Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu.
“Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34.
Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong.
“Loh, ayah belum tidur?”
Sapaan itu m
selamat berakhir pekan teman-teman~ Jangan lupa untuk minum air putih yang cukup agar tetap sehat.
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”
Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k
“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”
Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m
Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan
Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru
Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany
“Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k
“Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal
Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k
“Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”