Home / Young Adult / Yang Tidak Pernah Sampai / Bagian 4: Pertama yang Kedua

Share

Bagian 4: Pertama yang Kedua

Author: Alle
last update Last Updated: 2021-10-08 10:00:40

Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar.

Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi.

Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief!

Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu.

Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netranya yang sempurna membulat. Spontan Gala menampar pipinya, mungkin saja ia masih berada di alam mimpi. Namun, terasa sakit! Tidak berhenti sampai di situ saja, Gala butuh bukti lain jika ia berada di dunia nyata.

Netranya melirik pada jam yang tertera di bar notifikasi. Pukul 10.05, dia bisa mengetahui waktu dengan akurat, berarti pemuda itu sungguh tidak bermimpi.

“MAMPUS GUE!”

Gala langsung melompat dari kasur, terbirit-birit menuju kamar mandi. Secepat kilat ia membasuh muka, lalu kembali melompat menuju meja belajar. Ia langsung saja menekan tombol power pada laptop yang lupa ia lipat semalam. Lalu, ia menyambar sembarang kemeja yang tersampir di gantungan baju miliknya.

 “Anjirlah! ini ngasih kabar pertemuan kenapa dadakan banget, ya?!” rutuk Gala tidak berhenti. Selama menunggu laptopnya selesai dihidupkan, ia kembali membaca chat yang ada di grup angkatan itu.

Felicia:

| Selamat pagi temen-temen! Gimana kabarnya? Semoga semua dalam keadaan sehat, yaa

Fauzan :

| Selamat pagi kak Feli, syukur aku baik kak~

Ridho :

| Pagi kak Feli, alhamdulillah baik kaak.

Felicia :

| Aku mau ngereminder, nanti sore kita akan ada pertemuan perdana angkatan 2020 jalur SBMPTN. Pertemuan ini wajib diikuti, jadi teman-teman dimohon untuk meluangkan waktunya sore ini, ya.

Dara :

| Pagi kak Feli. Baik kak, makasih informasinya yaa, kak~

Ryan :

| Sore nanti jam berapa kak?

Felicia :                         

| Ah iya sampai lupa.

| Pukul 17.00 yaa, temen-temen. Link masuknya nanti akan dibagikan 30 menit sebelumnya~

| Makasiih Semuaa

Gala refleks menepuk dahinya sendiri keras-keras. Tidak berapa lama, pemuda itu kembali meracau. Ponsel yang tadinya digenggam, kini telah dia lempar dengan sembarang ke atas kasur, sementara itu tangan kanannya sedang mencoba mematikan paksa laptop yang masih belum sepenuhnya hidup.

“Ternyata pertemuannya sore nanti, toh!” umpat pemuda itu sekali lagi. “Kalau aja tadi gue baca chat-nya sampai akhir, gue ga perlu luntang-lantung kaya tadi!”

** **

“Halo temen-temen! Kita akan mulai lima menit lagi, ya! Buat yang udah join, silakan rename namanya dengan format 20 underscore nama. Oh iya, tolong ajakin teman-temannya yang belum join, ya.” Suara lembut itu berasal dari akun yang berlabel Moderator_Felicia. Dari layar kamera, gadis itu terlihat sersenyum sejenak sebelum akhirnya mematikan microphone.

Gala hanya mengangguk-anggukan kepala, mengamini ucapan narahubung tersebut sembari menekan beberapa tombol pada keyboard laptopnya. Sesuai instruksi, ia mulau menngubah namanya menjadi 20_Gala. Setelah selesai, dia memutuskan untuk rebahan sebentar sebelum pertemuan benar-benar dimulai.

“Baik, sepertinya yang join udah hampir tiga perempat dari peserta SBM. Kita mulai saja pertemuan pada sore hari ini, ya.”

Mendengar pengumumann itu, Gala langsung bangkit dari posisi, kemudian berjalan menuju meja belajar. Sebelum benar-benar terduduk di kursi, jari-jemarinya sibuk untuk merapikan rambutnya yang menguar. Di detik berikutnya, Gala pun mengaktifkan kamera, kemudian melanjutkan aksi menyisir rambut dengan jari untuk beberapa saat.

“Selamat Sore temen-temen. Selamat datang kepada mahasiswa baru Ilmu Hukum Universitas Bareksa angkatan 2020! Jadi pada sore ini, kami sengaja mengadakan pertemuan sebagai gathering pertama.” buka Felicia, di layar ia terlihat rapih mengenakan kemeja polos bewarna tosca.

“Pada pertemuan ini, kita akan membahas perihal registrasi ulang, akses akademik, dan juga informasi tentang ospek fakultas. Kami berharap agar teman-teman bersedia mendengarkan sampai akhir agar tidak ketinggalan informasi.”

“Kuliah online begini masih tetap ada ospeknya?” Spontan Gala menghembuskan napas dengan berat. Imajinasi pemuda itu malah membayangkan ospek online yang mungkin sama beratnya seperti ospek pada zaman dahulu.

“Karena konsep gathering-nya informal, jadi kita santai aja ngobrolnya. Buat tes ombak, ayo diramaikan dulu kolom chat-nya, kakak-kakak dan mahasiswa baru!”

Sudut bibir pemuda itu spontan terangkat. Baginya, rasa bangga saat kerja kerasnya membuahkan hasil masih sangat membekas. Senyumnya semakin mengembang ketika ia melihat fitur chat sedang diisi oleh tulisan teriakan bahagia yang sama seperti dirinya. Tidak lupa, Gala juga ikut menambahkan “yeayy!” pada kolom chat.

“Oke kalau gitu kita masuk ke sesi perkenalan. Siapa dulu nih, yang mau kenalan? Kakak-kakak dulu, apa mabanya dulu, nih?!”

“Mabanya dulu dong, Kak Feli!” sahut seorang kating dengan cepat. Tidak lama kemudian, beberapa orang menyetujui usul tersebut dengan mengangguk-anggukkan kepala di kamera.

“Oke, kalau gitu maba dulu, yak.” tanggap Sang Moderator. “Biar ga bingung temen-temen 20 cukup menyebutkan nama lengkap, panggilan, terus kasih satu fakta unik tentang diri kamu.”

“Siapa yang mau kenalan duluan?!”

Lima detik berlalu, tapi tidak ada satupun tanggapan yang muncul. Gala menggigit bibir bagian dalam, ia sendiri juga tidak mau menjadi orang yang berinisiatif untuk memperkenalkan diri pertama kali.

“Yaudah, kalau gitu gue tunjuk aja, deh!” putus Felicia, “Di layar gue, yang ada di tengah itu namanya Gianti. Silahkan, Gianti.”

Mahasiswa baru yang bernama Gianti mulai menghidupkan microphone-nya. “H—Halo semuanya. Perkenalkan gue Gina Andara Puti. Panggilan Gue Gianti. Hm… fakta unik tentang gue... hm... panggilan gue itu berasal akronim dari nama lengkap.”

“Halo Gianti! wuih, unik banget ya panggilan kamu ternyata singkatan dari namanya, ya?” sahut Sang Moderator untuk memecah suasana. “Nah, karena Gianti udah memperkenalkan diri, silakan tunjuk satu orang buat memperkenalkan diri selanjutnya.”

“Siapa ya…” gumam Gianti, matanya terlihat menatap layar dengan semangat. “Dara, deh!”

“Hehe, oke.”

Mata Gala otomatis berhenti berkedip sesaat setelah spotlight pembicara berpindah kepada gadis selanjutnya. Saking tidak percaya dengan apa yang ia lihat, tubuh pemuda itu ikut membungkuk, memangkas jarak antara dirinya dengan laptopnya sendiri.

“Kenalin, Gue Sandara Aluna Yora, biasa dipanggil Dara, tapi kalau mau panggil Sandara juga gapapa. Salah satu fakta uni tentang gue… waktu itu gue hampir telat ikut UTBK, gara-gara lari ga liat jalan, gue malah tersandung pas masuk ruang UTBK.”

Tidak salah lagi, dia orangnya!

Tanpa dikomandoi, tangannya langsung melesat untuk membuka fitur chat pertemuan itu.

To: 20_Sandara Aluna Yora

| lo yang waktu itu UTBK di SMA Bakti Negara bukan? Ingat gue ga?

Dua menit telah berlalu, tapi direct message yang Gala kirim masih belum dibalas. Pemuda refleks menggigit bibir, berharap semoga gadis itu melihat pesannya.

To: Everyone

| Lo yang waktu itu???!!!

“Ayoloh... Dara pengen ngirim chat private ke siapa, tuh?” celetuk Felicia yang ternyata sedang memantau kolom chat.

Sandara hanya bisa tertawa malu sambil melambai-lambaikan tangannya.

“Oke lanjut dulu ya, perkenalannya. Sekarang, Raya mau tunjuk siapa?” tutur Felicia, berusaha mengembalikan fokus peserta untuk melakukan perkenalan.

“Janggala Kharisma deh, Kak.” ungkap Raya tanpa ragu.

Mendengar namanya disebut, Gala merapatkan bibirnya. Sementara tangannya kini harus mengaktifkan microphone agar suaranya dapat terdengar.

“Halo, kenalin gue Janggala Kharisma, biasa dipanggil Gala. Fakta unik tentang gue, gue adalah salah satu saksi yang ngeliat Sandara kesandung di ruangan ujian.”

Related chapters

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 5: Pengisian KRS

    Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru

    Last Updated : 2021-10-14
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 6

    Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan

    Last Updated : 2021-11-07
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 7

    Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m

    Last Updated : 2021-11-13
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 8

    Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”

    Last Updated : 2021-11-20
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Prolog

    “Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”

    Last Updated : 2021-09-16
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 1: Sepuluh Menit Pertemuan Pertama

    Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k

    Last Updated : 2021-09-25
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 2: Pengumuman Penentu

    “Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal

    Last Updated : 2021-09-30
  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 3: Saatnya Bergerak, Gala!

    “Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k

    Last Updated : 2021-10-05

Latest chapter

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 8

    Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 7

    Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 6

    Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 5: Pengisian KRS

    Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 4: Pertama yang Kedua

    Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 3: Saatnya Bergerak, Gala!

    “Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 2: Pengumuman Penentu

    “Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 1: Sepuluh Menit Pertemuan Pertama

    Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Prolog

    “Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status