Entah Yuca harus lega atau kesal saat kembali melihat Naja di kantor. Atasannya itu tampak bugar dan sehat walafiat setelah tiga hari tidak bekerja. Jejak alergi kacang di kulit wajahnya juga sudah hilang. Kini Naja sudah baik-baik saja, sedikit banyak fakta itu membuat Yuca lega.
Saat Naja baru datang, Yuca baru keluar dari ruangannya hendak ke toilet. Mata mereka bertemu pandang. Jantung Yuca sudah mulai berlebihan melihat pria itu lagi, tetapi lagi-lagi ia memang sangat berlebihan. Karena hanya dalam satu detik, Naja sudah membuang muka. Berjalan belok menuju ruangannya dan hilang dari pandangan Yuca. Seperti tidak kenal, begitulah yang terjadi. Namun, bukankah itu yang Yuca minta? Kini ia harus bersorak karena keinginannya itu dikabulkan oleh Naja, bukan?
"Lapar banget nggak, sih?" Yuca menoleh. Ia mengangkat kedua alis rendah saat melihat Rika yang baru datang.
"Gue?" tanyanya lalu memandangi sekitar. Ya, hanya dirinya yang ada di sana, itu berarti Rika bicara padanya.
"Iyalah. Lapar nggak? Gue lapar."
"Masih pagi, lho, Rik."
"Justru pagi itu, sarapan. Pengen bubur ayam Pakde Lorong," ujar Rika, menyebut salah satu rumah makan yang menjual bubur ayam di dekat kantor. "Mau nggak?"
Yuca diam untuk mempertimbangkan. Sebenarnya ia juga belum sarapan. "Ya udah deh, ayok. Tapi gue ke toilet dulu, ya?"
"Oke, gue tunggu."
Setelah itu Yuca langsung pergi ke toilet untuk menuntaskan panggilan alam.
*****
Bekerja di NF Entertainment sebenarnya tidak terlalu ketat. Datang kerja paling lambat jam sepuluh, istirahat boleh sampai dua jam, yang penting pekerjaan tetap selesai sesuai deadline. Kalau di awal hari datangnya jam sepuluh dan langsung mengambil istirahat dua jam, maka masuk kerja jam dua belas, tengah hari. Akan tetapi, risikonya akan lembur. Dan hari ini, risiko itulah yang Yuca ambil.
Setelah pulang sarapan dan bertemu Naja di lift, pikiran Yuca buyar. Pasalnya pria itu tidak sendirian, melainkan dengan seorang perempuan bertubuh bak model, rambut panjang berwarna cokelat gelap, dan berkulit putih. Kesimpulannya, perempuan itu sangat cantik.
Memang tidak seharusnya Yuca merasakan ini, tetapi daripada cemburu, ia lebih merasa tidak pantas. Dirinya terpental jauh daripada perempuan itu. Seperti itulah tipe ideal Naja, bukan seperti dirinya yang berlemak di mana-mana. Oke, berlebihan memang karena Yuca sebenarnya tidak gendut, hanya berisi.
Saat di lift itu juga, pertanyaan yang tidak ia tanyakan pada Naja sebelumnya mendapat jawaban."Maaf ya, By, aku nggak tau kalau kamu alergi kacang. Kenapa kamu makan kuenya kalau emang alergi?" kata perempuan itu merasa bersalah.
Yuca dan Rika yang berada di belakang Naja dan perempuan itu mau tidak mau dengar juga. Saat itu Yuca tahu Rika tidak enak berada di sana, karena secara langsung ia melihat bagaimana buruknya ekspresi Yuca. Namun, pada akhirnya Rika hanya mengelus-elus pundak Yuca yang hanya mampu menunduk.
"Aku mau menghargai kue buatan kamu, Laura. Jangan merasa bersalah begitu, aku sudah sembuh sekarang," jawab Naja sambil mengusap lembut puncak kepala Laura.
Maka saat pintu lift terbuka sebelum tujuan Yuca dan beberapa orang masuk, Yuca memilih keluar dan pergi ke rooftop, di mana ia berada sekarang. Demi apa pun, Yuca juga tidak mau merasa seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi, hatinya tidak bisa berbohong bahwa ia terluka.
Dengan bodohnya ia membawa Naja ke rumah sakit setelah bersenang-senang dengan perempuan idamannya itu. Pasti Naja sedang menertawakan kebodohannya sekarang.
Yuca membersitkan hidungnya dengan tisu. Ia mengambil cermin kecil di tasnya. Perempuan itu melengos melihat penampilannya sendiri. Ia harus touch up make up.
Merasa lebih baik, jam tangannya sudah menunjukkan pukul dua belas. Yuca menarik napas dalam, ia harus siap menghadapi kenyataan.
Yuca menepuk kedua pipinya pelan agar bangun dari mimpi panjangnya. "Demi Tuhan, Yuna, ini sudah sebulan lebih lo putus sama laki-laki berengsek itu. Kalian cuma pacaran dua bulan yang dilandasi taruhan. Lo nggak seharusnya sedih berlarut-larut begini. Naja memang ganteng, tinggi, tipe ideal lo, tapi ganteng aja nggak cukup buat bahagia. Lo berhak bahagia!" monolog Yuca pada dirinya sendiri. Ia mengentakkan kakinya sebelum melangkah keluar rooftop.
Namun, betapa terkejutnya Yuca saat membuka pintu rooftop, di saat yang sama seseorang masuk. Mereka hampir bertabrakan kalau saja Yuca tidak punya rem otomatis di kakinya. Ya ... refleks yang bagus maksudnya.
"Eh, Ca?"
Melirik sekilas, Yuca mengangguk kecil tanpa tersenyum. Ia melewati pria itu begitu saja.
"Ca ... Yuca!"
Mendengkus, akhirnya Yuca balik badan. "Ada apa, Pak Renra?" tanya Yuca penuh penekanan. Selain Naja, Renda dan Dara juga menjadi alasan Naja ingin segera angkat kaki dari perusahaan ini. Ketiga orang itu seperti lingkaran setan yang wajib Yuca hindari.
"Mau ke mana, Ca?" tanya Renra setelah hening yang cukup panjang. Ia mengusap tengkuknya, canggung.
"Mau kerja, Pak," jawab Yuca sesingkat yang ia bisa. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Bisa kita bicara sebentar?"
Kedua alis Yuca terangkat rendah. "Mau bicara apa? Kalau ini soal taruhan yang Bapak dan teman-teman Bapak rancang, maka sebaiknya saya pergi sekarang," ujar Yuca terang-terangan.
"Memang soal itu, tapi ada yang mau saya jelaskan," jawab Renra, ikut bicara formal seperti yang Yuca lakukan.
"Semuanya sudah jelas. Saya permisi dulu," tolak Yuca. Lantas ia berbalik, meninggalkan Renra yang masih menatap punggungnya hingga turun tangga.
****
Perasaan bersalah tidak bisa dihindarkan saat Yuca baru masuk ruangan. Ia berusaha tersenyum saat ketiga partner kerjanya itu spontan berdiri serempak menyambutnya. Dapat ia tebak bahwa Rika sudah bercerita semuanya.
Saat sudah duduk di kursinya pun, ketiga orang di sana masih memperhatikannya dalam diam. Yuca mengembuskan napas perlahan lantas menatap ketiganya bergantian.
"Sori," ucap Yuca akhirnya. "Kesannya gue nggak bertanggung jawab sama sekali padahal kita kerjanya tim. Sori juga udah buat suasana jadi nggak nyaman."
"Justru kita khawatir karena lo nggak ada kabar, Ca." Rika adalah orang pertama yang menjawab. "Lo dari mana aja?"
Terkekeh pelan, Yuca menjawab. "Rooftop doang, sih. Cari angin plus berjemur."
"Nggak mau cerita aja biar plong? Toh, udah jadi rahasia umum juga kalau—"
Gulungan kertas mendarat di hidung Beni membuat ucapannya terpotong. Lingling, si pelaku, memelotot, menatapnya sengit sebagai peringatan.
"Ya itu ...." Beni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maksud gue biar lo lega aja gitu, Ca."
"Kesannya kayak gue punya masalah besar aja." Yuca mengibaskan tangannya, berusaha terlihat santai. "Eh, kalian udah makan siang belum, sih? Makan siang aja dulu abis itu lanjut lagi. Riset yang kemarin udah, Ben?"
"Udah. Gue print atau kirim ke e-mail?"
"Hm ... e-mail aja deh."
"Ah, harusnya print aja, Ca," celetuk Rika, "gunakan aja kertas-kertas di kantor ini sebelum lo angkat kaki. Habisin, kalau bisa bikin bangkrut!"
"Eh, Kari Ayam, lo kerja di mana kalau NF bangkrut? Mana ada yang mau adopsi lo jadi karyawan. Novel solo lo aja nggak selesai-selesai!" kata Beni.
"Yeee ... itu kan karena gue lebih nyaman kerja tim!"
"Alah, ngeles!" balas Beni lagi.
"Udah," lerai Yuca. "Ben, cepet kirim ke gue terus kalian istirahat."
"Lo nggak ikut istirahat?" tanya Lingling.
Yuca menggeleng. "Gue kan baru datang."
"Nggak apa-apalah, Ca. Nggak mungkin juga lo dipecat. Yuk, maksi bareng?"
"Nggak deh," tolak Yuca. Ia mengambil naskah di sudut mejanya. "Kerjaan gue juga numpuk."
Beni, Lingling, dan Rika saling pandang. Mereka tahu bahwa mood Yuca belum baik. Akhirnya mereka memilih makan siang bersama sekaligus memberi ruang sendiri untuk Yuca.
Sepeninggalan tiga orang itu, Yuca mengembuskan napasnya panjang sebelum membuka e-mail. Dokumen yang dikirim oleh Beni itu berupa deretan huruf-huruf berwarna hitam, font Times New Roman, size 12, dan kertas A4. Detail itu lebih bisa Yuca tangkap daripada isi dokumen tersebut.
Yuca mengerang karena ia tidak bisa fokus. Perempun itu menunduk sambil menekan pangkal hidungnya. Mata Yuca terpejam, berusaha meredam riuh di kepalanya. Namun, itu tidak bekerja. Yang ada malah bayangan Naja mengelus puncak kepala Laura dengan lembut yang muncul di pikirannya.
Sialan!
Menjatuhkan pipi di atas meja, Yuca memilih mengabaikan pekerjaan yang meminta diperhatikan. Ia merenung lagi, memikirkan segala sikap Naja saat mereka masih pacaran. Begitu manis hingga akhirnya Yuca tahu itu semua hanya sandiwara.
Tok tok
Refleks Yuca mengangkat kepala mendengar ketukan yang begitu dekat dengan telinganya. Bagaimana tidak kaget kalau sedang melamun tiba-tiba meja di mana ia menjatuhkan kepala diketuk dua kali.
Sepasang matanya membulat, tetapi hanya dalam dua detik setelahnya ia sudah bisa mengontrol ekspresi menjadi datar.
"Sori, tadi gue udah ketuk pintu. Tapi kayaknya lo nggak dengar."
Hanya mengangguk, Yuca seperti tak punya cukup suara untuk menjawab. Bahkan sekadar menanyakan tujuan pria itu datang saja rasanya begitu berat.
"Ini, buat lo. Tadi gue beli makan ternyata buy one free one." Naja meletakkan kotak makan di atas meja Yuca. Ia berdiri tepat di samping meja perempuan itu.
Kalimat Naja barusan begitu mengganjal di telinga Yuca. Buy one free one? Yuca terkekeh sumbang sambil menatap kotak makanan itu.
"Apa tujuan Bapak sebenarnya ke sini? Nggak mungkin cuma buat ngantar makanan gratis, 'kan?"
Selapas kalimat itu meluncur dari mulutnya, Yuca langsung menyesal. Hei, ini perusahaan milik Naja! Di mana pun pria itu berada, selagi di dalam kantor ini, sudah jelas itu haknya.
"Thanks buat yang waktu itu. Kalau nggak ada lo, nggak tau lagi gimana nasib gue."
Inilah poinnya, makanan gratis pastilah hanya alasan.
Mengangguk, Yuca berdeham. "Nggak perlu bilang makasih, Pak. Karena sebenarnya saya menyesal sudah datang." Ia mendorong 'gratisan' pemberian Naja ke ujung meja. "Dan ini. Lebih baik Bapak kasih karyawan lain aja."
"Makan aja." Naja mendorongnya lagi ke depan Yuca. "Gue nggak mau berutang budi. Jadi lo terima aja."
"Bapak tidak berutang apa pun. Berikan makanan free Bapak ini ke orang yang lebih butuh saja karena saya—"
"Thanks sekali lagi, Ca," potong Naja.
Tanpa sempat Yuca menjawab, pria itu sudah berbalik pergi. Kaki jenjangnya hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke pintu keluar. Bahkan dari belakang, sosok Naja tidak bisa ditolak pesonanya.
Bahu Yuca menurun. Ia memandangi kotak makan yang ditinggalkan Naja sambil mendengkus. Tanpa pikir panjang, diambilnya pemberian Naja itu. Yuca beranjak, berjalan ke sudut ruangan sisi kanan mejanya di mana tempat sampah berada.
"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu."Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.Oh, nasi goreng seafood. Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti
"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra."Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu."Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya."Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.Teli
"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai