"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"
Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu.
"Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.
Oh, nasi goreng seafood.
Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti itu.
"Sama-sama, Pak. Kalau gitu saya duluan, ya?"
"Iya-iya, Mbak. Silakan."
Setelah melempar senyum ramah sekali lagi, Yuca pun pergi ke parkiran. Ia mengecek jam tangannya, pukul delapan malam. Ia masih punya waktu untuk mampir ke toko buku.
Setelah perjalan empat puluh menit, Yuca sampai di parkiran toko buku yang letaknya di pinggir jalan. Sengaja ia tidak mencari yang di dalam mal agar lebih cepat.
Kalau musik dan film tidak mempan lagi mengalihkan pikirannya, kini Yuca butuh novel. Selama bekerja sama dengan NF Entertainment, ia lebih banyak membaca buku untuk kebutuhan riset. Maka kali ini ia akan membaca buku fantasi, agar pikirannya bisa keluar dari bumi sementara waktu.
Langkah santainya mengantarkan Yuca sampai pada rak deretan novel. Perempuan itu asyik menggerakkan telunjuk di deretan buku-buku seiring langkahnya ketika namanya dipanggil.
"Yuca!" seru suara itu lagi. "Beneran Kak Yuca?!" Dua remaja itu semakin histeris ketika Yuca menatap mereka.
"Ha-hai ...," sapa Yuca canggung. Seketika ia menyesal karena tidak memakai masker. Walaupun bukan artis yang sering lalu-lalang di televisi, tetapi tidak jarang dirinya bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Tentu saja sebagai seorang penulis Novel.
"Kak Yuca, aku suka banget, lho, sama cerita Kakak yang judulnya 'Help Me!'. Serius itu baguuus banget, Kak!" kata gadis yang berambut seleher.
Wait, novel 'Help Me!'? Seketika Yuca meringis, novel itu 'kan ada adegan dewasanya. Bertema pelakor—perebut laki orang—mengharuskan Yuca membuat adegan tersebut sebagai bumbu cerita.
Ini yang kadang membuat Yuca miris. Kesadaran diri pembaca kadang kurang. Sudah diberi peringatan batas usia, yang masih di bawah umur terkadang ada saja yang menerobos.
"Kalau aku sukanya yang 'The Twins', Kak. Gemes banget tokoh cowoknya tsundere gitu," timpal teman si rambut seleher. Saking gemas sendiri, ia sampai memukul-mukul lengan atas temannya. "Buku ketiga 'The Twins' kapan terbit, Kak? Aduh nggak sabar, deh!"
"Oh ... 'The Twins' sekitar tahun depan kali, ya, atau akhir tahun ini," jawab Yuca ramah.
"Yah ... lama banget, Kak ...."
Ya, lama. Karena diketiknya pakai jari dan sebelum itu harus mikir pakai otak. Belum lagi riset. Apalagi kalau ada halangan lain.
Rasanya Yuca ingin menjawab seperti itu, tetapi kesannya akan judes. Jadi ia menahan diri dan hanya membalas dengan senyuman.
"Ca, udah?"
Perempuan itu tersentak ketika bahunya disentuh. Ia mendongak, semakin terkejut saja ketika melihat siapa yang bertanya dengan nada seakrab itu. Sosok pria dengan senyum ramah hingga matanya menyipit berdiri menjulang di sampingnya.
"Kok bengong?" Pria itu terkekeh. "Udah dapat buku yang dicari?"
Yuca mengalihkan pandangan pada dua gadis remaja di hadapannya. "O-oh, bukunya nggak ada, Ren," jawab Yuca akhirnya.
"Pulang?"
Bola mata Yuca bergantian menatap Renra dan kedua gadis di hadapannya. "Iya. Mau pulang."
"Kak Yuca, foto dulu dooong," pinta gadis berambut seleher.
"Maaf, ya, Adek-Adek. Kak Yuca-nya buru-buru baru pulang kerja. Makasih, ya, udah pada suka sama karyanya Kak Yuca."
Bukan .... Bukan Yuca yang menjawab, melainkan Renra. Pria itu dengan sangat manis mengucapkan kalimat tersebut pada dua gadis di hadapan mereka.
Sontak kedua gadis itu tampak kecewa mendengarnya. Namun, pada akhirnya mereka tersenyum. "Sukses terus, ya, Kak Yuca. Ditunggu, lho, buku ketiga novel trilogi 'The Twins'-nya."
Yuca tertawa kecil, tetapi sialnya terdengar tidak lucu bahkan di telinganya sendiri. "Iya. Semoga bisa cepat, ya ...."
"Yuk," ajak Renra. Tanpa diskusi atau kode kecil, pria itu menggandeng tangan Yuca dan menariknya keluar toko buku. Kejadian itu terasa begitu tiba-tiba hingga Yuca tak tahu benar apa maksud pria itu.
Sesampainya di parkiran yang tepat berada di depan toko buku, Yuca menarik tangannya dari genggaman Renra. "Maksud Bapak apa, ya?" tanya Yuca formal. Walaupun Renra maupun Naja masih berumur tiga puluh tiga tahun, yang berarti delapan tahun di atasnya, tetapi semua karyawan memanggil mereka dengan sebutan bapak ketika di kantor.
"Don't bapak me. Kita di luar kantor, Ca." Kedua tangan Renra menelusup ke kantong celana kainnya. "Gue lihat lo nggak nyaman. Jadi gue bantu lo pergi dari mereka."
"Mereka cuma penggemar karya saya."
"Penggemar yang buat lo nggak nyaman," tekan Renra.
Memutar bola mata sambil melengos, Yuca memilih tidak mendebatkan hal itu lagi. "Oke, thanks karena sudah meloloskan gue dari penggemar-yang-buat-gue-nggak-nyaman," tekan Yuca sarat akan sindiran. Bicaranya sudah tak terkontrol agar formal seperti sebelumnya.
Ia memang sangat sensi dengan lingkaran orang-orang yang menjadikannya taruhan, jadi sekali pun dugaan Renra benar—bahwa Yuca tidak nyaman—tetap saja kalau bisa memilih, Yuca akan menolak bantuan Renra.
Bukannya kesal karena ucapan terima kasih Yuca terdengar tidak tulus, Renra malah terkekeh.
Merasa ditertawakan, Yuca memelotot. Pria ini pasti satu spesies dengan Naja. Ia harus berhati-hati. Tujuan Naja mendekatinya karena taruhan. Sekadar itu. Dan lagi, ide itu datangnya bukan dari Naja sendirian, melainkan dari Dara dan pria di hadapannya ini juga. Yuca mundur selangkah, menjaga jarak.
"Lo bawa mobil?" Mata Renra memindai sekitar, mencari-cari mobil Yuca yang beberapa kali ia temui saat di basemant kantor.
"Bawa."
"Ada waktu buat ngopi? Gue mau ngomong sesuatu. Waktu di rooftop lo langsung pergi."
Rasa curiga muncul di kepala Yuca. Ia menatap Renra dengan mata sedikit menyipit, seolah menganalisa keseriusan ucapan pria itu. Ya, siapa yang tahu bahwa ajakan Renra ini adalah sebuah jebakan yang entah untuk apa. Yuca hanya ingin berhati-hati.
"Ngomong di sini aja," jawab Yuca akhirnya.
"Berdiri di tengah kesibukan kendaraan keluar-masuk parkiran begini?" ucap Renra sambil memandangi kendaraan yang keluar dan masuk, seperti yang ia ucapkan.
"Ya ... kenapa nggak?"
Kini pandangan Renra bergerak pada kedua kaki Yuca, di mana alas kaki perempuan itu adalah sepatu ber-heels lima senti yang hanya serukuran jari kelingking anak balita.
"Oke, cari tempat lain," putus Yuca akhirnya. Ia mendengkus kecil.
"Dalam mobil?"
Berduaan di ruang sempit? Oh, no!
"Tadi lo bilang ngopi, di mana?" tanya Yuca. Bermaksud bahwa ia memilih tempat itu untuk mengobrol.
"Tuh." Renra memajukan dagunya, menunjuk kafe kecil di samping toko buku.
Jarak antara toko buku dan kafe yang cukup dekat membuat Yuca sempat bingung. Mereka bisa saja berjalan kaki, tetapi bagaimana dengan mobil?
"Mobil tinggal di sini aja. Nggak masalah. Lagian gue ngomongnya singkat aja," ucap Renra, seolah paham apa yang dipikirkan perempuan di hadapnnya. "Kecuali lo pengen ngobrol lama."
Kedua alis Yuca terangkat rendah. Tak suka dengan bicara Renra yang terlalu akrab.
****
Dua gelas kopi terhidang di atas meja. Keduanya sama-sama rasa americano. Awalnya Renra sempat takjub dengan selera kopi Yuca. Namun, buru-buru perempuan itu mengkonfirmasi bahwa dirinya adalah penikmat kopi.
"Jadi?" tanya Yuca ketika melihat Renra meletakan gelasnya di meja.
"Gue cuma nggak mau ada kesalahpahaman aja sebenarnya. Walau bagaimana pun, lo kerja sama dengan NF saat ini." Mulai menjelaskan, Renra benar-benar serius. "Soal taruhan, gue nggak ikut campur. Itu urusan Naja dan Dara. Gue emang tau adanya taruhan itu, tapi gue sama sekali nggak dukung," jelas Renra.
Yuca hanya diam. Menerka-nerka apa tujuan Renra membeberkan hal tidak penting seperti itu. Ya, maksud Yuca, harusnya Renra tidak perlu repot menjelaskan, karena ia kira sikapnya pada Renra tak sampai membuat pria itu terusik. Namun, sepertinya ia salah.
"Ya, walau bagaimana pun Naja dan Dara teman gue. Gue bukan mau mendorong mereka berdua sedangkan gue lepas tangan, tapi ya ... memang begitulah adanya, Ca. Gue nggak mau lo mengira gue ikut mendorong adanya taruhan itu. Tapi kayaknya lo udah mengira begitu, sih." Renra terkekeh kecil.
"Iya, bener. Gue emang mengiranya begitu," kata Yuca. Ia merasa tidak perlu pura-pura tidak mencurigai Renra. "Terlepas dari lo ikut campur atau nggak, tapi lo ada di sana. Lo tau semua, tapi nggak mencoba menghentikan rencana konyol ... tapi konyol sepertinya terlalu lembut untuk dijadikan sebutan dari tindakan kalian. Oh, Naja dan Dara saja, ya?" Ada nada sarkasme yang tidak repot-repot Yuca tutup-tutupi. "Mungkin terdengar egois atau nggak tau diri, tapi setelah mendengar apa yang lo sampaikan, gue nggak merasa lebih baik. Dan gue nggak merasa harus merubah sikap gue selama ini."
Renra manggut-manggut. "Gue paham. Setidaknya gue udah bilang itu."
"Hm." Yuca beranjak. "Kalau begitu gue pergi duluan," pamitnya lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban Renra.
Pandangan Renra terpaku pada punggung Yuca yang dimakan daun pintu kaca. Pria itu menghela napas berat sambil menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi.
Sikap perempuan itu sekarang sangat jauh berbeda ketika ia masih berpacaran dengan Naja. Saat dengan temannya itu, Yuca sangat manis dan ramah. Namun, kini ia berubah. Jangankan ramah, membalas sapaannya dengan senyum saja tidak pernah. Akan tetapi, entah perasaan ini datang dari mana, Renra lebih suka Yuca yang sekarang.
Yuca tanpa embel-embel 'pacar Naja'.
"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra."Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu."Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya."Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.Teli
"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai