Tak seharusnya Naja memikirkan hal seperti ini saat kesehatannya sedang buruk, tetapi tanpa bisa ia cegah, ingatannya mundur pada kejadian tiga bulan lalu. Tepatnya saat pertama kali ia bertemu seorang perempuan bernama Yuna Niscala Abram, yang sebelumnya ia ketahui bernama Yuca. Yuca adalah nama pena perempuan itu sebagai seorang penulis novel romance. Tidak sekali dua kali nama itu lewat di telinga Naja karena karya-karyanya yang bertengger lama di rak best seller. Namun, Naja tidak pernah menaruh perhatian sampai ketika NF Entertainment ingin membuat proyek baru, yaitu memproduksi web series, serial mini yang saat ini sedang naik daun. Dan saat itu Yuca-lah yang digaet menjadi penulisnya. NF Entertainment sendiri ingin web series yang fresh, di mana bukan adaptasi dari novel atau wadah lain.
Tidak pernah Naja ada niat mendekati Yuca sebagai 'perempuan', melainkan sekadar penulis di agensinya. Namun, ketika dirinya, Dara, dan Renra berkumpul, tercetuslah fakta bahwa Yuca masih perawan dari mulut Dara. Perempuan itu bilang dulu sempat satu kampus dengan Yuca dan terkadang hangout bersama. Dan entah bagaimana, perjanjian mendapatkan hati Yuca dan menidurinya menjadi akhir obrolan mereka sebelum pulang.
Sebulan berlalu, Naja sudah bisa merubah statusnya dan Yuca menjadi berpacaran. Dalam waktu pendekatan yang sangat singkat itu, hubungan mereka berjalan sangat baik hingga dua bulan, alias kurun waktu taruhan.
"Eh, Naj!"
Naja tersentak karena tepukan Dara di punggungnya. Ia menatap temannya itu kosong, seperti pikirannya belum kembali dari bayangan kala itu.
"Naja, kenapa lo?" Dara menggerakkan tangannya di depan wajah Naja membuat pria itu mengerjap. "Mikirin apa, sih?" tanyanya sambil meletakkan buah-buah yang ia bawa di atas nakas.
"Nggak ada," jawab Naja saat pikirannya sudah kembali pada situasi sekarang. Ia menatap Dara lalu Renra yang tengah duduk di sofa bergantian.
"Apa alergi itu berdampak pada kerja otak lo juga, Naj?" celetuk Dara mengolok. Ia mengambil satu buah apel yang ia bawa untuk dikupas.
"Sembarangan lo! Kalau kita nggak tetanggaan waktu masih kecil, udah gue tendang lo dari list teman dan karyawan gue."
"Eits, jangan asal tendang. Gini-gini yang selalu dukung lo biar tetap semangat menjalani hidup, tuh, gue."
"Pede lo!" hardik Naja. Ia duduk lebih mundur lalu bersandar.
Dara terkekeh kecil. Ia menyodorkan piring kecil berisi potongan-potongan apel pada Naja. "Jadi yang ngantar lo ke sini adalah Yuca. Itu gimana ceritanya, Naj?" tanya Dara sambil berjalan ke sofa, bergabung dengan Renra.
Saat menghubungi Renra dan memberitahukan keberadaannya, Naja memang sempat bilang bahwa Yuca-lah yang mengantarnya ke rumah sakit. Namun, ia enggan menjelaskan lebih jauh alasan kenapa bisa perempuan itu yang mengantarnya.
"Itu karena kalian nggak bisa diharapin! Dan lo bilang tadi lo yang bikin gue semangat menjalani hidup, Dar? Bullshit banget," cibir Naja.
Dara terkekeh lagi. Puas dengan wajah kesal Naja yang kini mengunyah apel.
"Mau aja ya, Naj, anaknya?" kata Renra, baru bersuara. "Baik banget."
"Ya ... gimana lagi? Nggak tega mungkin. Gue juga nggak nyangka dia datang. Secara kita tau gimana marahnya dia."
"Marah dan kecewa tepatnya," timpal Dara. Ia meringis mengingat betapa kusut wajah Yuca setiap bertemu dengannya. "Yuca bener-bener nggak maafin gue."
"Salah lo!" ujar Naja sambil melempar potongan apel sisa ia gigit ke arah Dara, tetapi meleset. "Lagian setelah gue pikir-pikir. Lo temanan sama dia waktu masih kuliah, itu pun nggak terlalu akrab. Setelah kuliah nggak pernah komunikasi lagi, dan sekarang lo yakin dia masih perawan? Gila, gue impulsif banget waktu ngebahas taruhan itu, ya! Siapa yang jamin dia sekarang masih virgin, di usia dua lima gini?!" Naja geleng-geleng kepala. Sadar bahwa ia sudah melakukan kebodohan.
"Naj, rumor di kampus, Yuca itu memegang teguh 'no sex before marriage' tau."
"Udah!" lerai Renra. Ia menyiku Dara di sampingnya agar diam. "Jadi gimana ceritanya lo keracunan dan diantar Yuca?"
"Sebenarnya gejala keracunannya sejak semalam. Tapi gue berusaha abai aja. Cuma nggak sengaja kegigit kue kacang doang yang awalnya gue kira bukan kue kacang."
"Lo telan?"
"Iya. Nggak enak kalau langsung gue muntahin."
"Lah, si bego. Jangankan satu gigitan kue kacang, sendok bekas selai kacang dipake ke selai nanas roti lo aja lo-nya udah mau mati," sungut Dara sarkas. Tak habis pikir dia dengan pikiran Naja.
Renra menyiku Dara lagi agar perempuan itu diam. "Kenapa nggak enak mau dimuntahin?" tanyanya lagi.
"Gue lagi keluar sama Laura. Terus itu cewek bawain gue kue, taunya kue kacang," jelas Naja, "ternyata di rumah obat gue habis. Gue emang nggak pernah nyetok lagi selama pacaran sama Yuca. Karena selalu Yuca yang bawa antihistamin ke mana-mana. Karena udah malam, dini hari maksud gue. Sekitar jam empat atau mau jam lima kalau nggak salah. Gue pikir bisalah cek tunggu pagi aja sekalian beli obat. Taunya gue nggak bisa tidur. Batuk, mual, terus gatal-gatal. Sekitar jam tujuh, gue udah lemas dan dada gue sesak. Waktu itu gue nelepon lo, Dar. Nggak diangkat. Gue hubungi lo juga, Ren. Tapi sama, nggak diangkat."
"Lo abis senang-senang sama gebetan baru, sampai subuh malah, kenapa nggak itu orang ditelepon?" kata Dara, "lagian yang buat lo alergi juga si Laura-Laura itu."
"Gue udah coba telepon dia setelah hubungi kalian berdua. Tapi sama Laura nggak diangkat." Naja mengambil gelas berisi air putih di nakas lalu meminumnya. Kemudian melanjutkan, "Gue udah putus asa banget sebenarnya tadi pagi, cuma nunggu salah satu dari lo berdua buat nelepon balik. Sampai jam sembilan nggak ada kabar dari kalian, gue udah sesak napas, rasanya kayak dicekik. Gue putusin nelepon Yuca. Dan ya ... tau sendirilah kelanjutannya."
"Lo jelasin ke Yuca tentang keadaan lo dan minta dia datang, terus—"
"No," potong Naja. Ia kembali mengingat obrolannya tadi pagi dengan Yuca di telepon. Namun, sepertinya tidak pantas disebut obrolan karena mereka tidak benar-benar mengobrol. "Awalnya gue skeptis telepon gue bakal diangkat. Tapi pas sambungan mau mati, akhirnya dijawab sama Yuca." Naja menatap Dara dan Renra bergantian. "Yang terjadi waktu gue nelepon Yuca sama sekali nggak seperti yang lo kira, Dar. Gue udah sesak napas, nggak sanggup jelasin panjang lebar. Yang keluar dari mulut gue cuma 'Ca'. Gue cuma manggil ujung namanya terus diam, nggak kuat ngomong."
Saat Renra dan Dara menatapnya penasaran, Naja menarik napas panjang lalu melanjutkan, "Setelah itu Yuca manggilin gue beberapa kali. Karena gue cuma batuk-batuk, dia kayaknya langsung tau gue kenapa. Terus dia nanya apa gue di apartemen. Gue cuma uhuk-uhuk doang. Abis itu Yuca bilang 'gue ke sana sekarang!' dan telepon mati. Nggak sampai setengah jam, dia udah di apartemen gue."
"Gila, nggak sampai setengah jam banget, Naj?!" seru Dara. Ia geleng-geleng. "Ngebut banget itu dia. Terbang kali, ya? Bahkan kalau jalanan nggak terlalu macet, dari kantor ke apart lo sekitar empat puluh menitan."
"Itu dia!" Naja menjentikkan jarinya. "Gue sempat mikir apa dia bawa motor, tapi ternyata bawa mobil. Dan kalian tau? Waktu sampai, Yuca langsung ngasih minum gue obat."
"Wah, masih ngarep balikan itu, Naj!"
"Belum tentu," timpal Renra, "siapa tau itu stok obat waktu masih pacaran sama Naja dan kebetulan kebawa di tas yang dia pakai. Jangan tambahin bumbu negatiflah di niat baik orang."
"Emangnya ngarep balikan, tuh, negatif apa?" protes Dara.
"Iya, seenggaknya bagi Yuca."
"Heh, nggak usah ribut. Lagian gue nggak akan balikan juga sama dia. Bukan tipe gue, udah gue bilang dari awal sama kalian," sela Naja. Cowok itu beringsut merebahkan tubuhnya. "Udahlah, gue mau tidur. Jangan berisik."
*****
"Papa nggak rela rasanya, Na, kalau ada laki-laki lain yang ngerasain masakan kamu."
Yuca meringis mendengar itu. "Apaan, sih, Papa tiba-tiba banget ngomong begitu," katanya salah tingkah. Ya ... gimana, dong? Ia sudah pernah masak buat Naja.
"Apalagi sambal gami udangmu ini, Na."
"Papa kenapa, sih?" tanya Yuca heran. Ia melirik sang mama. "Ma, Papa kenapa?" Perempuan itu terkekeh.
"Nggak tau. Dari tadi sebelum kamu pulang kerja namamu sudah disebut-sebut terus, Na," jawab mami setelah meneguk air minumnya.
Papa meletakkan sendok dan garpu di piringnya yang telah kosong lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Ia menatap putri semata wayangnya itu lamat-lamat. "Kenapa Yuna nggak ikutan makan sama mama papa?" tanya Hadi, papa Yuca.
"Hm, masih kenyang, Pa." Ia memang hanya memasak untuk makan malam orang tuanya, tetapi tidak ikut makan. Yuca sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut.
"Yuna ada malasah?"
Ditembak pertanyaan seperti itu tiba-tiba membuat Yuca kelabakan. "Ah ... nggak ada," jawabnya menggeleng. "Aman semua, lancar."
"Kelihatan, lho, itu matanya udah beberapa lama ini sembap terus. Apa nggak mau cerita aja?"
"Mama nungguin Yuna cerita," timpal Dira, seolah ia dan suami sudah pernah membahas soal keanehan putri mereka akhir-akhir ini.
"Aduh, Mama Papa ngomong apaan, sih?" kilah Yuca. Ia beranjak lalu menyusun piring kotor di meja bekas makan orang tuanya. "Yuna mau cuci piring." Setelan itu ia melipir untuk membawa alat makan kotor ke wastafel dan mulai mencuci.
"Besok Bi Endang datang, Na," ujar mama yang ternyata masih duduk di meja makan.
"Baguslah. Berarti Yuna bisa berhenti jadi babu," seloroh Yuca.
Dira terkekeh mendengarnya. "Iya, dan semoga Yuna bisa berhenti sedih juga, ya?" Tahu-tahu mama sudah berada di samping Yuca, mengantar dua gelas kotor. Ia menepuk bahu Yuca sambil tersenyum lembut.
Orang tua dan segala feeling-nya terhadap anak mereka. Yuca terkadang heran dengan orang tuanya yang selalu dapat menebak ketika ia sedih bahkan ketika sudah dengan keras ia tutup-tutupi. Seperti saat ini misalnya.
Yuca benar-benar enggan membahas mengenai Naja pada orang tuanya. Naja tidak sepenting itu untuk ia ceritakan pada mama dan papa dan begitulah seharusnya.
Ngomong-ngomong tentang Naja, apa kabarnya, ya, pria itu? Karena setelah pergi dari rumah sakit pagi tadi, Yuca sama sekali tak berusaha mencari tahu kabar Naja walaupun banyak pertanyaan hadir di benaknya. Selain kabar Naja, ia juga ingin tahu penyebab alergi Naja muncul. Namun, demi kewarasannya, Yuca memilih tak mencari tahu.
Entah Yuca harus lega atau kesal saat kembali melihat Naja di kantor. Atasannya itu tampak bugar dan sehat walafiat setelah tiga hari tidak bekerja. Jejak alergi kacang di kulit wajahnya juga sudah hilang. Kini Naja sudah baik-baik saja, sedikit banyak fakta itu membuat Yuca lega.Saat Naja baru datang, Yuca baru keluar dari ruangannya hendak ke toilet. Mata mereka bertemu pandang. Jantung Yuca sudah mulai berlebihan melihat pria itu lagi, tetapi lagi-lagi ia memang sangat berlebihan. Karena hanya dalam satu detik, Naja sudah membuang muka. Berjalan belok menuju ruangannya dan hilang dari pandangan Yuca. Seperti tidak kenal, begitulah yang terjadi. Namun, bukankah itu yang Yuca minta? Kini ia harus bersorak karena keinginannya itu dikabulkan oleh Naja, bukan?"Lapar banget nggak, sih?" Yuca menoleh. Ia mengangkat kedua alis rendah saat melihat Rika yang baru datang."Gue?" tanyanya lalu memandangi sekitar. Ya, hanya diriny
"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu."Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.Oh, nasi goreng seafood. Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti
"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra."Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu."Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya."Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.Teli
"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai