Beranda / Fiksi Remaja / Yang Tidak Pernah Sampai / Bagian 5: Pengisian KRS

Share

Bagian 5: Pengisian KRS

Penulis: Alle
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. 

“Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. 

Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!”

Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, jurusan yang sama pula! Kayaknya, doa gue buat ga ketemu sama lo lagi, malah ga dikabulin.”

“Doa lo jahat banget–Raffa anjir kenapa malah ke kiri, woi!!” ucap pemuda itu yang ujung-ujungnya malah histeris. Kedua matanya sempat melirik ke layar laptop untuk melihat ekspresi gadis itu, tapi di akhir kalimat, matanya kembali terpaku pada ponselnya.

“Gue sebenarnya malu ketemu lo, tau!” balas gadis itu lugas, “Untung sekarang ketemuannya masih versi virtual, jadi gue ga malu-malu amat, lah.”

Tidak ada balasan lagi dari pemuda itu. Namun, kini ia tengah sibuk memanyunkan bibir sambil menggoyangkan kepalanya dengan heboh. Meniru ucapan terakhir si gadis dengan gaya yang berlebihan.

“Galanjir!! Lo mau gue tabok, hah?!” Di layar, terlihat Dara yang hampir saja melayangkan toples cookies-nya ke depan. 

Pemuda itu malah terkekeh. Ia pun melepas satu tangannya dari ponsel, agar ia dapat menusuk-nusuk pipinya sendiri. “Sini-sini, coba lo tabok di sini!” 

“Mending gue matiin aja nih, meet–”

“Jangan-jangan-jangan!” Punggung pemuda itu refleks berdiri tegak. Kini, wajahnya terlihat memenuhi layar laptop Dara.

“Lagian, lo sendiri juga masih sibuk main game.” imbuh Dara lagi, “Padahal, ‘kan, sebentar lagi kita bakal isi KRS tahu!” 

Gala tersenyum. Sejenak ia kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Habisnya, ini temen SMA gue maksa banget buat mabar. Katanya, mabar ini buat persiapan isi KRS, Dar.”

Demi mendengar ucapan Gala, kedua alis Dara telah sempurna seolah menyatu. “Bisa gitu, ya? Orang-orang kalau mau isi KRS tuh harus mempersiapkan jaringan internet yang baik. Ini, ‘kok, malah mabar?”

Pemuda itu terlihat menghela napas, sebelum akhirnya menjawab, “Gimana ya… orangnya games addict, sih! Jadi kalau stress pasti perginya malah nge-game mulu.”

“Eh, sebentar.” sambut Dara cepat, seperti teringat akan sesuatu. “Temen lo ini, anak Bareksa juga, ya?”

Gala menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan itu. 

“Jurusan mana?” 

“DKV, Dar.”

“Keren banget temen lo. Kenalin ke gue, dong!”

Respon gadis itu justru membuat Sang Pemuda kembali memanyunkan bibirnya, “FYI, gue juga ga kalah keren, Dar. Buat apa lo repot-repot kenalan, padahal orang keren udah ada di depan mata lo.”

“Gue yakin, lebih keren temen lo daripada lo, sih.”

Selang beberapa detik setelah kalimat tersebut, pemuda itu akhirnya meletakkan ponselnya di atas meja. Helaan napas panjang terdengar akibat dua alasan. Pertama, karena sesi game akhirnya selesai. Kedua, ia tidak rela jika Raffa dianggap lebih keren daripada dirinya. 

“Loh, udah selesai mainnya?”celetuk Dara ketika ponsel pemuda itu tidak lagi terlihat di layar laptopnya. 

Gala hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Menang??”

Sekali lagi, pemuda itu mengangguk.

“Oke, keren.” Si gadis tetap mengeluarkan senyum meski sekarang matanya sedang menatap ke bawah. “Pas banget sebentar lagi pengisian KRS–EH UDAH MULAI 30 MENITAN LALU??”

Mendengar teriakan itu, membuat Gala sontak kembali duduk dengan tegak. “Lo yang bener aja Dara!?”

“Coba, deh, lo cek situs webnya!” balas Dara, “Katanya baru dibuka 14.30. Ternyata dimajukan jadi pukul 14.00 tadi.”

Bagi mahasiswa, pengisian KRS adalah segalanya. Sebenarnya, pengisian ini diberikan tenggat waktu yang lumayan panjang. Namun, jika tidak mengisi secepat mungkin, bisa-bisa kelas yang bagus telah ludes diambil mahasiswa lainnya. 

Tentu saja keterlambatan 30 menit membuat pemuda itu cemas. Akan tetapi, pemuda itu justru memilih untuk memejamkan mata untuk beberapa detik. Kemudian, menarik napas dalam-dalam. Janggala mencoba untuk menenangkan diri beberapa saat.

“Tenang aja, Dar.” tutur pemuda itu, “Lagian ‘kan, mata kuliah kita di semester ini masih dipaketin.”

Ucapan Gala bagai mantra ajaib yang dapat membuat gadis itu turut mendapatkan ketenangan kembali. Ia mengangguk, “Oh iya, berarti kita isinya sesuai dengan pembagian kelas kemarin, ‘kan?”

Pemuda itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini, mereka tengah sibuk membuka akun registrasi masing-masing

“Eh Gal, webnya di elo, error ga, sih?”

“Engga,” jawab Gala seketika. “Ini gue sebentar lagi tinggal ngisi KRS-nya.”

“Kok di gue malah ga loading-loading, ya?” rungut Dara, sedari tadi jari kanannya telah sibuk mengklik kursor laptopnya berkali-kali.

“Jaringan internet lo lagi lemot kali,” cicit pemuda itu. Satu detik kemudian, ia tengah berkonsentrasi mengisi mata kuliah sesuai dengan perintah yang telah disosialisasikan beberapa hari yang lalu.

Kedua sudut bibir gadis itu justru mengarah kebawah. Lima belas detik lamanya, ia biarkan Gala sibuk sendiri mengisi KRS-nya. 

“Lo udah login belum, Dar?” tanya Gala memutus keheningan panjang itu. 

“Belum,” sahut gadis itu cepat. “Gue boleh nebeng ga, Gal?”

“Iya, sini gue isiin akun lo.”

Ucapan sederhana itu otomatis membuat sudut-sudut bibir gadis itu mulai mengembang. Dengan senang hati, Dara langsung membuka kolom chat pada aplikasi telekonferensi yang digunakan. Lalu, jari-jemarinya menari, mengetikkan id dan kata sandi akun registrasi miliknya.

“Ini, Gal! Big Thanks gue ucapin buat lo!”

Melihat senyum tulus gadis itu merekah, tanpa sadar membuat Gala juga ikut tersenyum. “Anytime, Dar. Gue izin login akun lo, ya!” 

Dara mengangguk. Dengan sabar ia menunggu Gala yang tengah mengisi KRS miliknya. Tidak butuh waktu lama bagi pemuda itu untuk menyelesaikan tugasnya. Kurang dari lima menit, ia kembali menyapa Dara di seberang sambungan.

“KRS lo udah gue isiin, ya.”

Yeay Thanks–” ucapan gadis itu tiba-tiba terputus begitu saja. Pada kamera, ia terlihat menoleh ke samping, memandang seseorang yang mungkin baru saja membuka pintu kamarnya. 

“--Oke, Bi. Sebentar, ya.” Meski samar, Gala dapat mendengar ucapan tersebut.

“Gal, gue tutup dulu, ya? Gue dipanggil nyokap, nih.”

Pemuda itu refleks mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu itu. Namun satu detik kemudian, Gala mengerjapkan mata sekaligus menggelengkan kepala, memutuskan untuk tidak mengambil pusing. 

“Oalah, gapapa, Dar. Thanks, lo udah nemenin gue KRS-an.”

“Justru gue yang berterima kasih, soalnya lo udah nolongin gue isi KRS, Gal.” Senyum masih terpatri di bibir gadis itu, meski tidak di matanya. “Gue tutup ya, dadah!”

Belum sempat Gala melambaikan tangannya ke kamera, sambungan telekonferensi itu telah sempurna terputus. Pemuda itu hanya dapat tersenyum, kemudian memutuskan untuk mematikan laptopnya. 

Tepat ketika pemuda itu akan berdiri menuju pintu kamarnya, seseorang justru datang dan membuka pintu tersebut.

“Gala, bisa ikut saya sebentar?”

Bab terkait

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 6

    Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 7

    Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 8

    Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Prolog

    “Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 1: Sepuluh Menit Pertemuan Pertama

    Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 2: Pengumuman Penentu

    “Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 3: Saatnya Bergerak, Gala!

    “Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 4: Pertama yang Kedua

    Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany

Bab terbaru

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 8

    Ini sudah ketiga kalinya Sandara menguap dalam satu jam. Gadis itu mengusap wajahnya sedikit kasar, sudut mata gadis itu mencoba untuk melihat jam yang tergantung di dinding. “Sumpah deh, ini rapat kapan kelar, sih? Udah jam setengah sebelas malam, malah masih pada semangat!” Gerutuan spontan dirinya justru membuatnya jadi terkejut sendiri. Gadis itu segera menggerakkan kursor laptopnya, melihat apakah ikon microphone pada aplikasi itu memiliki garis merah atau tidak. “Hamdalah ke mute, kan jadi tengsin kalau gue lupa mute tadi!”

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 7

    Janggala Kharisma memilih untuk berhenti dari aktivitasnya sejenak. Ia menghela napas panjang sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Kedua mata pemuda itu ikut berkedip mengiringi kedipan kursor pada dokumen yang sedang terbuka di laptopnya. Beberapa detik kemudian, netra pemuda itu refleks menatap jam yang tertera di kanan bawah layar itu. “Gile! dari jam 7 malem ngerjain tugas ini doang masih belom kelar juga!” heboh Gala, kepalanya refleks menoleh ke kanan untuk melihat jam yang terletak di atas nakas. Angka yang tertera pada jam tersebut sama dengan di layar laptopnya--pukul 23.34. Pemuda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia berdiri, memutuskan pergi ke dapur untuk mengisi gelas air yang kosong. “Loh, ayah belum tidur?” Sapaan itu m

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 6

    Setelah memutuskan untuk bergabung, Janggala Kharisma kemudian menghambur menuju meja belajar untuk menghidupkan laptopnya. Selagi menunggu proses booting, ia pun mampir menuju gantungan baju untuk mengambil kemeja yang selalu ia kenakan saat kelas daring sedang berlangsung. “Eh—Halo yang baru dateng!” sambut salah seorang kating yang telah bergabung dalam telekonferensi itu. “Halo Kak!” sapa Gala dengan suara yang mungkin terdengar sedikit bergetar. Namun, pemuda itu menghiraukan fakta kecil tersebut, lalu mengaktifkan kameranya. “Berarti yang join udah semua ‘kan

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 5: Pengisian KRS

    Sudah Lewat satu menit, tapi kekehan tawa Dara tidak dapat berhenti. Kedua tangan gadis itu masih tertumpuk di depan mulutnya, lengkap dengan satu cookies yang ia terselip pada jari tangan kanannya. “Kalau dipikir-pikir, kocak juga,” gumam gadis itu ketika tawanya sudah sedikit mereda. Dahi pemuda di seberang panggilan itu terlihat berkerut. Meski kedua netranya terpaku pada ponsel yang sedang digenggam, tapi ekspresinya tidak dapat berbohong jika ia tengah kebingungan. “Loh, kocak gimana?!” “Yaah… kocak aja gitu.” ulang Dara kemudian. “Lo sama gue dapat jadwal dan tempat UTBK yang sama, eh–malah keterima di kampus yang sama, juru

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 4: Pertama yang Kedua

    Gala terbangun dengan mata yang setengah terbuka, setengah lagi masih terpejam. Pemuda itu tidak terbangun oleh AC yang terlalu dingin, atau pun gorden jendela yang secara ajaib terbuka—Gala tahu Ibu-lah yang masuk ke kamar dan membuka gorden jendela kamarnya sekitar pukul 10.00 pagi. Pemuda itu terbangun akibat ponselnya yang entah sejak kapan terus bergetar. Sebelah tangan pemuda itu terulur, bersusah payah menggapai nakas yang tidak terlalu jauh dari posisi tidurnya. Mulut pemuda itu mulai meracau, kesal karena tidur yang ia rencanakan sampai pukul 1 siang terganggu sebelum alarmnya berbunyi. Siapa sih yang pagi-pagi udah ribut? Pastinya sih, ini si Hanief! Dengan nyawa yang masih belum terkumpul dengan sempurna, Gala membuka ponselnya dengan bantuan fingerprint. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat tanpa memeriksa notifikasi terlebih dahulu. Lima detik kemudian, Gala justru terbangun sempurna, sepaket dengan netrany

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 3: Saatnya Bergerak, Gala!

    “Website pendaftaran ulang udah diisi, input ijazah udah, input nilai rapor udah, scan surat pernyataan bermeterai udah... apa lagi ya, yang beluman?” Gala mengetuk-ngetukkan jarinya pada touchpad laptop miliknya. Pemuda itu menerawang, mengingat aktivitas yang baru saja selesai ia lakukan. “Besok tinggal bayar UKT, sih...” lanjut pemuda itu kembali. “Tapi... Kok rasanya ada yang kurang, gitu.” Akhirnya, pemuda itu memilih untuk mengabaikan kegelisahannya. Ia mematikan laptop, mengambil ponsel, dan mulai beranjak menuju kasur meski sebenarnya ia belum beranjak untuk tidur. “Oh iya!” soraknya. Kali ini agak keras, “Biasanya kalau masuk sekolah atau universitas gitu, pasti ada grup chat biar penyebaran informasi lancar. Kok, gue belum sama sekali masuk grup chat, ya?!” Perasaan santai pemuda itu kini berubah menjadi panik. Spontan ia mengusap aplikasi yang ingin ia mainkan di ponsel, kemudian beralih mencari k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 2: Pengumuman Penentu

    “Gue!” timpal Hanief dengan menggebu-gebu, “Karena lo tadi dapat hijau, semoga HP lo juga membawa berkah buat gue, ya.” “Si—ada tuh prinsip kayak gitu!” gumam Gala dengan kepala yang menggeleng-geleng lemah. Hanief mencibir, melayangkan isyarat tidak setuju dengan pendapat Gala. Namun, sejurus kemudian ia mengulurkan ponselnya kepada Zaidan, “Ini, nih, nomor ujian gue. Ulang tahunnya 06 Juni 2002.” Setelah Zaidan selesai mengetikkan nomor ujian tu, kelima pemuda itu kembali menahan napas ketika Zaidan telah menekan tombol terakhir. “Ya Tuhan, semoga pilihan hamba—Hah Hijau?!” Hanief yang tadi ingin berdoa justru berteriak kencang ketika matanya tidak sengaja menangkap siluet bewarna hijau dari ponsel Zaidan. “Keren banget, Ilmu Komunikasi Universitas Elang!” seru Samuel, “Keren, Nief. Lo lulus di jurusan yang paling tinggi keketatannya se-soshum!” “Ini juga berkat Gala yang menjadi tutor soshum gue, Sam.” pemuda itu melompat menuju Gal

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Bagian 1: Sepuluh Menit Pertemuan Pertama

    Detak jarum jam, desisan-desisan mengingat materi pelajaran, goresan pensil, keyboard dan mouse mulai digunakan, serta ketukan sepatu heels penjaga ruangan mulai terdengar mencekam. Kurang dari lima menit lagi, peserta yang ada di ruangan itu akan menjalankan ujian penentu kehidupan selanjutnya. Siap tidak siap, mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan agar memperoleh hasil yang maksimal. “Ujiannya akan dimulai dalam lima menit lagi!” Seorang pemuda hanya dapat mengangguk samar-samar mendengar pengumuman itu. Kepalanya tertekuk, mencoba meredam degup jantung yang kini mulai terdengar sampai ke telinganya sendiri. Sementara itu, kedua tangannya terangkat menuju hidung dan dagu, berpura-pura merapikan masker yang terpasang. “Bu, masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang.” Mendengar bisikan kecil pengawas tersebut, membuat Janggala Kharisma refleks mengangkat kepalanya. Pandangannya mengedar, melototi satu-persatu k

  • Yang Tidak Pernah Sampai   Prolog

    “Sebagian tamu penting telah melakukan registrasi di depan. Apakah acara resepsi ini dapat kita mulai, Pak?” Mendengar laporan itu, seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa mulai berdiri. Ia berbalik, memandang asistennya yang berdiri di dekat pintu ruangan. “Bagaimana dengan mempelai wanita?” tanyanya ringkas, sembari merapikan setelan yang ia kenakan. “Mempelai wanita telah bersiap, Pak.” Sang Pria menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan cepat. Kedua rahangnya terkatup, seolah-olah tengah menahan emosi yang seharusnya tidak meluap di saat-saat seperti ini. “Tapi sebelum itu,” Dahi pemuda itu berkerut, mendengar asistennya kembali menyela. “Ada seorang tamu yang jauh-jauh datang dari Paris. Mungkin, anda ingin menemuinya terlebih dah—“ Belum genap ucapan itu, Sang Pria justru langsung berjalan ke luar. Ia tahu betul siapa yang dimaksud asistennya. Padahal, dia sempat berpikir jika gadis ini tidak akan datang ke acara pernikahannya. “K—Kak...” “Oh, Halo....”

DMCA.com Protection Status