Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal.
“Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!”
Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang.
“Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.”
Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu komputer di dalam ruangan. Benar saja, masih ada satu komputer kosong yang terletak di samping pintu, berseberangan dengan posisi komputer yang ia tempati.
“Sepertinya peserta tersebut tidak akan hadir, Pak.” Balas pengawas perempuan. “Sekarang sudah pukul 07.59, mungkin ada baiknya kita mulai saja—“
“Maaf Pak, Bu, saya telat karena terses—AAA!”
Teriakan seorang gadis dan bunyi gaduh yang keras tiba-tiba memenuhi ruangan ujian. Suasana tegang kini berubah panik ketika melihat gadis itu jatuh tersungkur di depan ruangan. Semua peserta ujian melongok ke arahnya, sementara kedua pengawas ujian berlari tergopoh-gopoh untuk membantunya.
“Ananda, kamu tidak apa-apa?!” cemas pengawas pria, dengan sigap ia langsung membantu si gadis untuk berdiri.
“S—saya masih bisa ikut ujian, ‘kan, Pak?” balas gadis itu, mengabaikan pertanyaan yang ia dapatkan.
“Iya, kamu bisa ikut ujian.” sahut Pengawas perempuan saat menghampiri gadis itu. “Tapi, tenangkan diri kamu, dulu! Apa ada yang terluka?”
Gadis tersebut hanya menggeleng, kontras dengan kedua tangan yang sedang menepuk-nepuk kedua lutut, mungkin sekarang sedang terasa ngilu.
Melihat reaksi si gadis, Gala juga ikut meringis. Refleks pemuda itu menunduk, mengurut kedua lututnya seolah-olah rasa sakit gadis itu berpindah ke lututnya sendiri. Namun, ketika pemuda itu justru menemukan sesuatu tersangkut di ujung sepatunya.
“Pakai dulu hand sanitizernya.” Titah pengawas Pria, membuat gadis itu dengan patuh memakai hand sanitizer yang terdapat di meja depan. “Simpan semua perlengkapan kamu ke dalam tas, lalu letakkann tasnya di depan sana. Sebelum itu, jangan lupa mengambil KTP dan Kartu Peserta Ujian, ya.”
Tepat lima menit setelah kepanikan itu, rangkaian Ujian Tulis Berbasis Komputer di ruangan 402 kembali dimulai.
****
“Eh, Lo!”
Gala menggaruk tengkuk, bingung bagaimana caranya menghentikan langkah Sang Gadis yang hampir menuruni anak tangga tersebut.
“Lo yang tadi ngejungkel!”
Efektif! Gadis yang ingin disusul Gala justru berhenti di tempat dan menoleh ke arah pemuda itu. Namun, raut wajahnya justru membuat Gala meneguk saliva sendiri.
“S—sorry, Gue ga maksud buat ngatain lo.” aku pemuda itu terbata-bata.
“Kalau ga ngatain, kenapa lo manggil gue kayak gitu? Mau lo apa, hah!?”
Pemuda itu tidak menjawab dengan ucapan, melainkan memamerkan sebuah kartu tepat ke depan wajah gadis itu. Kemudian, ia meringis.
“Loh, e-money gue!” teriak gadis itu dengan lengkingan suaranya. “Kok, bisa ada di lo?”
“Tadi kartu lo terlempar ke tempat gue pas lo nge—“
“Stop!” tukas Sang Gadis dengan cepat, “Jangan nge-mention soal ngejungkel.”
“Lah, itu lo bilang sendiri!”
Balasan Pemuda itu cukup membuat si gadis jadi berkedip salah tingkah. Dia pun berdehem, berharap agar hal tersebut dapat mengusir canggung yang mulai kentara dari dirinya, “BTW, thanks udah ngembaliin kartu ini ke gue.”
Mendengar hal tersebut, si pemuda pun menampilkan senyuman terbaiknya. ”Santai-santai.”
Tidak berapa lama kemudian, si gadis kembali berbalik menuju ke arah tangga. Dengan sigap ia melambaikan tangan kepada pemuda itu, “Gue duluan, ya! Semoga lo lulus di UTBK ini.”
“Lo juga,” sahut Gala seketika, ikut melambaikan tangannya, “Semoga lo juga lulus di tempat yang lo pilih.”
Pemuda tersebut hanya bisa menatap punggung gadis itu yang mulai menjauh. Gala sedikit terkekeh, menyadari uniknya cara berjalan si gadis. Di dalam hati, ia mulai berharap semoga saja gadis itu tidak terjatuh lagi di suatu tempat.
Tunggu...
Apa tadi mereka sempat bertukar nama?
****
“GALANJIR! lo udah di mana, sih?!”
Pemuda itu refleks menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendengar gelegar suara penelepon seberang. Untung saja, Gala melakukannya tepat waktu. Jika tidak, mungkin telinganya sudah pekak sekarang.
“Lo bisa santai ga sih, ngomongnya?! Demen banget teriak kayak cewek, Nief.” Sewot Gala.
“Yaudah gue ulang,” balas temannya lagi. “Gala sayang, lo sekarang di mana? Sebentar lagi udah jam 3 sore, loh! Katanya mau buka pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi bareng-bareng.”
“Lo emang jauh dari kata normal! Gue sampai merinding dengar ucapan lo.”
“Banyak mau lo, dasar jomlo lapuk!” umpat Hanief kesal. “Coba aja kalau lo di depan gue, udah gue bejek-bejek lo!”
“Ampun! Kok lo malah jadi sensi banget sih?!”
“Cepetan ke sini! Kalau dalam 15 menit lo belum ada, hutang gue sama Mas Bro lo yang tanggung, ya!”
Baru saja Gala ingin memprotes, sambungan telepon justru diputus secara sepihak. Pemuda itu mengerang, sedikit kesal dengan ucapan temannya Sendiri.
Gala bergegas, mengambil kunci motornya, dan berlari menuju garasi begitu saja.
****
“Sampai juga ya lo, akhirnya.”
Gala hanya bisa mengulum senyum di balik masker yang ia kenakan saat ucapan itu keluar dari mulut temannya. “Gue tadi ketiduran.”
“Alasan lo ketiduran mulu, Gal. Mulai dari masa sekolah sampai kini udah serba online, masih juga dipake itu alasan.”
“Yaudah, lo ambil gorengan, gih! Nanti gue yang bayar.”
Kedua netra Hanief mendadak nyalang mendengar ucapan Gala barusan. Kepala yang tadinya tersandar pada dinding, kini terangkat antusias. “Serius? Duh, Gal, ‘kan gue jadi enak.”
“Yaudah kalau ga ma—“
“Mas Bro! Risolesnya lima, ya! Gala yang bayar, Mas.” sorak Hanief memotong kalimat Gala begitu saja.
“Gal, lo pacarnya Hanief, ya?” celetuk Rafa di balik ponselnya. “Temen lo ada tiga orang lagi, tapi yang terlihat di mata lo cuma Hanief doang.”
“Sembarangan mulut lo kalau ngomong!” sembur Hanief yang baru kembali dengan sepiring risoles di tangan. Pemuda itu langsung menghampiri, menarik masker Rafa, kemudian menjejalkan satu risoles utuh ke mulutnya.
Meski kaget, Rafa tetap menerima gorengan tersebut dengan senang hati, “Thanks, Bestai!”
Gala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ajaib teman-temannya. Ia memilih untuk duduk berseberangan dengan Rafa dan Hanief.
“Masih sempat mabar ya, kalian.” gumam pemuda itu, lehernya memanjang demi melihat layar ponsel Zaidan yang duduk di sebelahnya.
“Rafa, noh.” balas Zaidan ringkas, “Katanya ga bisa rileks gara-gara sebentar lagi pengumuman.”
“Anjir! SAMUEL, ZAIDAN, BACKUP GUE!” Teriak Rafa tiba-tiba, ia langsung menegakkan punggung saking terkejutnya.
“Lo ada di mana, jir?!” balas Samuel, jempolnya sampai berputar-putar, mencari keberadaan Rafa di dalam gim yang sedang mereka mainkan.
“Anjirlah!” umpat pemuda itu sambil melayangkan ponselnya ke atas meja.
“Pas banget lo kalah.” Hanief mendekat, hendak membisikkan sesuatu kepada pemuda itu. “Tinggal hitungan menit, pengumuman mau dibuka, Raf.”
“Lo kalau mau ajak betumbuk, bilang!”
Beberapa detik kemudian, Samuel juga ikut meletakkan ponselnya ke atas meja. “Bukannya rileks, lo malah tambah galak, Raf.”
Sudut bibir Rafa terkulum, “Hanief tuh—“
“EH, SERVERNYA NGE-DOWN!”
Seluruh perhatian kini terpusat kepada Hanief Prakarsa Putra. Tanpa perlu diberitahu dua kali, teman-temannya juga tahu jika website pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi telah dibuka. Tidak ada lagi ekspresi santai, semua rahang terkatup. Mau tidak mau, mereka harus mengetahui hasil seleksi mereka cepat atau lambat.
“Countdown-nya udah hilang, ya?!” seru Zaidan ketika melihat ponsel Hanief, refleks pemuda itu langsung membuka website tersebut dari ponselnya.
“Udah.” balas Hanief singkat.
Gala juga tidak tinggal diam, ia mulai mengeluarkan ponsel dari kantung celana. “Terus refresh, Nief. Gue juga lagi coba di HP gue.”
Atmosfer di warung Mas Bro telah berubah drastis. Bahkan, Rafa yang tadinya ingin marah-marah justru sudah pucat pasi. Begitu juga dengan Samuel yang dahinya telah dibanjiri peluh melihat ketegangan teman-temannya.
“Siapa yang mau buka duluan? Ini HP gue udah bisa, Nih!”
“Ya lo duluan, lah!” seru Hanief sedikit ngegas.
Zaidan meringis, tapi tetap mengetikkan nomot ujian dan tanggal lahirnya di kolom yang tersedia. Namun, jempolnya mendadak kaku tepat sebelum menekan tombol pencarian terakhir.
“Kalau ternyata, gue harus ke Ausy, kalian masih mau jadi temen gue, ‘kan?”
“Tekan dulu tombolnya, pesimis ntaran aja!” Dengan gemas Samuel membantu pemuda itu untuk mempercepat proses pencarian hasil ujian temannya. Membuat Zaidan refleks menutup mata.
“LO DAPET HIJAU, NJIR!” Pekikan spontan Samuel membuat semua mata terfokus kepada ponsel Zaidan.
“Gila, Universitas Bung Tomo! Lo emang ditakdirkan banget jadi koko Surabaya, Dan!” seru Rafa dengan spontan mendorog-dorong bahu pemuda itu dengan tidak santainya.
“Sakit Woi!” balas Zaidan menepis tangan Rafa dari bahunya. Kontras dengan mata pemuda itu yang masih berkedip tidak percaya dengan hasil yang ia lihat sendiri. Namun, beberapa detik kemudian, Zaidan berdehem, kemudian mengembalikan fitur tersebut kembali ke menu utama.
“Siapa lagi nih, yang mau gue cekin?”
“Gue!”
“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal
Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”