“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.”
“Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah.
Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.”
Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir.
“Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan.
“Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!”
“Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gala, merangkulnya. “Kalau ga ada dia, mungkin gue ga bakal sanggup buat linjur.”
“Santai anjir, jangan rangkul-rangkul gue segala!”
Tawa melebur di antara mereka, mencoba untuk meredakan ketegangan meski hanya sesaat.
“Gal, sini mana nomor ujian lo.”
Mendapat titah itu membuat Gala hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. “Kok gue? Rafa duluan, gih.”
Zaidan justru mengabaikan ucapan itu, dengan cekatan merebut ponsel Gala. “Di antara kita berlima, lo yang paling ga sabaran buat tahu hasil seleksi ini.”
Pemuda itu hanya bisa melipat bibir, kini ia biarkan Zaidan menyalin nomor ujian dan tanggal lahirnya ke kolom pengunguman tersebut.
“Gala satu kampus sama gue, Please!” harap Hanief, yang tau kedua pilihan yang diambil Gala sewaktu mendaftarkan diri.
Lengang sempat meliputi mereka sejenak, bahkan proses loading yang terkendala tidak dapat memecah keheningan. Setelah terjadi error sebanyak lima kali, barulah pengumuman milik Gala berhasil terbuka.
“BAREKSA?! GILA, TEMEN GUE JADI ANAK BAREKSA!” teriak Samuel antusias, tepat di telinga Gala. “Jurusan Hukum, lagi!”
Gala refleks menutup telinganya sendiri, pemuda itu masih terpaku dengan pengumuman yang tertulis di ponsel Zaidan. “Dan, lo ga salah ngetik nomor ujian, ‘kan? Ini beneran hasil ujian gue, kah?!”
“Gila banget, temen-temen gue pada masuk univ top! Jangan pada sombong sama gue, ye.” potong Samuel.
“Jangan merendah untuk meroket gitu lah, Sam!” balas Zaidan, satu tangannya terangkat untuk menjitak kening pemuda itu. “Lo juga dapat univ bagus di Jogja, mana masuknya lewat seleksi rapor, lagi!”
“Stop dulu ocehannya, bapak-bapak!” Hanief membentangkan kedua tangan agar dapat mencuri perhatian teman-temannya. “Kita buka pengumuman Rafa dulu sebelum salam perpisahan.”
Yang dipanggil namanya langsung menepuk pundak Hanief, “Ga perlu, gue udah buka.”
Keempat pemuda lainnya mulai menuntut Raffa melalui tatapan mereka.
“Jangan tatap gue kayak hantu gitu, dong!”
“Ya, lo sih, diem-diem bae!” sungut Hanief, “Atau jangan-jangan lo ga lulu—“
“Gue sekampus sama Gala, jurusan DKV.”
Samuel melompat, langsung membawa Rafa ke dalam rangkulannya. “Gapapa mabar tadi ga menang, setidaknya lo dapat hijau, Raf. Ga sia-sia gue jadi tutor Sosiologi lo yang harus nahan emosi setiap kali lo ngamuk gara-gara ga paham!”
“SAMUEL LO MAU GUE GEBUK, YA!?”
****
“Nah akhirnya lo angkat juga!”
Gadis itu memaksakan kedua matanya agar dapat terbuka. Dengan susah payah, ia mencoba untuk membaca nama panggilan masuk itu.
“Ngapain sih, Yuan? Lo mau ajak gue pergi main lagi, ya?!” balas gadis itu sambil sedikit menguap.
“Lo... lupa hari atau gimana, sih?!” Yuanita, cewek yang telah berteman dengan Sandara Aluna Yora sekitar 3 tahun ini bersiap untuk mengomel. “Lo sendiri yang minta gue buka pengumuman hasil seleksi ujian masuk perguruan tinggi lo, ‘kan? Gue udah chat lo dari 20 menit yang lalu, tapi lo malah ga bales-bales!”
“Lah?!”
Hening menyelimuti sambungan telepon itu sejenak. Yuanita menunggu respon selanjutnya dari Dara. Sementara Dara, sedang sibuk melihat kalender yang tergantung di dinding kamarnya.“LOH SEKARANG HARI PENGUMUMAN?!”
“Ck! Ck! Ck! Dara, Dara. Untung lo itu temen gue.”
“Lo udah buka pengumuman gue, Yu? Beneran??”
“Iya udah!”
“SPILL!”
“UDAH GUE SS, DAR.”
“GUE TAKUT LIHAT GAMBARNYA, MENDING LO LANGSUNG BILANG SEKARANG.”
“GAMAU! LO BUKA SENDIRI AJA!”
Sambungan terputus secara sepihak. Membuat omelan Dara tercekat di tenggorokan. Spontan, Dara melempar ponselnya ke atas kasur, seolah-olah ponselnya adalah bom yang dapat meledak ketika ia room chat Yuanita terbuka.
Sebenarnya, Dara masih belum siap melihat hasil seleksi itu, karena ia takut kecewa untuk keempat kalinya. Oleh sebab itu, ia meminta Yuanita—teman terdekatnya di SMA—untuk membuka pengumuman itu.
Tapi... dari cara bicaranya, Yuanita tidak memberikan bocoran apapun.
Takut-takut, Dara kembali mengambil ponselnya, kemudian mengusap ponselnya untuk memunculkan Bar Notifikasi. Benar saja, terdapat chat masuk dari Yuanita sekitar 20 menit yang lalu.
“Itu anak cuma kirim ss-an doang?! Ga ada ucapan lolos/tidaknya?! Sial! Gue salah banget minta tolong sama dia.”
Siap atau tidak, terima atau tidak, Dara harus membukanya sekarang. Setidaknya gue harus tahu dulu, gue perlu belajar buat ambil ujian mandiri atau tidak.
Beberapa detik kemudian, gadis mulai menekan nama Yuanita yang muncul di notifikasinya. Namun, gadis itu cepat-cepat membalik layar ponselnya. “TAPI GUE BELOM SIAP!”
Biasanya, kalau gue deg-deggan kaya gini, pasti nanti ga bakal lulus.
Kini, Sandara Aluna Yora telah berhasil meyakinkan dirinya. Perlahan, gadis itu mulai membalik layar ponselnya dengan mata yang masih terpejam. Dengan degup jantung yang tidak tertahankan, gadis itu mulai mengintip dengan sudut matanya.
Hijau?!
Melihat warna yang asing dari hasil screenshoot itu, membuat kedua bola mata gadis itu mendadak terbuka lebar. Kini, warna yang terlihat sekilas mulai telihat seutuhnya. Bahkan, rahang gadis itu sampai kaku karenanya.
“BIBI!”
Dara menghambur, cepat-cepat ia turun dari kasur untuk mencari keberadaan Bibi. Sepanjang menuruni tangga, gadis itu juga tidak berhenti berteriak, memanggil wanita paruh baya yang berhasil ikut dibuat panik.
“Astaghfirullah, Nak Dara... Ada apa toh, kamu lari-lari begitu? Habis lihat makhluk, ‘kah?!”
Dara menggeleng, tidak dapat menjawab pertanyaan Bibi dengan mulutnya. Langsung saja, gadis itu memamerkan ponsel kepada Sang Bibi, “Dara Bi.. Dara lulus!”
“Nak Dara lulus apaa?!” sahut Bibi masih diliputi dengan kepanikan.
“Dara diterima di Universitas Bareksa, Bi—Dara akhirnya lulus!”’
“Alhamdulillah, Nak!” Bibi menghambur, membawa Dara ke dalam pelukannya sebentar. “Akhirnya kerja keras kamu terbayarkan juga ya, Nak! Alhamdulillah, bibi seneng banget akhirnya kamu keterima!”
“Dara juga, Bi!”
“Ah iyaa, kamu sudah kasih tahu Mama, belum?”
Meski sesaat, tapi Bibi dapat menangkap jika senyum bahagia Dara memudar. Beliau tersenyum seraya menepuk-nepuk punggung Dara untuk membuat gadis itu tenang. “Walaupun ga akur, kamu harus tetep kasih tahu Mama, ya? Bibi yakin, Mama kamu pasti bakal senang mendengar kabar ini dari Nak Dara Langsung.”
“Hm... Nanti Dara kasih tahu Mama waktu udah pulang aja, Bi.” Gadis itu menggigit bibir, “M—makasih ya, Bi. Bibi juga ikut senang pas mendengar kabar kelulusan Dara. Soalnya, Dara tahu kalau Mama pasti ga bakal peduli soal ini, Bi.”
“Kabar apa yang mau kamu kasih tahu?”
****
Hampir lima menit Gala berdiri di depan pintu bewarna coklat solid itu. Ia masih menimang-nimang, apakah ia harus mengetuk pintu itu atau berbalik kembali ke kamarnya.
Gue balik aja kali, ya? Besok pagi baru gue kasih tahu ay—
“Loh, Gala? Kamu ada perlu apa?”
Seketika pemuda itu terpaku dengan netra yang jatuh ke lantai. Sesaat, Gala memutuskan untuk menggeleng. Namun, beberapa detik kemudian ia berubah pikiran.
“G—Gala lulus SBMPTN, Ayah.” buka pemuda itu, ia tahu jika Sang Ayah tidak suka dengan orang yang bertele-tele. “Universitas Bareksa, jurusan Ilmu Hukum.”
Beberapa detik kemudian, justru tidak terdapat jawaban dari Sang Ayah. Gala meneguk saliva-nya. Meski ia telah menghadapi suasana ini berkali-kali, pemuda itu tetap saja tidak terbiasa.
“Jadi, apa kamu perlu uang untuk pendaftaran ulang?”
Pemuda itu mengerjap beberapa kali, “G—gimana, Yah.”
“Kalau kamu suka sama universitas dan jurusannya, silakan daftar ulang. Jika tidak suka, kamu bisa memilih kampus lain di luar negeri, kamu tinggal bilang saja ke saya.”
Pemuda itu diam-diam mengepalkan kedua tangannya, amarah hampir saja merenggut kendali dirinya. Kedua netra pemuda itu terpejam beberapa detik, sebelum ia mulai menjawab dengan mulut yang terkatup, “Baik, Gala bakal daftar ulang di Bareksa. Jadi nanti, Gala akan kirimkan nominal uangnya lewat pesan.”
Tanpa mengucap sepatah kata lagi, Gala melangkah menjauhi pintu ruang kerja Sang Ayah.
Salah banget gue mengharapkan ucapan selamat dari Ayah.
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”
Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal
Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”