Cornelitta yang akrab dipanggil Litta, perempuan itu adalah teman Yuca sejak SMA hingga saat ini. Litta juga dengan senang hati dijadikan tempat sampah buat Yuca, alias tempat berkeluh-kesah. Seperti sekarang misalnya.
"Nangis lagi ...." Litta geleng-geleng kepala melihat Yuca. "Apa, sih, yang lo tangisin, Na? Tiap curhat nangis terus. Apa lagi yang bikin lo sedih? Udah gue bilang, lo nggak rugi putus sama laki-laki berengsek kayak Naja."
"Tapi dia perhatian," jawab Yuca sambil sesenggukan. Ia membersitkan hidung dengan tisu.
"Perhatiannya kan karena mau dapat perawan lo. Itu udah jelas. Semuanya cuma pura-pura. Lo tau itu, Yuna!"
"Iya, Ta, gue tau. Gue cuma lagi menikmati rasa sakit gue ini aja, kok."
Bantal melayang ke wajah Yuca. "Sakit kok dinikmati!" cibir Litta, tak sanggup lagi melihat kebodohan temannya itu.
"Biar entar kalau gue nulis scene patah hati, gue bisa menjabarkan dengan baik dan sampai ke hati pembaca."
"Ampun, deh. Emang dasar, ada-ada aja lo!" Litta merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya lurus-lurus ke arah plafon putih kamar Yuca. "Mau sampai kapan lo kayak gini, Na?"
"Hari ini, Ta. Terakhir malam ini gue nangisin Naja." Yuca menarik napas dalam-dalam agar lebih tenang. "Gue udah ikhlasin dia."
"Janji?!" seru Litta. Ia memicing menatap Yuca yang kini duduk di sampingnya.
"Janji. Mulai besok gue akan bersikap biasa aja sama Naja. Selayaknya bawahan dan bos." Yuca menarik tisu lalu membersitkan hidungnya.
"Ew ... jorok!" Litta memukul paha Yuca. Namun, temannya itu malah tertawa tanpa merasa bersalah.
"Makasih ya, Ta, udah mau dijadiin tempat sampah gue. Kapan-kapan gue traktir, deh. Kita beli KFC satu ember sama burger sepuas lo."
"Bener?"
"Beneran."
"Di kos gue, oke?"
"Oke!"
***
Setelah obrolannya semalam dengan Litta, Yuca sudah memutuskan untuk berdamai dengan rasa sakitnya. Ia melepaskan Naja dengan hati ikhlas. Berusaha membuang dendam dan perasaan benci, begitu pula perasaan sayang.
"Pagiii," sapa Yuca pada tiga orang timnya, yaitu Rika, Beni, dan Lingling.
"Pagi, Yuca," balas mereka serempak.
Setelah sebulan lebih, akhirnya aura ruangan mereka penuh kobaran semangat. Yap, semangat Yuca untuk segera menyelesaikan proyek ini agar ia bisa segera pergi.
"Em, Beni abisin dulu sarapannya. Setelah itu kita rapat. Oke?"
"Oke, bentar lagi, Ca," jawab Beni lalu memasukkan seluruh sisa rotinya ke mulut. Tindakan itu membuat pipinya gembung.
"Pelan-pelan aja, Ben." Yuca terkekeh melihatnya lalu duduk di kursinya.
Rika dan Lingling saling tatap melihat Yuca tertawa. Seolah kejadian itu hal yang langka, tepatnya setelah kabar putusnya Yuca dan bos mereka.
"Demi apa ... Yuca ketawa?" bisik Rika pada Lingling.
Perempuan berkacamata bulat itu mengangguk beberapa kali. "Sudah move on kayaknya," balas Lingling ikut berbisik.
"Yuca, udah selesai, nih, gue," ucap Beni.
"Hm, beberapa ide kemarin udah dikembangkan? Gue mau lihat hasilnya dulu."
"Waduh, punya gue belum di-print. Gue pikir kirim lewat e-mail, Ca," kata Rika. Buru-buru ia membuka file naskah yang sudah ia kerjakan sebelumnya. Bertepatan dengan itu, suara ponsel Yuca terdengar.
Selama Yuca berbicara di telepon, Rika menggunakan waktu itu untuk mencetak naskahnya.
"Kalian meeting tanpa gue untuk mengembangkan outline selanjutnya, ya?" Yuca tiba-tiba berdiri sambil memasang tas di pundaknya. "Gue harus keluar. Untuk naskah yang sekarang, simpan aja di meja gue, nanti gue cek," kata Yuca. Setelah itu ia berlari keluar ruangan. Ekspresinya jelas menggambarkan bahwa ia sedang panik.
*****
Tanpa sempat berpikir dengan benar, saat sadar Yuca sudah menekan tombol password apartemen di hadapanya. Ia menghela napas lega saat memorinya masih berfungsi dengan baik dan dapat mengingat enam digit angka sandi tersebut.
Sambil melangkah masuk apartemen, tangan Yuca melesak ke dalam tasnya. Ia ingat betul selalu menyimpan antihistamin— obat yang digunakan untuk menghentikan produksi histamin dalam tubuh yang memicu alergi—dan obat steroid untuk meredakan gatal-gatal akibat alergi. Tepatnya seminggu setelah berpacaran dengan Naja, pria itu tidak sengaja mengkonsumsi kacang saat memakan roti, di mana sendok selai sebelumnya bekas selai kacang. Saat itu Yuca panik melihat keadaan Naja, sehingga setelahnya ia berinisiatif menyetok dua jenis obat tersebut. Tentunya setelah mendapat saran dari dokter yang menangani Naja.
Beberapa kali berkunjung ke apartemen Naja karena diajak pria itu, Yuca masih ingat setiap sudut ruangan ini. Ya, walaupun (ternyata) saat itu hanya akal-akalan Naja saja mengajaknya datang untuk melancarkan niat taruhan Naja, yang syukurnya tidak berhasil.
"Naja!" seru Yuca setelah mendorong kamar pria itu. Mulutnya menganga, terkejut melihat wajah pasi Naja. Pria itu duduk di lantai dan bersandar di kasur, tampak tak punya tenaga lagi untuk bergerak.
Yuca berlari ke dapur mengambil botol air minum serta gelas dan membawanya ke kamar Naja. Tanpa bertanya kronologi kejadian yang membuat Naja seperti ini, Yuca menuangkan air minum ke gelas. Setelah itu ia menyuapi dua obat sekaligus ke mulut Naja, kemudian membantunya untuk minum. Tangan kanan Yuca memegang gelas di depan mulut Naja, lalu sebelahnya lagi menekan pelan tengkuk pria itu.
Wajah pucat Naja sudah berbintik-bintik merah muda. Napasnya terdengar berat. Kedua tangan pria itu terkulai lemas di samping tubuh. Yuca menatapnya prihatin.
"Kamu tadi muntah? Mual?" Naja mengangguk pelan. "Minum lagi kalau gitu biar mualnya berkurang," perintah Yuca lalu kembali membantu Naja minum. Pria itu menurut saja.
Yuca bangkit, meletakkan gelas dan botol air minum ke nakas dengan cekatan. Kemudian langkah perempuan itu bergerak menuju lemari pakaian. "Kita ke rumah sakit, Naj," katanya sambil mengambil satu baju kaus tanpa banyak memilih.
Yuca berjongkok di depan Naja. Ia menarik ke atas ujung kaus pria itu. Lagi-lagi Naja tidak protes saat Yuca melepas bajunya yang basah karena keringat. Karena tidak punya banyak waktu, Yuca hanya mengelapi leher bekeringat Naja dengan baju bekasnya. Kemudian memasangkan baju yang baru.
Pandangan sayu Naja menatap wajah Yuca yang tepat berada di depannya. Wajah bulat itu tidak merubah ekspresinya sejak datang tadi. Kulit wajahnya kaku, matanya membulat dan menatap sesuatu yang ia kerjakan dengan fokus.
"C-Ca ...."
"Nggak, jangan ngomong." Ia tak menatap mata Naja bahkan saat membantu pria itu berdiri. "Tenggorokan kamu sakit," lanjut Yuca memberi alasan atas larangannya.
Karena memang sedang tidak punya banyak sisa tenaga, akhirnya Naja memilih diam. Napasnya pun pendek-pendek walaupun tubuhnya terasa lebih baik. Mungkin karena obat yang diberikan Yuca.
Menyetarakan langkah perempuan yang berada di sisi kirinya, tangan pria itu bertumpu pada pundak kiri Yuca. Sedangkan tangan Yuca melingkar di pinggang Naja.
Mereka melangkah pelan menuju lift untuk turun ke basemant, di mana mobil Yuca berada.
"Ca ...."
Yang dipanggil hanya diam. Pikirannya sedang berperang saat ini, memikirkan tindakan impulsifnya sejak tadi. Ia langsung pergi ketika ditelepon Naja, datang ke apartemen pria itu. Memberinya obat, menggantikan pakaiannya, dan saat ini sedang menyetir mobil ke rumah sakit untuk mengantar Naja.
Sebenarnya, untuk apa semua ini? Bukankah baru tadi malam ia berjanji pada Litta untuk mengikhlaskan segala tentang Naja? Oke, anggap saja ini kemanusiaan. Karena sekali pun bukan Naja yang meneleponnya, ia akan tetap pergi. Tidak mungkin ia membiarkan orang yang dikenalnya terdampar sendirian di dalam kamar apartemen mewah.
"Ca ...," panggil Naja lagi dengan suara tercekat dan serak. Dengan bahu dan kepala bersandar, pria itu menoleh pada Yuca di sampingnya. "Lo nggak mau tanya apa-apa, Ca?"
"Diam, Naj. Tenggorokan lo sakit."
Tawa sumbang Naja terdengar mendengar kata 'lo' dari Yuca. Biasanya mereka memanggil aku-kamu.
"Sori, gue ngerepotin, Ca. Gue sudah nelepon yang lain ... tapi mungkin pagi gini pada sibuk. Akhirnya yang ada di pikiran gue itu lo," jelas Naja agak tersendat. Ia mengikuti cara bicara Yuca tentang sapaan mereka.
Nelepon yang lain, ya? Itu berarti Yuca adalah orang kesekian yang pria itu ingat. Karena tidak ada yang lain, akhirnya Yuca-lah yang dihubungi. Perempuan itu tersenyum miris. Sialnya, mendengar itu masih membuat dada Yuca seperti diremas.
"Hm, it's ok, Naj."
"Lo keringatan. Lo pasti panik, ya? Gue nggak apa-apa, Ca."
Enggak apa-apa, katanya? Berdiri saja sulit begitu dan Naja bilang ia tidak apa-apa? Belum lagi ruam-ruam di kulitnya yang pucat. Rasanya Yuca ingin memukul kepala Naja mendengar itu. Namun, yang kini ia lakukan malah mencengkeram setir kuat-kuat tanpa menatap Naja.
"Udahlah, Naj," jawab Yuca dengan membuang napas di ujung kalimatnya.
"Gue boleh minta sesuatu sama lo?"
Tak menjawab, Yuca menoleh sekilas pada Naja. Pria itu masih memandanginya dengan pandangan sayu. Sebenarnya Yuca takut dengan sesuatu yang akan Naja pinta, tetapi pada akhirnya ia berdeham setuju.
"Bisa kita temanan aja, Ca? Lupain semua masalah kemarin. Anggap taruhan itu nggak pernah ada." Melihat Yuca mengerutkan alis, Naja melanjutkan, "Atau kalau jadi teman berat buat lo, biar kita jadi partner kerja. Sebagaimana waktu awal lo join NF Entertainment."
Mungkin Naja, Dara, maupun Renra bisa menganggap taruhan itu tidak pernah ada. Hal itu karena mereka adalah pihak yang merencanakan dan tidak mendapat dampak apa pun. Berbeda dengan Yuca yang pada akhirnya menangis setiap malam. Gagal move on sampai sebulan lebih, bahkan harus menjalani hari-harinya di NF Entertainmet dengan tersiksa karena desas-sesus karyawan lain.
"Lebih baik anggap kita nggak pernah kenal, Naj." Yuca menghentikan mobilnya di lobby rumah sakit. Ia mengetik sesuatu di ponselnya sebelum akhirnya menatap Naja. "Gue nggak antar lo ke dalam. Gue udah chat Dokter Ben buat jemput lo ke sini."
"Ca ...."
"Setelah lo keluar dari mobil gue, gue harap lo bisa berlaku seperti itu setiap kita ketemu."
"Yuca, gue—"
"Gue mau balik ke kantor."
Naja mengembuskan napasnya berat. Ia menunduk, menatap kosong pada pahanya. Beberapa detik kemudian ia membuka seatbelt. "Thanks, Yuca," ujarnya sebelum keluar dari mobil. Meninggalkan semua harapan pertemanan yang sempat ia tawarkan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu.
Mendadak perasaan Naja tidak enak. Seperti ada tempat yang tiba-tiba kosong di dadanya. Ruang hampa yang sebelumnya penuh dan hangat.
Tak seharusnya Naja memikirkan hal seperti ini saat kesehatannya sedang buruk, tetapi tanpa bisa ia cegah, ingatannya mundur pada kejadian tiga bulan lalu. Tepatnya saat pertama kali ia bertemu seorang perempuan bernama Yuna Niscala Abram, yang sebelumnya ia ketahui bernama Yuca. Yuca adalah nama pena perempuan itu sebagai seorang penulis novel romance. Tidak sekali dua kali nama itu lewat di telinga Naja karena karya-karyanya yang bertengger lama di rak best seller. Namun, Naja tidak pernah menaruh perhatian sampai ketika NF Entertainment ingin membuat proyek baru, yaitu memproduksi web series, serial mini yang saat ini sedang naik daun. Dan saat itu Yuca-lah yang digaet menjadi penulisnya. NF Entertainment sendiri ingin web series yang fresh, di mana bukan adaptasi dari novel atau wadah lain.Tidak pernah Naja ada niat mendekati Yuca sebagai 'perempuan', melainkan sekadar penulis di agensinya. Namun, ket
Entah Yuca harus lega atau kesal saat kembali melihat Naja di kantor. Atasannya itu tampak bugar dan sehat walafiat setelah tiga hari tidak bekerja. Jejak alergi kacang di kulit wajahnya juga sudah hilang. Kini Naja sudah baik-baik saja, sedikit banyak fakta itu membuat Yuca lega.Saat Naja baru datang, Yuca baru keluar dari ruangannya hendak ke toilet. Mata mereka bertemu pandang. Jantung Yuca sudah mulai berlebihan melihat pria itu lagi, tetapi lagi-lagi ia memang sangat berlebihan. Karena hanya dalam satu detik, Naja sudah membuang muka. Berjalan belok menuju ruangannya dan hilang dari pandangan Yuca. Seperti tidak kenal, begitulah yang terjadi. Namun, bukankah itu yang Yuca minta? Kini ia harus bersorak karena keinginannya itu dikabulkan oleh Naja, bukan?"Lapar banget nggak, sih?" Yuca menoleh. Ia mengangkat kedua alis rendah saat melihat Rika yang baru datang."Gue?" tanyanya lalu memandangi sekitar. Ya, hanya diriny
"Eh, Mbak Yuca. Baru mau pulang, Mbak?"Yang dipanggil tersenyum ramah sambil mengangguk sopan. "Iya, Pak, lembur. Bapak juga lembur?" tanya Yuca balik pada pria berseragam putih itu. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu, sebab tadi siang ia juga melihat bapak ini yang menjaga pintu."Iya, Mbak." Pak Satpam tersenyum semakin lebar. "Makasih ya, Mbak, makan siangnya. Nasi gorengnya enak, ada udangnya," ujarnya sambil mengacungkan kedua jempol.Oh, nasi goreng seafood. Tadi siang Yuca memang mengurungkan niatnya untuk membuang makanan pemberian Naja. Bukan sebab tidak tega karena diberikan oleh laki-laki yang membuat hidupnya uring-uringan, melainkan karena ia teringat bahwa di luar sana masih banyak orang yang kesulitan mencari makan. Dan, nasi goreng seafood, ya? Entah kebetulan atau karena ia masih ingat makanan kesukaan Yuca itu. Sudahlah, Yuca juga tidak mau sok diingat seperti
"Laura sialan! Lo dikasih makan apa lagi, sih, Naj?!"Bentakan itu sontak menarik perhatian seluruh pengunjung food court, termasuk Yuca yang sedang duduk di meja tengah bersama Rika. Ia mencari arah sumber suara, ternyata dari seorang wanita yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat wajahnya pun Yuca tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Dara. Di samping Dara ada Naja, dan di depan keduanya ada Renra. Yuca langsung mengalihkan muka ketika bertemu pandang dengan Renra."Belum, Rik? Balik, yuk," ajak Yuca pelan, agar hanya Rika yang mendengar. Bersyukur, kehadirannya tidak disadari Dara dan Naja. Tampaknya Renra juga tidak ada niat untuk memberitahukan kedua temannya itu."Bentar. Dikit lagi," jawab Rika. Buru-buru ia menghabisi kuah sotonya."Roti bungkusan gitu yang ada selainya. Nggak merhatikan, ternyata kacang." Terdengar jawaban Naja. Pria itu berbicara dengan santai.Teli
"Gilaaa ...!" Letta geleng-geleng mendengar cerita Yuca yang sudah terjadi sebulan yang lalu. Sudah basi bagi Yuca, tetapi baru bisa ia ceritakan pada Letta sebab temannya itu baru kembali dari Bandung kemarin karena ada pekerjaan di sana. "Nggak tau, deh, harus bangga karena lo bisa ngungkapin perasaan lo atau ngatain lo bego," kata Letta sambil mengunyah ayam KFC yang dibeli Yuca, sesuai janji Yuca waktu lalu.Setelah menceritakan kejadian sebulan lalu saat di food court dan di rooftop bersama Naja, perasaan Yuca lebih lega. Ia terkekeh saja mendengar ucapan Letta yang mengatainya, karena ia pun sadar memang begitu keadaannya. "Ya, emang bego, sih," jawab Yuca membenarkan sambil mengorek ember ayam KFC, mencari potongan sayap. "Aslinya gue udah nggak punya muka depan Naja. Bisa-bisanya gue nangis depan dia terus ngaku masih ada perasaan. Jelas-jelas gue cuma seonggok da
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
Kalau bukan karena Litta yang merengek Yuca harus datang, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan pernah terlibat dengan yang namanya 'kencan buta'. Empat hari yang lalu Yuca memang mengiakan saran Litta untuk dikenalkan dengan teman kantornya. Namun, tentu bukan seperti ini jalan yang Yuca mau.Kencan buta?Sungguh menggelikan bagi Yuca. Padahal Litta bisa memberikan nomor ponselnya saja pada teman kantornya itu. Bukan malah merencanakan temu sepihak seperti ini. Bagaimana dong, Yuca sama sekali tidak mengenal laki-laki itu. Tahu wajahnya saja tidak, apalagi seleranya. Ia harus pakai baju seperti apa?"Huh, terserahlah!" kesal sendiri, akhirnya Yuca memilih berpenampilan ala Yuna Niscala Abram seperti biasanya. Kalau memang teman Litta itu tidak menyukai, toh bukan masalah besar juga.Kemeja putih tipis dan celana boyfriend jeans menjadi pilihan Yuca. Dua kancing teratas kemejanya dibuka, menampilkan tank top putih bagian atas dada. Serta bagian depan kemej
Naja sudah beranjak dari kursi kerjanya saat pintu ruangannya terbuka disertai suara sahut-menyahut yang berisik. Ia mengernyit dan berjalan mendekati dua orang sumber bising itu yang sudah berada dalam ruangannya."Maaf, Pak Naja, saya sudah melarang Mbaknya masuk tapi—"PlakUcapan Nining, wanita berusia pertengahan tiga puluh tahun itu terhenti kala melihat adegan di depannya. Tamu tak diundang sang bos baru saja melayangkan telapak tangan pada pipi atasannya. Gila!"Mbak! Apa-apaan—" Kembali Nining berhenti bicara kala Naja mengangkat satu tangannya. Nining sudah kesal luar biasa karena perempuan itu memaksa masuk ruangan Naja, dan kini ia malah menampar Naja. Sangat tidak punya sopan santun.Paham akan situasinya, akhirnya Nining pamit undur diri. Naja juga tampak tenang menghadapi amarah perempuan di hadapannya. Karena tak mau keributan itu sampai terdengar ke telinga kar
Setelah malam ini, Yuca memantapkan hatinya agar jauh-jauh dari Naja. Ia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Malam ini Yuca memang mengalah dan datang ke apartemen Naja seperti yang sudah mereka sepakati tadi siang. Sambil membawa tote bag, Yuca melangkah keluar lift di lantai apartemen Naja berada. Dengan tak sabar Yuca memencet bel di depannya. Namun, bukannya pintu itu dibuka, Naja malah menelepon. Yuca mendengkus menatap nama Naja di layar. Ia menghela napas sebelum menjawab panggilan itu. "Hm?" deham Yuca malas-malasan. "Ngapain pencet bel?" "Lah?" Yuca menjauhkan ponselnya dari telinga. Tangannya mengepal ingin memukul layar ponsel sebagai pelampiasan kesal dengan Naja. "Teruuus?" tanya Yuca dengan nada yang panjang. "Password-nya belum diganti." Kesal enggak? Kesal enggak? Kesallah masa engga
Kasur bergerak tak teratur saat Naja mengempaskan tubuhnya. Ia bergeser, merubah posisi ke tengah lalu memeluk guling. Seprai yang baru diganti dan rapi membuatnya merasa nyaman. Begitu pula kamarnya yang bersih dan wangi. Kalau sudah begini, Naja jadi terpikirkan ucapan Ibu Aura. Menikah? Tanpa sadar kedua ujung bibir Naja tertarik naik. Tampaknya itu tidak lagi menjadi ide buruk. Pasalnya, ada yang mengurusi hal kecil seperti mengganti seprai kasur dan sarung bantal saja bisa membuatnya lebih bersemangat. Bicara soal semangat, terlalu naif jika Naja katakan hanya karena kamarnya yang lebih rapi dari biasanya. Karena mungkin ... ia semangat karena bisa sedikit berubah dengan membiarkan orang lain meniduri kamarnya? Entahlah. Sebab bukan hanya malam ini Yuca tidur di kamarnya, melainkan sejak mereka masih pacaran beberapa bulan lalu. Sebegitu niatnya Naja menang taruhan sampai-sampai membawa seorang perempuan ke apartemennya. Tidak sampa
Perempuan itu terus menggerutu sepanjang langkahnya yang sempoyongan. Ini semua karena Litta. Teman Yuca itu mengajaknya ke Sweet Life, sebuah club yang 'katanya' sering didatangi selebgram. Awalnya Yuca enggan, ia belum pernah datang ke tempat bising itu dan sudah parno duluan sebelum ke sana. Namun, Litta terus memaksanya dengan alibi; daripada lo capek riset di Google, Youtube, atau tanya ke gue gimana suasana club dan gimana rasanya alkohol, mending lo ke sana langsung. Lihat tempatnya dan rasain alkohol. Sedikit aja nggak akan bikin lo mabuk kok.Kalimat yang diucapkan Litta berkali-kali dengan penuh keyakinan itu akhirnya membuat Yuca goyah. Ia mengajukan beberapa syarat yang tidak akan merugikannya dan langsung dibalas anggukan oleh Litta. Dua di antaranya adalah ia meminta Litta tidak boleh mabuk agar tidak merepotkan dan tidak boleh mengajak teman laki-laki. Saat baru sampai memang Litta menurutinya, tetapi syarat itu tinggal sekadar kali
Selama masih hidup, Naja berusaha keras untuk tidak kesulitan uang. Ia akan bekerja keras untuk memenuhi hidupnya karena dari sanalah kebahagiaan bisa ia dapat. Ia sering heran dengan orang-orang yang bilang 'uang bukan segalanya'. Karena menurut Naja, segala hal butuh uang. Ia sudah pernah hidup dengan uang terbatas bahkan kurang dan dipandang sebelah mata karena tak punya uang, dan hal itu tidak enak. Tidak punya banyak teman, tidak bisa melakukan hal yang ia sukai, dan lain-lainnya karena kesulitan ekonomi.Besar di panti asuhan membuat masa kecil Naja tidak bisa menuntut banyak hal. Bisa makan dan dapat uang saku setiap hari yang pas-pasan saja sudah syukur. Walau segala amarah tentang betapa tidak adilnya Tuhan berkecamuk memenuhi dada, tetapi Naja tidak pernah lepas kendali. Karena ada Ibu Aura yang memberinya perhatian dan kasih sayang yang tidak orang tuanya berikan, tetapi kalau boleh jujur, ia tak puas hanya dengan itu.Seringkali ia iri dengan kehidupan tema
"Lo udah balik ke apartemen?"Naja mengangguk. Ia melahap mie goreng campur sawi di kotak styrofoam hasil Go-food-nya tadi. Dara dan Renra pun makan menu yang sama."Puas?"Entah mengapa pertanyaan itu terdengar sarkas. Dara menyiku Renra agar berhenti. Namun, Naja hanya tertawa mendengarnya."Lumayan," jawabnya. Memutuskan meladeni arah pembicaraan Renra. "Laura pasif 'main'-nya. Tiga hari doang cukup. Kurang menarik."Menghabiskan masa kecil bersama membuat Renra melihat perkembangan hidup Naja. Mulai dari seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa menjadi pria dewasa yang punya ambisi besar untuk sukses. Dan itu terbukti sekarang. Renra bisa punya jabatan bagus di NF Entertainment karena pemiliknya adalah Naja. Ia hanya gelombang kecil di belakang Naja yang kebetulan sedikit membantunya dalam membangun agensi ini.Namun, kemajuan hidup Naja tid
"Lo ngapain sih, anjir?!""Apanya? Lo lihat sendiri dari tadi gue ngapain," jawab Renra santai.Naja menggeleng, tak puas dengan jawaban Renra. "Yuca? Serius, Ren? Dia mantan gue!" Ia menatap Renra tak percaya sambil menyugar rambutnya kasar."Emang kenapa kalau mantan lo?" Renra berjalan melewati Naja lalu duduk di kap depan mobilnya. "Dimasukin ke list mantan juga, tuh?"Mengikuti Renra, Naja balik badan. Ia masih tidak mengerti dengan temannya ini. "Gue tau lo dari awal kurang setuju sama taruhan itu, tapi gue nggak tau kalau lo suka sama Yuca. Sejak kapan dan kenapa nggak bilang? Kalau tau begitu gue sama Dara—""Nggak ada yang bilang gue suka sama Yuca. Nggak sengaja aja tadi ketemu di jalan. Dia nabrak mobil orang," potong Renra. Ucapan Naja terlalu berbelit-belit untuk kata simpel seperti; gue nggak senang lo dekat Yuca.Entah apa yang ada di pikiran Naja, kar
Tanpa kompromi, mobil berhenti di sebuah kafe pinggir jalan. Oh, bukan pinggir jalan juga tepatnya karena mereka masuk ke area yang memang tempat tongkrongan anak muda. Itu berarti mereka ke sini punya tujuan, bukan hanya mampir karena tidak sengaja lewat. Awalnya tentu Yuca berniat menolak dengan alasan harus segera pulang, tetapi sadar kini dirinya berutang, mau tak mau Yuca mengiakan. Sekali pun kebencian masih tercokol di hatinya, Yuca tidak akan lupa berterima kasih.Mengikuti pria jangkung yang keluar dari mobil, Yuca mendorong pintu di sampingnya. "Bapak Renra sepertinya tidak pernah sibuk, ya?" sindir Yuca karena kini pria itu berdiri di samping mobil, menunggunya. Dengan kedua tangannya di saku celana kain miliknya, pria itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum kecil.Saat Yuca sudah di hadapannya, Renra berbalik,berjalan menuju kafe. Yuca kembali membuntuti pria itu dengan gerutuan panjang di dalam hati. Ia sampai