"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.
Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya.
"Jadi gimana lo sama Naja sekarang?"
"Nggak pernah saling tegur lagi. Ya, seperti yang gue minta." Pipi bulat perempuan itu penuh dan bergerak-gerak. "Syukurnya kerja aktif ngantor sebulan lebih lagi. Tapi naskah skenarionya udah mau selesai. Mungkin dua minggu lagi."
"Wih, cepet amat, Na."
"Ya cepat. Gue lembur terus bahkan sampai kantor udah kosong melompong. Pernah sampai jam sembilan malam. Sebenarnya kadang gue nggak enak karena dengan begitu tim gue juga nge-push diri mereka. Tapi mau gimana lagi, gue udah nggak betah."
"Tim lo tau nggak, sih, masalah lo dan bos mereka?" tanya Letta sambil memperbaiki ikat rambutnya. Ia beringsut turun dari sofa lalu duduk ke ambal bulu bersama Yuca.
"Tau. Jadi mereka paham aja kenapa gue jadi gila pengen cepat-cepat skenarionya selesai," jawab Yuca. "Mereka pada pengertian, syukurnya."
Obrolan mereka telah berlangsung lama, bahkan sinar dari luar sudah tidak ada lewat celah jendela lagi sebab hari berganti malam. Yuca merebahkan tubuh sambil memeluk bantal sofa di atas perutnya. Perempuan itu terdiam, menatap langit-langit indekos Letta yang berwarna putih.
"Kalau naskah udah selesai, emang boleh nggak ngantor, Na?" tanya Letta setelah menenggak pepsi-nya. "Kan masih ada kontrak."
"Boleh. Perjanjiannya begitu, masa kontrak adalah deadline. Naskah selesai, otomatis kerjaan beres. Palingan tinggal revisi kalau emang ada yang berubah, itu bisa dari rumah," jelas Yuca tanpa menatap Letta yang kembali menghasilkan suara 'kriuk' dari mulutnya karena makan ayam tepung.
"Syuting?"
"Gue nggak mau datang."
"Boleh?"
"Mungkin .... Gue rasa Naja juga mendukung gue nggak datang, sih."
"Kok perih, ya, Na?" gumam Letta. Ia menyentuh dadanya. "Di sini kayak 'nyes' gitu dengar kisah lo sama Naja. Gila, ya, itu cowok. Kapan lagi dapat yang tulus kayak lo, sih?"
"Tulus doang, cantik nggak." Yuca terkekeh sumbang. Ia bangkit duduk lalu menepuk bantal di pangkuannya. "Kayaknya gue mau pulang, deh. Jam berapa, sih?"
Letta mengambil ponselnya di meja pendek sampingnya. "Jam delapan."
"Lama juga gue di sini. Gue pulang, ya, Ta? Ayamnya abisin."
"Haha makasih," jawab Letta sambil tertawa dibuat-buat. Ia mengikuti Yuca berdiri dan mengantarnya sampai pintu. "Sampai rumah chat gue, ya."
"Oke, Sayang."
"Jijik, ah. Jones, lo. Belum juga jomlo tiga bulan." Letta melempar tulang ayam sisa ia gerogoti dagingnya ke arah Yuca yang kini memakai sepatu di teras indekosnya. Temannya itu hanya tertawa dan sempat menghindar.
"Jangan lupa, dua bulannya cuma dijadiin taruhan."
"Sungguh biadap."
Keduanya sama-sama tergelak mendengar celetukan Letta. Temannya ini mulutnya emang bisa aja, dah.
"Oke, gue pulang dulu. See you kapan-kapan." Yuca melambai lalu berjalan ke parkiran. Setelah mobil Yuca tak terlihat lagi, barulah Letta masuk indekos.
*****
Apakah Yuca langsung pulang? Oh, tentu tidak. Setelah Senin (bahkan) hingga Sabtu menghabiskan siang dan malamnya di kantor, ia tidak mau melewatkan hari Minggu-nya dengan duduk diam di rumah. Karena hal itu hanya akan membuatnya gabut dan pada akhirnya melamun tentang Naja—tepatnya hubungan mereka selama dua bulan itu. Hubungan yang sungguh manis. Ia ingat setelah pacaran dengan Naja tidak pernah membawa mobil sendiri karena pria itu yang mengantar dan jemput dirinya dengan rutin, selama dua bulan itu di masa kerja tanpa sekali pun bolong. Namun, Naja memang selalu menolak setiap diajak mampir karena ia bilang belum siap berkenalan dengan orang tua Yuca. Tentu Yuca paham, apalagi usia hubungan mereka memang terbilang sangat baru.
Naja memperlakukannya dengan sangat baik dan sopan. Pria itu selalu mendengarkan pendapat dan masukannya. Naja tidak pernah memaksa dalam hal apa pun. Termasuk saat mereka sudah di tahap make out, tetapi Yuca meminta berhenti dan menolak untuk having sex—yang akhirnya Yuca tau ajakan itu karena taruhan.
Setiap Yuca mengajak Naja berbelanja di supermarket untuk mengisi kekosongan kulkas pria itu, Naja—tampak—dengan senang hati menurut. Saat Yuca memasak untuknya di apartemen, Naja makan dengan sangat lahap, tampak tak terpaksa. Pria itu juga tidak pernah terlihat keberatan setiap mengantar dan jemput Yuca, dan menuruti semua permintaan Yuca ke mana pun ia ingin pergi di weekend mereka. Namun, ternyata semuanya palsu. Itu semua karena dilandasi niat terselubung.
Naja adalah aktor yang baik. Kepura-puraannya selama dua bulan itu tidak pernah terendus sedikit pun oleh Yuca sampai ia mendengar sendiri fakta dari mulut Naja, Dara, dan Renra bahwa dirinya hanyalah taruhan.
BRAK!
"Arg!" Yuca menginjak rem, seketika panik dengan kejadian yang rasanya begitu cepat. "Sialan, lampu merah, gue nggak lihat," gumamnya panik. Apalagi ketika seorang pria paruh baya berbadan kekar keluar dari mobil di depannya yang sudah ia tabrak. Pria itu berdiri di samping mobil Yuca, lalu mengetuk kacanya dengan tidak sabar.
Astaga, harusnya ia tidak melamun tadi. Memikirkan Naja memang tidak pernah berakhir baik.
"Keluar kamu!"
Yuca tersentak mendengar samar-samar bentakan itu. Ia melepas seatbelt, lantas membuka pintu mobil dan keluar. Pria kekar itu hanya memakai baju singlet hitam, memamerkan otot-otot lengannya yang besar. Dadanya pun terlihat sangat bidang. Yuca meringis, ia akan penyet dengan sekali pukulan. Mana wajah pria di depannya terlihat sangat marah.
"Bisa bawa mobil nggak? Kalau nggak bisa mending naik taksi atau pakai sopir, mobil saya penyet ini, gimana?!" semburnya dengan suara yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Bahkan para pengendara mobil sengaja membuka kaca mobil mereka agar dapat mendengar keributan itu dengan lebih jelas.
Pandangan Yuca tertuju pada bagian depan mobilnya dang belakang mobil pria tersebut. Benar katanya, penyet.
"Heh, jawab!" Dengan sekali dorongan pelan di pundak, Yuca termundur selangkah.
"Maaf, Mas. Saya benar-benar nggak sengaja. Mobilnya dibawa ke bengkel aja nanti saya bayar biayanya," ujar Yuca berusaha tenang. "Notanya kirim ke saya. Mas-nya boleh simpan nomor saya."
"Banyak uang kamu?!" sentak pria itu lagi. "Kalau saya tadi kenapa-kenapa gimana? Leher saya ini sakit!" Ia menunjuk lehernya yang tiba-tiba saja kepalanya miring ke kanan dan tidak balik lagi. Lho?
"Ta-tapi ...."
"Itu, saya nggak sendiri." Pria berambut nyaris botak itu berjalan ke mobilnya lalu meminta seseorang dari sana keluar. "Teman saya lehernya juga sakit," ujarnya. Kedua teman itu saling tatap, lalu pria satu lagi mulai mengaduh sambil memegang leher belakang.
Otak Yuca bekerja dengan cepat. Ia tahu sakit leher hanyalah akal-akalan saja untuk memerasnya. "Mas ini mau mengerjai saya, ya?" kata Yuca memberanikan diri. Di sini banyak orang, dua pria bertubuh atletis itu tidak akan berani macam-macam. Setidaknya begitulah yang ia yakini. "Saya akan tanggung jawab sola mobil—"
"Dan uang tunai untuk leher kami!" potong pria bersinglet itu.
"Saya tahu Anda ini cuma mencari kesempatan. Saya ganti rugi mobil, tapi tidak dengan pengobatan leher." Dengan cekatan Yuca membuka mobil untuk mengambil pulpen dan note di dashboard. Ia menulis nomor ponselnya dengan kap mobil depan sebagai alas. "Ini nomor saya. Foto nota perbaikan dari bengkel bisa kirim ke nomor ini serta alamat bengkelnya," ujar Yuca sambil menyerahkan kertas tersebut dan langsung dirampas.
"Uang tunai untuk ke rumah sakit, mana?!" katanya sambil mengulurkan tangan. Sudah seperti meminta uang jajan sama mamanya saja.
"Saya minta maaf atas kerusakan yang saya perbuat. Saya akan tanggung jawab. Tapi saya tahu leher Anda hanya pura-pura. Bahkan saya menabraknya tadi tidak—"
"Kamu menuduh saya bohong, hah?!" Pria itu maju selangkah sambil membentak. Sungguh seperti preman. "Sudah salah, tidak mau bertanggung jawab lagi! Saya laporkan kamu, ya!" ancamnya.
"Silakan," tantang Yuca tidak takut.
"Oh, nantang kamu. Iya?!" Pria itu maju lagi, menghapus jarak mereka. Yuca mundur, tetapi dengan cepat tangannya ditarik. "Berani kamu?!" Mata pria itu memelotot, mengerikan. Dari jarak sedekat ini, dapat Yuca lihat ada bekas jahitan di pipinya dari luka sobek yang cukup panjang.
"Aw ... lepas!" Yuca berusaha menarik tangannya. Sial, orang-orang hanya menonton. Hanya ada yang berteriak dari kendaraan mereka untuk tidak kasar dengan perempuan. Mungkin mereka juga takut. Wajar, dua pria itu memang mengerikan.
Yuca didorong hingga tubuhnya limbung ke belakang. Namun, belum sampai tubuhnya menghantam aspal, seseorang menahan tangan dan pinggangnya dari belakang hingga Yuca kembali berdiri sempurna.
"Lo nggak apa-apa?"
Yuca menoleh. Terkejut melihat siapa yang kini berada di sampingnya. Perempuan itu mengangguk kaku sebagai jawaban.
"Jangan kasar sama perempuan. Dia sudah minta maaf, 'kan? Anda mau ganti rugi berapa?" Pria yang menolongnya itu mengeluarkan dompet, siap menarik uang dari sana. Cepat-cepat Yuca menahan tangannya.
"Jangan," tahan Yuca, "sudah saya kasih nomor saya untuk dihubungi buat ganti rugi mobil."
"Lho, ini leher saya—" Preman itu tarik urat lagi, tetapi segera berhenti saat disodorkan berlembar-lembar uang berwarna merah. Yuca bahkan yakin jumlahnya lebih dari sepuluh lembar. Bisa jadi dua kali lipatnya, atau bahkan tiga kali.
Belum sempat Yuca menahan, uang itu sudah dirampas. Dua orang yang ia tabrak itu tersenyum menang, lantas kembali ke mobil dengan kepala digoyang-goyangkan, mengolok. Mereka bohong.
"Mobil lo juga antar ke bengkel, gue antar pulangnya."
Lampu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi hijau membuat kendaraan lain kembali bergerak. Mereka membunyikan klakson dan meneriaki Yuca untuk segera meminggirkan mobilnya.
Yuca menatap pria di hadapannya saat ini. Tidak habis pikir kenapa dengan mudah membayar preman macam orang tadi yang jelas-jelas berbohong.
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai