jawab Naja yakin, "tapi gue nggak mau mutusin. Udah dua minggu gue ngejauh, gue yakin, sih, Yuca sadar itu. Ini dia ngajak ketemu, palingan mau nanyain gue kenapa." Naja celingukan ke arah pintu kafe lalu melirik arlojinya. "Tapi lama banget itu orang."
"Kalau Yuca nggak mutusin?" tanya Dara.
"Berarti dia cewek bego karena mempertahankan laki-laki yang jelas-jelas nggak mau sama dia lagi."
Seperti ada jarum-jarum kecil tak kasat mata yang menusuk dada Yuca saat mendengar itu. Tanpa sadar ia memeluk laptopnya lebih erat lagi. Jadi, selama ini ....
"Naj ... Naj, taruhan dua bulan buat jebolin perawan anak gadis orang, bukannya dapat puas, malah hilang mobil," ujar Renra sambil geleng-geleng. Ia menyeruput kopinya dengan santai. "Untung aja nggak dapat, sih, kasihan Yuca. Terlihat seperti cewek baik-baik."
"Tapi kata Dara, di salah satu novel Yuca ada adegan dewasanya."
"Otak lo dikemanain, sih, Naj? Sudah jelas itu cuma karya fiksi yang kebetulan dibuat Yuca. Lo ini pemilik NF Entertainment, PH di bawah naungan perusahaan lo sudah memproduksi banyak film yang ditonton jutaan kali dan mejeng lama di layar lebar, tapi kenapa urusan begini lo nggak bisa memahami?" kata Renra. Ia geleng-geleng. "Semua itu cuma fiksi. Buatan, buah pikiran Yuca, bukan apa yang pernah atau ingin Yuca lakukan. Dalam menulis, Yuca bisa riset."
Dara mengangkat kunci mobil Naja—yang kini jadi miliknya—dan menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri. "Track record lo perlu dipertanyakan, deh, Naj. Masa dua bulan nggak bisa nidurin Yuca. Dan benar kata Renra. Lo bego banget kalau cuma karena Yuca penulis dan di salah satu karyanya ada adegan dewasa, lo pikir bisa dengan mudah nidurin dia. Penulis fantasi nggak tinggal di dunia fantasi yang ia buat, Naj. Begitu pula penulis romance," timpal Dara. Padahal, jelas-jelas Dara dan Renra tahu bahwa Naja paham betul tentang itu. Namun, sepertinya pria itu hanya butuh diingatkan lagi agar bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada.
Pikiran Yuca kosong mendengar itu semua. Ternyata selama ini ia hanya bahan taruhan. Pantas dua minggu terakhir Naja seperti menghindar. Itu karena sudah lewat dua bulan masa taruhan mereka dan Naja kalah. Mereka—ia dan Naja—memang tidak pernah have sex selama dua bulan itu walaupun beberapa kali Naja terang-terangan memintanya. Banyak kali pula pria itu menggodanya dan sangat sering memberi perhatian lewat temu. Namun, ternyata semuanya palsu. Itu semua hanya demi taruhan.
Kepala Yuca seperti dipukul, ia pening. Wanita itu melangkah lunglai keluar kafe tanpa benar-benar berusaha agar keberadaannya tidak disadari.
Brak!
"Aw!" Yuca meringis saat tanpa sengaja menabrak meja. Ia mengelusi pahanya yang terbentur benda keras itu.
"Yuca?"
Yuca menoleh, dilihatnya Naja sudah berdiri sambil menatapnya bingung. Kemudian pandangan pria itu jatuh pada Dara dan Renra, mereka saling lempar tatap yang sama bingungnya. Seolah sama-sama memastikan bahwa apa yang ada di kepala mereka saat ini sama, bahwa Yuca sudah mendengar semuanya.
Tidak mau menanggapi lebih, Yuca berpaling. Ia kembali melanjutkan langkah keluar kafe. Sudah cukup, ia sudah tau semua sandiwara Naja.
"Sialan!" umpat Yuca sambil mengusap pipinya yang basah. Entah mengumpati air mata itu atau perlakuan Naja padanya.
Tanpa menunggu lampu berubah merah, Yuca menyeberang sambil berlari. Suara-suara klakson berbunyi memekakkan telinga. Mobil-mobil mendadak berhenti dan berbelok menghindari tubuh berisi Yuca. Namun, Yuca sudah tidak ingat apa-apa lagi selain fakta bahwa ia hanyalah taruhan disertai berbagai alasan bahwa ia memang pantas jadi bahan taruhan.
Selama dua bulan bersama Naja, lelaki itu pasti memandangnya seperti target yang siap dilahap kapan saja. Harusnya Yuca sadar, pria yang dikagumi banyak wanita seperti Naja tidak akan mungkin tertarik padanya yang jauh dari kata wanita ideal. Tingginya bahkan hanya 155 cm dengan berat 53 kg. Tidak jarang ia dikatai gendut dan disuruh diet setiap bertemu sepupu-sepupunya yang rela tidak makan demi tubuh langsing. Padahal, Yuca rasa ia tidak seburuk itu. Namun, perlakuan Naja membuatnya kembali dibanting. Ternyata dirinya memang setidak pantas itu bersanding dengan Naja.
"Brengsek, Naja!" umpat Yuca sambil mengusap pipinya kasar. "Dua bulan sialan!"
Yuca sudah berjalan di trotoar. Ternyata Tuhan masih melindunginya walaupun sumpah serapah ia dapatkan dari para pengendara.
Menoleh ke belakang, Yuca terkekeh sumbang saat tidak melihat Naja. Pria itu bahkan tidak mengerjarnya untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Oh, salah. Sudah jelas tidak ada kesalahpahaman, semua yang Yuca dengar itu fakta. Keluar dari mulut Naja, Dara, dan Renra sendiri.
Pernah pacaran dua tahun, saat putus nangisnya semalaman dan setelahnya tidak lagi.Pacaran dua bulan, nangisnya sudah sebulan dan belum berhenti hingga sekarang. Yuca miris dengan kehidupan percintaannya kali ini. Ia tidak pernah merasa se-bucin ini padahal baru pacaran dua bulan, dan jelas-jelas hanya dijadikan bahan taruhan. Namun, bagaimana ia bisa move on kalau hampir setiap hari wajah mantannya itu bisa ia temui? Dengan tampang yang tidak ada sedih-sedihnya sama sekali pula. Kurang berengsek apa lagi coba mantannya itu? Hal apa sebenarnya yang membuat Yuca tidak bisa move on juga padahal sudah sebulan berlalu? Jawabannya, Yuca juga tidak tahu! Membersitkan hidung lalu menarik napas dalam-dalam, Yuca berusaha terlihat lebih baik. Sekali lagi ia melihat penampilannya di cermin, memastikan bahwa hidungnya sudah tidak merah. Yuca berbalik badan hendak keluar toilet, sialnya ia malah bertemu dengan Dara. "Ca ...."
Cornelitta yang akrab dipanggil Litta, perempuan itu adalah teman Yuca sejak SMA hingga saat ini. Litta juga dengan senang hati dijadikan tempat sampah buat Yuca, alias tempat berkeluh-kesah. Seperti sekarang misalnya."Nangis lagi ...." Litta geleng-geleng kepala melihat Yuca. "Apa, sih, yang lo tangisin, Na? Tiap curhat nangis terus. Apa lagi yang bikin lo sedih? Udah gue bilang, lo nggak rugi putus sama laki-laki berengsek kayak Naja.""Tapi dia perhatian," jawab Yuca sambil sesenggukan. Ia membersitkan hidung dengan tisu."Perhatiannya kan karena mau dapat perawan lo. Itu udah jelas. Semuanya cuma pura-pura. Lo tau itu, Yuna!""Iya, Ta, gue tau. Gue cuma lagi menikmati rasa sakit gue ini aja, kok."Bantal melayang ke wajah Yuca. "Sakit kok dinikmati!" cibir Litta, tak sanggup lagi melihat kebodohan temannya itu."Biar entar kalau gue nulis scene patah hati, gu
Tak seharusnya Naja memikirkan hal seperti ini saat kesehatannya sedang buruk, tetapi tanpa bisa ia cegah, ingatannya mundur pada kejadian tiga bulan lalu. Tepatnya saat pertama kali ia bertemu seorang perempuan bernama Yuna Niscala Abram, yang sebelumnya ia ketahui bernama Yuca. Yuca adalah nama pena perempuan itu sebagai seorang penulis novel romance. Tidak sekali dua kali nama itu lewat di telinga Naja karena karya-karyanya yang bertengger lama di rak best seller. Namun, Naja tidak pernah menaruh perhatian sampai ketika NF Entertainment ingin membuat proyek baru, yaitu memproduksi web series, serial mini yang saat ini sedang naik daun. Dan saat itu Yuca-lah yang digaet menjadi penulisnya. NF Entertainment sendiri ingin web series yang fresh, di mana bukan adaptasi dari novel atau wadah lain.Tidak pernah Naja ada niat mendekati Yuca sebagai 'perempuan', melainkan sekadar penulis di agensinya. Namun, ket
Entah Yuca harus lega atau kesal saat kembali melihat Naja di kantor. Atasannya itu tampak bugar dan sehat walafiat setelah tiga hari tidak bekerja. Jejak alergi kacang di kulit wajahnya juga sudah hilang. Kini Naja sudah baik-baik saja, sedikit banyak fakta itu membuat Yuca lega.Saat Naja baru datang, Yuca baru keluar dari ruangannya hendak ke toilet. Mata mereka bertemu pandang. Jantung Yuca sudah mulai berlebihan melihat pria itu lagi, tetapi lagi-lagi ia memang sangat berlebihan. Karena hanya dalam satu detik, Naja sudah membuang muka. Berjalan belok menuju ruangannya dan hilang dari pandangan Yuca. Seperti tidak kenal, begitulah yang terjadi. Namun, bukankah itu yang Yuca minta? Kini ia harus bersorak karena keinginannya itu dikabulkan oleh Naja, bukan?"Lapar banget nggak, sih?" Yuca menoleh. Ia mengangkat kedua alis rendah saat melihat Rika yang baru datang."Gue?" tanyanya lalu memandangi sekitar. Ya, hanya diriny
"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu."Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.Oh, nasi goreng seafood. Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti
"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra."Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu."Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya."Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.Teli
"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai