Home / Romansa / You Are Mine / 06. Semoga Bahagia

Share

06. Semoga Bahagia

Author: yuneverknow
last update Last Updated: 2021-06-17 14:03:48

"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"

Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya.  Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra.

"Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu.

"Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya.

"Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.

Telinga Yuca panas. Rasanya ia ingin tutup telinga jika saja tidak akan terlihat aneh.

"Lo juga bego, sih. Mau aja!" omel Dara lagi sambil meninju lengan Naja, gemas karena kesal.

"Laura lupa, jadinya nggak merhatikan. Gue juga pas udah ketelan baru merasa," ujar Naja lagi. Ia terkekeh. "Satu gigitan kecil doang, tapi mulai nggak enak, nih, perut gue."

"Dan lo langsung ke sini? Nggak bawa obat?"

Gelengan Naja membuat Dara berdecak. "Sejak kapan, sih, lo nggak hati-hati begini soal makanan? Biasanya juga ada kacang dikit lo langsung merasa. Terus juga bawa obat ke mana-mana," kata Dara. Dari suaranya, perempuan itu terdengar tulus bahwa ia peduli. "Otak lo kenapa, sih, Naj?"

Yang ditanya tidak menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu santai sebelum meminum air mineral di hadapannya.

"Biasanya kan makanananya Naja ada yang perhatikan, Dar. Obatnya juga ada yang bawain." Renra ikut menimpali. "Dua bulan ada yang ngurusin, Naja jadi nyaman. Lupa caranya mandiri."

Oke, cukup. Bisa-bisa telinga Yuca terbakar kalau ia masih di sini. Apalagi kalimat Renra barusan jelas-jelas ditujukan untuk menyindir dirinya. Renra bahkan menatapnya saat mengatakan hal tersebut.

"Rik, gue duluan, deh," bisik Yuca.

"Ih, gue abisin minum dulu." Rika menahan tangan Yuca yang sudah berdiri.

"Beli obat gih, Naj. Sebelum lo mual-mual," suruh Dara.

"Yuca mungkin masih nyimpan stoknya." Dengan lebih terang-terangan, kali ini Renra memusatkan pandangannya pada Yuca. "Bawa nggak, Ca?"

Renra sialan!

Kini Dara dan Naja menoleh ke arahnya. Kedua orang tersebut tampak terkejut melihat keberadaan Yuca. Terbukti dari sepasang mata mereka yang membulat.

Tanpa memedulikan tiga pasang mata itu, Yuca mengambil tasnya di atas meja lalu menarik Rika pergi dari sana. Setelah membayar makanannya, Yuca pergi dari area food court. Ia bahkan enggan menoleh pada meja di mana Naja berada.

Terserah Naja mau ngapain. Makan kacang sekilo, kek. Alergi sampai sekarat, kek. Yuca sudah tidak peduli lagi. Ya, setidaknya itulah yang ingin Yuca lakukan. Ia ingin menghilangkan perasaan simpatinya pada Naja. Melupakan segala hal tentang Naja, mulai dari mereka yang pernah berpacaran sampai sebuah fakta yang terkuak yang membuat mereka putus. Begitu pula tentang Naja yang tinggal sendirian di apartemen dan tidak punya siapa-siapa serta masalah alergi pria itu, Yuca ingin melupakannya.

Namun, bagaimana bisa Yuca setega itu kalau ia tahu sesungguhnya Naja tidak setegar yang dikira banyak orang? Bagaimana mimpi buruk sering menghampirinya dan Naja yang kesepian tanpa keluarga. Bagaimana Yuca bisa lupa betapa berseleranya Naja makan setiap ia masakkan sambal udang, betapa Naja suka pijatan Yuca di punggungnya, serta kesukaan-kesukaan Naja lainnya. Untuk itu, kali ini saja Yuca mengalah dengan egonya.

"Eh, Ca, mau ngapain?" Rika yang tangannya tiba-tiba dilepas oleh Yuca menatap perempuan itu bingung. Yuca berbalik, berjalan cepat ke arah Naja tanpa menjawab pertanyaan Rika.

Langkah demi langkah lebar Yuca tak butuh waktu lama untuk mengantarnya pada tempat tujuannya. Ia merogoh tas, mengambil tablet obat yang selama tiga bulan terakhir selalu menjadi penghuni wajib tasnya.

Tanpa bicara, Yuca meletakkan dengan keras satu tablet obat yang sama sekali belum dimakan ke hadapan Naja. Tidak ada keramahan di wajah Yuca sampai ia kembali melangkah pergi. Namun, rasanya ada yang mengganjal di hati Yuca. Pada akhirnya ia berbalik lagi menatap Naja.

"Kayaknya lo menggampangkan penyakit lo itu, ya! Terserah aja, sih. Tapi kalau kambuh masih ngerepotin orang lain, mending tau diri!"

Yuca tidak tahu apa yang ia lakukan sekarang. Karena kini ia sudah seperti orang bodoh yang bolak-balik ke meja Naja. Sambil marah-marah pula. Dan saat ini ia sudah pergi lagi tanpa peduli dengan pandangan penuh tanya dari Naja. Dan jangan lupakan pula keberadaan Dara dan Renra yang terlihat syok dengan tingkahnya.

Ya, Yuca memang marah. Jika memang Naja hanya menjadikan dirinya taruhan dan tidak benar-benar tulus dengannya selama dua bulan itu, setidaknya selepas putus Naja bisa menjaga dirinya dengan baik.

Harusnya begitu ... karena itulah yang Yuca inginkan. Sebab Yuca tahu seberapa lengahnya Naja terhadap hidupnya sendiri.

"Ca, kok nangis?" tanya Rika bingung. Ia mengusap-ngusap lengan Yuca.

"Nggak tau! Gue keh-sel, kesel banget!" jawab Yuca sambil terisak. Ia mengusap air matanya dengan kasar. Kini mereka menepi di balik pilar besar. "Seenggaknya kalau emang di-dia mau makan apa aja yang pacarnya kasih, dia harus siapin obat! Dia itu nggak ada yang nemenin di rumah dan nggak banyak yang bisa dia mintain tolong. Harusnya dia bisa jaga diri baik-baik, Rik. Nggak bodo ... amat sam-ma kesehatannya sendiri kayak gini!" Isakan Yuca malah semakin menjadi.

"Dia ... siapa? Pak Naja maksudnya?"

"Bukan!" kilah Yuca, "cuma orang berumur yang kelakuannya masih kekanakan."

Rika tidak membalas lagi. Ia meringis, menunduk sopan pada seseorang yang menjulang di belakang Yuca. "Selamat siang, Pak Naja," sapa Rika yang berhasil membuat air mata Yuca seperti membeku. Begitu pula tubuhnya.

****

Sesuatu yang dilalui dengan cara jahat, maka yang kelihatan pasti jahatnya sekali pun tujuannya baik. Kacamata manusia memang selalu melihat apa yang bisa mata mereka tangkap dan telinga mereka dengar. Tanpa mau tahu terlebih dahulu apa tujuan orang tersebut berlaku seperti itu. Begitu pula Yuca, ketika menatap Naja yang kini duduk di sebelahnya dengan jarak setengah meter.

Memangnya, apa susahnya menerima obat yang Yuca kasih? Pria itu tinggal meminumnya lalu menyimpan sisanya dalam dompet. Sungguh sangat mudah. Atau kalau memang Naja terlalu malas melakukannya, maka biar Yuca yang mengambil dompet pria itu dan memasukkan obat tersebut ke sana. Bukan malah seperti ini—mengembalikan tablet obat itu padanya.

Setelah menyeret—oke, itu terlalu kasar, Naja mengajaknya ke rooftop untuk bicara. Kini mereka duduk berdampingan di atas kursi kayu panjang walau jelas ada jarak di antara mereka. Kedua tangan Yuca yang meremas rok sepan selutunya mengepal dan bergetar.

"Ca—"

"Kenapa cuma minum obat dari gue aja lo nggak mau?" tanya Yuca. Ia menatap Naja tatar. Ada luka di iris cokelatnya yang tergambar sangat jelas. "Kasih gue alasan yang masuk akal, Naja! Setelah lo jadiin gue taruhan, setelah semua niat buruk lo ke gue, dan permintaan maaf lo yang nggak pernah benar-benar tulus, kenapa sekarang cuma obat dari gue lo nggak mau nerima?" Sebagai wanita, ego Yuca tentu terluka. Merasa tidak diinginkan, itu pasti. Dan Naja yang menjadikannya berpikir seperti itu.

"Gue udah jelasin tadi. Karena menurut gue lo nggak harus lakuin ini lagi," jawab Naja tanpa penekanan. Seolah ia benar-benar lelah mengungkapkan penjelasan pendek itu untuk kedua kalinya. "Gue udah minum satu. Gue udah nggak kenapa-kenapa. Gejalanya juga nggak parah. Gue tau kondisi gue."

Yuca menelan ludahnya yang terasa alot. Ia mengalihkan wajah, menatap ke arah bangunan pencakar langit yang menjadi pemandangan rooftop. Jawaban Naja itu, seolah penolakannya bertujuan baik. Seolah dengan menolak obat yang Yuca kasih adalah sebuah kebaikan yang bisa ia lakukan. Dan kebaikan itu dengan cara menyakiti Yuca.

"Lo nggak mau gue berharap sama lo," gumam Yuca, memperjelas maksud Naja yang tidak pria itu utarakan secara gamblang. Yuca manggut-manggut sambil mengusap kedua pipinya yang tiba-tiba basah. "Oke, buang aja obatnya kalau lo nggak mau nerima. Gue juga nggak butuh obat itu."

Menunduk, Naja menatap obat yang masih berada di tangannya. Lantas pria itu berdiri, berjalan ke dekat pintu rooftop di mana tempat sampah berada. Dengan jelas Yuca melihat Naja menjatuhkan obat itu di sana tanpa pikir panjang. Yuca menahan napas saat Naja kembali mendekat.

"Jangan kayak gini lagi, Ca. Gue harap lo bisa bahagia sama laki-laki yang tulus sama lo. Gue nggak bisa ngasih itu, jadi jangan nangisin gue lagi. Serius, gue nggak tau harus gimana ngadepin kesedihan lo dan ... perasaan lo ke gue," kata Naja. Pria itu berdiri di depan Yuca. "Kalau lo bukan penulis yang dibutuhkan NF saat ini, mungkin gue nggak akan terganggu. Tapi lo dan gue nyaris ketemu setiap hari, lihat wajah lo yang selalu sedih berdampak buat gue. Gue nggak pernah merasa jahat cuma karena one night stand sama perempuan, tapi sama lo gue mikir 'apa gue keterlaluan?'. Tapi gue rasa nggak, karena bahkan gue nggak pernah nidurin lo ... karena lo selalu nolak."

Tapi lo berniat untuk itu, Naj.

Yuca menelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Ia mengangguk paham. "Perasaan gue, itu punya gue. Gue sendiri nggak bisa mengontrolnya. Tapi gue rasa, sekali pun gue masih terganggu sama taruhan lo dan teman-teman lo, atau bahkan gue masih ada rasa sama lo, gue nggak pernah kan, Naj, mohon-mohon ke lo buat balikan? Harusnya lo nggak perlu terganggu. Kalau soal reaksi gue ke lo dan Dara, ya itu emang akibat dari tindakan kalian." Mendongak menatap Naja lekat, Yuca menarik napasnya dalam. "Lagian gue juga tau diri kalau gue bukan tipe lo. Lo udah bilang itu. Gue juga nggak bego buat minta balikan sama laki-laki berengsek kayak lo, Naj. Terlepas dari rasa suka gue ke lo, gue sayang sama diri gue sendiri," lanjut Yuca. Lantas ia ikut berdiri. "Mulai sekarang, ayo kita hidup damai di sisa kontrak gue di NF. Anggap kita nggak pernah kenal dan gue cuma hantu di kantor lo."

Setelah itu Yuca melewati Naja, meninggalkan pria itu tanpa menunggu reaksinya. Naja benar-benar pria jahat yang tidak pantas menerima perasaannya yang tulus.

"Semoga bahagia sama cewek yang buat alergi lo muncul terus!" monolog Yuca dengan suara serak. Ia mengusap kasar pipinya dengan punggung tangan. "Air mata sialan!"

Related chapters

  • You Are Mine   07. Kecelakaan

    "Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da

    Last Updated : 2021-06-19
  • You Are Mine   08. Kebetulan

    Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai

    Last Updated : 2021-06-21
  • You Are Mine   09. Pendapat Naja

    "Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar

    Last Updated : 2021-06-22
  • You Are Mine   10. Gaya Hidup

    "Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid

    Last Updated : 2021-06-24
  • You Are Mine   11. Club

    Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema

    Last Updated : 2021-06-28
  • You Are Mine   12. Apartemen

    Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali

    Last Updated : 2021-07-01
  • You Are Mine   13. Alasan

    Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa

    Last Updated : 2021-07-05
  • You Are Mine   14. Kesadaran

    Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga

    Last Updated : 2021-07-06

Latest chapter

  • You Are Mine   16. Kencan Buta

    Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej

  • You Are Mine   15. Putus

    Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar

  • You Are Mine   14. Kesadaran

    Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga

  • You Are Mine   13. Alasan

    Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa

  • You Are Mine   12. Apartemen

    Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali

  • You Are Mine   11. Club

    Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema

  • You Are Mine   10. Gaya Hidup

    "Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid

  • You Are Mine   09. Pendapat Naja

    "Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar

  • You Are Mine   08. Kebetulan

    Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai

DMCA.com Protection Status