Hari berganti, Yuan Ling yang sebelumnya tak sadarkan diri sejak malam sebelumnya, kini terbangun dengan kepala yang masih terasa berat dan pusing. Perlahan, ia duduk, memperhatikan penampilannya yang masih mengenakan gaun pengantin.
Pandangannya mengelilingi kamarnya yang hening. Pikirannya masih kacau, dan tubuhnya terasa lemas. Tidak lama kemudian, Pangeran Qing Fei memasuki ruangan dengan membawa baskom berisi air. Meskipun Pangeran Qing Fei mengira Yuan Ling masih tertidur, saat melewati tempat tidurnya, dia terkejut melihat Yuan Ling sudah terbangun dan duduk. "Ling'er, kau sudah bangun?" tanya Pangeran Qing Fei, berdiri tak jauh darinya. "Oh, iya. Hari ini kita akan menghadap ibunda untuk memberikan penghormatan. Bersiaplah," lanjutnya. Pangeran Qing Fei pergi ke sisi ruangan yang lain dan meletakkan baskom air. Sikap Pangeran Qing Fei kembali seperti semula—bodoh dan pemalu. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan Yuan Ling sendirian di kamarnya. Yuan Ling memperhatikan kepergian Pangeran Qing Fei hingga dia menghilang di balik pintu. ** ** ** Matahari telah mencapai puncaknya di langit. Yuan Ling dan Pangeran Qing Fei baru saja tiba untuk menghadap Selir Yuhe. Selir ini adalah istri kedua Kaisar Qing, yang terkenal karena ambisinya dan ketamakannya. Demi mencapai tujuannya, dia tak segan melakukan apapun, termasuk merebut tahta Kerajaan. Dengan langkah mantap, Pangeran Qing Fei memasuki kediaman Selir Yuhe dan memberikan penghormatan yang sepatutnya. "Hormat pada Ibunda," ucapnya, sambil bersamaan dengan Yuan Ling membungkuk hormat. Suara Selir Yuhe terdengar lembut, namun di balik kelembutannya tersimpan kelicikan yang tak terlihat oleh orang lain. "Xiao Fei, inikah istrimu?" tanyanya, sambil tersenyum malu-malu. Pangeran Qing Fei mengangguk, "Iya, Ibunda. Dia adalah Yuan Ling, putri Jenderal Yuan Li." Namun, Pangeran Qing Fei memperhatikan sesuatu yang aneh. Yuan Ling, dengan tatapan penuh amarah dan dendam, menatap Selir Yuhe. Pangeran Qing Fei juga merasakan ketegangan itu, seolah perasaannya dipantulkan oleh selir tersebut. Selir Yuhe mengernyitkan dahinya, bingung melihat Yuan Ling. Pangeran Qing Fei dengan lembut menepuk bahu Yuan Ling, mengembalikannya dari lamunannya. Yuan Ling terkejut saat merasakan sentuhan itu. Tuan Ling—ayahnya—menoleh ke arah Pangeran Qing Fei, mengubah ekspresi emosionalnya menjadi lebih tenang. "Ling'er," bisik Pangeran Qing Fei, "Ibunda bertanya padamu." Yuan Ling menatap Selir Yuhe dengan dingin, hatinya berkecamuk. Kemudian, Yuan Ling membungkuk hormat dengan sikap yang terpaksa. Melihat sikap Yuan Ling yang kurang sopan padanya, selir Yuhe menegur pangeran Qing Fei. “Xiao Fei, karena kau sudah menikah. Kau harus bisa mendidik istri agar bersikap lebih sopan lagi,” ucapnya dengan tegas. Tak berselang lama, seorang Kasim berteriak dari luar. “Pangeran Qing Chuan dan Putri Zhu Lian, telah hadir!” seru sang Kasim, mengumumkan kedatangan dua tokoh penting dalam istana. Diikuti oleh pangeran ke enam di belakang mereka. Yuan Ling merasa detak jantungnya semakin cepat, ketika bertemu kembali dengan orang yang telah menikam jantungnya tersebut. Kejadian naas yang menimpa dirinya dulu, kembali terlintas di benaknya. Pangeran Chua dan puti Zhu Lian, memberi hormat pada selir Yuhe. Lalu, ia berdiri di samping kiri. "Xiao Fei, lihatlah istri kakakmu, dia memiliki kecantikan serta kesopanan yang tiada tara." Merasa dibanding-bandingkan dengan Putri Zhu Lian, Yuan Ling menyela ucapan selir Yuhe. "Yang Mulia, bukan salah suamiku yang tidak bisa mendidik ku. Tapi, sikap yang kumiliki ini bukanlah sesuatu yang perlu Anda urusi. Lebih baik bersikap apa adanya, jika benci maka bilang saja benci dan jika senang maka katakanlah senang. Tidak perlu berpura-pura dan menampilkan wajah lugu dan bersikap sopan," ucapnya. Kata-kata Yuan Ling begitu menohok dan langsung menusuk ke dalam hati. Raut wajah orang-orang yang ada di sana menunjukan ketidak senangan terhadap dirinya. Selir Yuhe tersenyum sinis. “Kau memang berlidah tajam , putri Yuan Ling. Kau baru saja menikah dengan pangeran kelima, tapi sudah membuat citra pangeran instan kerajaan menjadi buruk dalam sehari," balasnya dengan nada cukup tajam. "Aku tidak akan membuat suamiku memiliki citra buruk. Tapi, justru Yang Mulia selir lah yang membuat citra istana ini buruk." Kata-kata Yuan Ling terbilang santai namun membuat yang mendengarnya menjadi geram. "Jaga bicaramu !" sentak pangeran ke enam seraya maju selangkah dan menunjuk Yuan Ling. Yuan Ling yang memiliki sifat keras kepala, tidak mau kalah dengan pangeran ke enam. Ia pun hendak maju namun segera ditahan oleh pangeran Qing Fei. "Ling'er, sebaiknya kita pergi saja," lirih pangeran Qing Fei. Raut wajahnya yang lugu membuat hati Tuan Ling malah semakin geram. Bukan karena pangeran Qing Fei, melainkan sikap para saudaranya yang selalu merendahkan martabat pangeran Qing Fei. "Aku tidak akan pergi dari sini ," jawabnya tegas. Yuan Ling melihat ke arah selir Yuhe yang duduk anggun di kursi kebesarannya. "Yang Mulia selir Yuhe, bahkan di saat kami menghadap, Anda sendiri tidak memberikan sambutan kecil kepada kami berdua. Anda lebih fokus membahas mengenai sikap dan perilaku buruk yang ku miliki,"lanjutnya.Pangeran Qing Chuan dan Pangeran Qing Chen merasa geram dengan sikap tidak sopan dan arogan yang ditunjukkan oleh Putri Yuan Ling. Ia dengan tegas, menolak untuk menunjukkan rasa hormat kepada keluarga kerajaan. Suasana di ruangan istana menjadi tegang, dan semua mata tertuju padanya. Tiba-tiba, selir Yuhe, yang duduk di kursi kebesaran, tertawa ringan. Tawanya memecah ketegangan yang menyelimuti ruangan. "Jangan terlalu serius, Putri Yuan Ling," ujarnya dengan bijaksana. "Para pangeran memang suka membuat lelucon." Selir Yuhe melirik ke arah Qing Chuan dan berkata, "Chuan, berikan teh Krisan itu pada Pangeran Kelima." Pangeran Qing Chuan mengangguk tegas dan melangkah menuju meja di bawah kursi selir Yuhe. Disana, sebuah gelas teh Krisan sudah tersedia. Namun, ketika Pangeran Qing Chuan berjalan mendekati Pangeran Qing Fei, dia terlihat takut dan bersembunyi di belakangnya. Yuan Ling terheran saat melihat suaminya itu bersembunyi di balik punggungnya saat pangeran Qing Chuan berj
Matahari telah meninggalkan sinarnya, dan langit pun berubah menjadi gelap. Desiran angin malam yang dingin menerpa pepohonan di sekitar, menimbulkan suara gemerisik dari dunia yang saling bergesekan. Aroma tanah basah tercium samar-samar, membawa kenangan akan hujan yang baru saja reda. Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar, menambah kesan tenang dan damai pada malam yang baru saja dimulai. Sementara itu, bintang-bintang mulai bermunculan, seolah-olah berlomba untuk menghiasi langit malam yang pekat. Dalam keheningan malam yang pekat, terlihat Pangeran Qing Chuan tengah berjalan perlahan di samping kediamannya, menuju arah kolam yang tenang. Langkahnya terdengar lembut di atas tanah berkerikil, seolah-olah ia tidak ingin mengganggu ketenangan malam itu. Sesampainya di sisi kolam, ia berhenti dan memandang ke arah air yang memantulkan bayangannya sendiri. Pikiran-pikirannya berkecamuk, penuh dengan kerumitan yang tak terucapkan. "Siapa sebenarnya Yuan Ling? Dia bahkan bisa
Dengan tangan yang gemetar, Putri Zhu Lian menjatuhkan mangkuk yang ada di tangannya. Suara pecahan mangkuk yang menghantam lantai bergema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang mencekam."Istriku, ada apa?" ucap Pangeran Chuan dengan nada cemas, merangkul pundak Putri Zhu Lian dengan lembut, mencoba menenangkannya. Sentuhan hangatnya berusaha mengusir ketakutan yang terpancar dari mata istrinya.Putri Zhu Lian menatap Pangeran Chuan dengan wajah pucat pasi, bibirnya bergetar tanpa suara. Matanya yang besar dan biasanya penuh keceriaan kini dipenuhi oleh ketakutan dan kebingungan. "I-itu," balas Zhu Lian tergagap, suaranya bergetar seraya menunjuk ke arah sup yang sudah tumpah. Air sup mengalir di lantai, mengelilingi jantung ayam utuh yang tergeletak di tengahnya. Pangeran Qing Chuan membelalakkan mata, terkejut dan jijik melihat pemandangan mengerikan itu."Kau, apa maksud dari semua ini?" sentak Pangeran Chuan dengan nada geram, suaranya bergetar menahan amarah. Matanya mena
Yuan Ling sedang berada di ruang belajar, duduk seorang diri di tengah keheningan malam. Suara gemerisik daun di luar jendela menjadi satu-satunya pengiring kesendiriannya. Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat cepat dari arah jendela, memecah keheningan dengan suara desingan tajam. Yuan Ling, yang memiliki daya peka luar biasa, segera bereaksi. Dengan gerakan cepat dan lincah, ia menepis serangan tersebut, membuat anak panah itu menancap kuat di dinding kayu di belakangnya.Detik-detik berlalu dengan tegang. Yuan Ling mengalihkan pandangannya ke arah jendela, matanya menyipit mencoba menembus kegelapan. Di balik jendela, ia melihat sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat, hampir seperti ilusi. Tanpa ragu, Yuan Ling bangkit dari duduknya, langkahnya mantap dan penuh tekad. Ia mengejar sosok misterius itu, meninggalkan ruang belajar yang kini sunyi kembali, hanya menyisakan anak panah yang tertancap sebagai saksi bisu dari kejadian tersebut.Akhirnya, Yuan Ling berhasil mengejar so
Yuan Ling merasakan kehangatan dari genggaman tangan Pangeran Qing Fei, seolah-olah mengalirkan ketenangan ke dalam dirinya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat mata Pangeran yang penuh dengan pengertian dan kasih sayang. "Aku hanya takut kau dalam bahaya," bisik Yuan Ling, suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca, seolah menahan air mata yang siap tumpah. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika sesuatu terjadi padamu."Pangeran Qing Fei tersenyum lembut, senyum yang penuh kasih dan menenangkan hati Yuan Ling. "Apa maksud ucapanmu? Apakah ada musuh yang menyusup ke istana ini?" katanya sambil menarik Yuan Ling ke dalam pelukannya yang hangat dan protektif. Yuan Ling bisa merasakan detak jantung Pangeran yang tenang dan stabil, memberikan rasa aman yang sangat ia butuhkan."Tidak ada," kilah Yuan Ling, tidak ingin membuat Pangeran Qing Fei khawatir. Namun, ketika Yuan Ling tidak sengaja meraba lengan atas Pangeran Qing Fei sedikit tersentak dan meringis kesakitan."Ada apa?" tan
Udara dingin pagi masih menyelimuti kamar pangeran Qing Fei. Bau samar dupa dan teh melati masih tercium, sisa aroma terapi yang Yuan Ling gunakan untuk menenangkan suaminya setelah peristiwa menegangkan di pesta ulang tahun Permaisuri Zhu Lian. Cahaya rembulan, redup dan pucat, menembus celah tirai sutra, menghasilkan pola-pola lembut di lantai marmer yang dingin. Selesai mengobati luka kecil di lengan pangeran Qing Fei—luka akibat pertengkaran dengan salah satu bangsawan yang iri akan kekayaan dan pengaruh keluarga Qing Fei—Yuan Ling pun membaringkan tubuhnya di samping sang pangeran. Lelah, namun hati mereka dipenuhi kekhawatiran akan pertemuan dengan Kaisar esok hari. Pagi ini, mereka harus menjelaskan keributan yang terjadi, sebuah insiden yang hampir mencoreng nama baik istana.Beberapa jam berlalu, sunyi hanya diiringi detak jam antik di sudut ruangan. Sebelum sinar mentari pertama menyentuh dinding istana yang tinggi menjulang, Yuan Ling, dengan rambut hitam legam yang
Melihat anak panah yang masih menancap di dada sang pangeran, Yuan Ling dengan cepat mencabut anak panah tersebut. Darah segar mengalir deras dari luka yang menganga, membuat Yuan Ling semakin cemas. Ia memperhatikan ujung anak panah yang bercampur darah, mulai berubah warnanya menjadi kehitaman, tanda jelas bahwa racun mematikan telah meresap."Racun!" gumam Yuan Ling dengan suara bergetar. Ia melempar anak panah tersebut dengan gerakan cepat dan panik. Tanpa membuang waktu, Yuan Ling segera memberikan pertolongan pertama. Ia menempelkan bibirnya pada luka pangeran, menghisap racun yang bercampur darah dengan penuh tekad. Setiap kali ia meludahkannya, rasa pahit dan getir memenuhi mulutnya, namun ia terus melakukannya, berulang kali.Namun, tanpa ia sadari, sebagian racun itu tertelan dan mulai memberikan efek yang mengerikan. Pandangannya mulai kabur, dan dunia di sekitarnya berputar. Tubuhnya melemas, kehilangan kekuatan, dan akhirnya ia terjatuh, tak sadarkan diri di samping sang
Di tempat yang jauh, di tengah hutan yang gelap dan lebat, seorang pengawal wanita berjuang mati-matian melawan kejaran seorang prajurit. Raut wajahnya penuh lebam, bekas-bekas pertempuran yang menggores pipinya. Noda darah mengering di sudut bibirnya, mengingatkan akan bahaya yang terus mengintai. Suara napasnya yang terengah-engah berpadu dengan desiran angin malam yang dingin, menciptakan suasana mencekam. "Kejar orang itu!" seru salah satu prajurit yang mengejar pengawal wanita, suaranya menggema di antara pepohonan. Lie Wei Ying, seorang pengawal wanita yang setia, rela melakukan apapun demi tuannya. Ia berhutang budi karena tuannya telah menolongnya ketika ia dijadikan budak belian. Namun, kini nasibnya berubah drastis. Para prajurit dari wilayah lain berhasil mengepungnya, membuatnya terpojok di tengah hutan yang sunyi. "Kau sudah terkepung," seru salah satu prajurit seraya menghunuskan pedang ke arahnya. "Cepat, serahkan Qin Ilahi milik permaisuri kami," sambungnya dengan
Melihat anak panah yang masih menancap di dada sang pangeran, Yuan Ling dengan cepat mencabut anak panah tersebut. Darah segar mengalir deras dari luka yang menganga, membuat Yuan Ling semakin cemas. Ia memperhatikan ujung anak panah yang bercampur darah, mulai berubah warnanya menjadi kehitaman, tanda jelas bahwa racun mematikan telah meresap."Racun!" gumam Yuan Ling dengan suara bergetar. Ia melempar anak panah tersebut dengan gerakan cepat dan panik. Tanpa membuang waktu, Yuan Ling segera memberikan pertolongan pertama. Ia menempelkan bibirnya pada luka pangeran, menghisap racun yang bercampur darah dengan penuh tekad. Setiap kali ia meludahkannya, rasa pahit dan getir memenuhi mulutnya, namun ia terus melakukannya, berulang kali.Namun, tanpa ia sadari, sebagian racun itu tertelan dan mulai memberikan efek yang mengerikan. Pandangannya mulai kabur, dan dunia di sekitarnya berputar. Tubuhnya melemas, kehilangan kekuatan, dan akhirnya ia terjatuh, tak sadarkan diri di samping sang
Udara dingin pagi masih menyelimuti kamar pangeran Qing Fei. Bau samar dupa dan teh melati masih tercium, sisa aroma terapi yang Yuan Ling gunakan untuk menenangkan suaminya setelah peristiwa menegangkan di pesta ulang tahun Permaisuri Zhu Lian. Cahaya rembulan, redup dan pucat, menembus celah tirai sutra, menghasilkan pola-pola lembut di lantai marmer yang dingin. Selesai mengobati luka kecil di lengan pangeran Qing Fei—luka akibat pertengkaran dengan salah satu bangsawan yang iri akan kekayaan dan pengaruh keluarga Qing Fei—Yuan Ling pun membaringkan tubuhnya di samping sang pangeran. Lelah, namun hati mereka dipenuhi kekhawatiran akan pertemuan dengan Kaisar esok hari. Pagi ini, mereka harus menjelaskan keributan yang terjadi, sebuah insiden yang hampir mencoreng nama baik istana.Beberapa jam berlalu, sunyi hanya diiringi detak jam antik di sudut ruangan. Sebelum sinar mentari pertama menyentuh dinding istana yang tinggi menjulang, Yuan Ling, dengan rambut hitam legam yang
Yuan Ling merasakan kehangatan dari genggaman tangan Pangeran Qing Fei, seolah-olah mengalirkan ketenangan ke dalam dirinya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat mata Pangeran yang penuh dengan pengertian dan kasih sayang. "Aku hanya takut kau dalam bahaya," bisik Yuan Ling, suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca, seolah menahan air mata yang siap tumpah. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika sesuatu terjadi padamu."Pangeran Qing Fei tersenyum lembut, senyum yang penuh kasih dan menenangkan hati Yuan Ling. "Apa maksud ucapanmu? Apakah ada musuh yang menyusup ke istana ini?" katanya sambil menarik Yuan Ling ke dalam pelukannya yang hangat dan protektif. Yuan Ling bisa merasakan detak jantung Pangeran yang tenang dan stabil, memberikan rasa aman yang sangat ia butuhkan."Tidak ada," kilah Yuan Ling, tidak ingin membuat Pangeran Qing Fei khawatir. Namun, ketika Yuan Ling tidak sengaja meraba lengan atas Pangeran Qing Fei sedikit tersentak dan meringis kesakitan."Ada apa?" tan
Yuan Ling sedang berada di ruang belajar, duduk seorang diri di tengah keheningan malam. Suara gemerisik daun di luar jendela menjadi satu-satunya pengiring kesendiriannya. Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat cepat dari arah jendela, memecah keheningan dengan suara desingan tajam. Yuan Ling, yang memiliki daya peka luar biasa, segera bereaksi. Dengan gerakan cepat dan lincah, ia menepis serangan tersebut, membuat anak panah itu menancap kuat di dinding kayu di belakangnya.Detik-detik berlalu dengan tegang. Yuan Ling mengalihkan pandangannya ke arah jendela, matanya menyipit mencoba menembus kegelapan. Di balik jendela, ia melihat sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat, hampir seperti ilusi. Tanpa ragu, Yuan Ling bangkit dari duduknya, langkahnya mantap dan penuh tekad. Ia mengejar sosok misterius itu, meninggalkan ruang belajar yang kini sunyi kembali, hanya menyisakan anak panah yang tertancap sebagai saksi bisu dari kejadian tersebut.Akhirnya, Yuan Ling berhasil mengejar so
Dengan tangan yang gemetar, Putri Zhu Lian menjatuhkan mangkuk yang ada di tangannya. Suara pecahan mangkuk yang menghantam lantai bergema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang mencekam."Istriku, ada apa?" ucap Pangeran Chuan dengan nada cemas, merangkul pundak Putri Zhu Lian dengan lembut, mencoba menenangkannya. Sentuhan hangatnya berusaha mengusir ketakutan yang terpancar dari mata istrinya.Putri Zhu Lian menatap Pangeran Chuan dengan wajah pucat pasi, bibirnya bergetar tanpa suara. Matanya yang besar dan biasanya penuh keceriaan kini dipenuhi oleh ketakutan dan kebingungan. "I-itu," balas Zhu Lian tergagap, suaranya bergetar seraya menunjuk ke arah sup yang sudah tumpah. Air sup mengalir di lantai, mengelilingi jantung ayam utuh yang tergeletak di tengahnya. Pangeran Qing Chuan membelalakkan mata, terkejut dan jijik melihat pemandangan mengerikan itu."Kau, apa maksud dari semua ini?" sentak Pangeran Chuan dengan nada geram, suaranya bergetar menahan amarah. Matanya mena
Matahari telah meninggalkan sinarnya, dan langit pun berubah menjadi gelap. Desiran angin malam yang dingin menerpa pepohonan di sekitar, menimbulkan suara gemerisik dari dunia yang saling bergesekan. Aroma tanah basah tercium samar-samar, membawa kenangan akan hujan yang baru saja reda. Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar, menambah kesan tenang dan damai pada malam yang baru saja dimulai. Sementara itu, bintang-bintang mulai bermunculan, seolah-olah berlomba untuk menghiasi langit malam yang pekat. Dalam keheningan malam yang pekat, terlihat Pangeran Qing Chuan tengah berjalan perlahan di samping kediamannya, menuju arah kolam yang tenang. Langkahnya terdengar lembut di atas tanah berkerikil, seolah-olah ia tidak ingin mengganggu ketenangan malam itu. Sesampainya di sisi kolam, ia berhenti dan memandang ke arah air yang memantulkan bayangannya sendiri. Pikiran-pikirannya berkecamuk, penuh dengan kerumitan yang tak terucapkan. "Siapa sebenarnya Yuan Ling? Dia bahkan bisa
Pangeran Qing Chuan dan Pangeran Qing Chen merasa geram dengan sikap tidak sopan dan arogan yang ditunjukkan oleh Putri Yuan Ling. Ia dengan tegas, menolak untuk menunjukkan rasa hormat kepada keluarga kerajaan. Suasana di ruangan istana menjadi tegang, dan semua mata tertuju padanya. Tiba-tiba, selir Yuhe, yang duduk di kursi kebesaran, tertawa ringan. Tawanya memecah ketegangan yang menyelimuti ruangan. "Jangan terlalu serius, Putri Yuan Ling," ujarnya dengan bijaksana. "Para pangeran memang suka membuat lelucon." Selir Yuhe melirik ke arah Qing Chuan dan berkata, "Chuan, berikan teh Krisan itu pada Pangeran Kelima." Pangeran Qing Chuan mengangguk tegas dan melangkah menuju meja di bawah kursi selir Yuhe. Disana, sebuah gelas teh Krisan sudah tersedia. Namun, ketika Pangeran Qing Chuan berjalan mendekati Pangeran Qing Fei, dia terlihat takut dan bersembunyi di belakangnya. Yuan Ling terheran saat melihat suaminya itu bersembunyi di balik punggungnya saat pangeran Qing Chuan berj
Hari berganti, Yuan Ling yang sebelumnya tak sadarkan diri sejak malam sebelumnya, kini terbangun dengan kepala yang masih terasa berat dan pusing. Perlahan, ia duduk, memperhatikan penampilannya yang masih mengenakan gaun pengantin. Pandangannya mengelilingi kamarnya yang hening. Pikirannya masih kacau, dan tubuhnya terasa lemas. Tidak lama kemudian, Pangeran Qing Fei memasuki ruangan dengan membawa baskom berisi air. Meskipun Pangeran Qing Fei mengira Yuan Ling masih tertidur, saat melewati tempat tidurnya, dia terkejut melihat Yuan Ling sudah terbangun dan duduk. "Ling'er, kau sudah bangun?" tanya Pangeran Qing Fei, berdiri tak jauh darinya. "Oh, iya. Hari ini kita akan menghadap ibunda untuk memberikan penghormatan. Bersiaplah," lanjutnya. Pangeran Qing Fei pergi ke sisi ruangan yang lain dan meletakkan baskom air. Sikap Pangeran Qing Fei kembali seperti semula—bodoh dan pemalu. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan Yuan Ling sendirian di kamarnya. Yuan Ling memperhatikan ke
Pangeran Qing Fei melangkah perlahan ke arah Yuan Ling, menjaga beberapa jarak saja. Di balik kain yang menutupi kepala Yuan Ling, ia melihat samar-samar sosok sang Pangeran yang mengulurkan tangannya, hendak membuka penutup tersebut. Namun, pangeran Qing Fei tampak ragu dan mengurungkan niatnya. Detik kemudian, pangeran Qing Fei membalikkan badannya dan sedikit menjauh dari Yuan Ling yang masih duduk. Pangeran Qing Fei berdiri di hadapan Yuan Ling, membelakanginya. Yuan Ling menyadari perubahan ini dengan cepat dan membuka penutup kepalanya. Pandangannya yang teduh sedikit terkejut saat melihat pria di hadapannya sangat tampan dan berkharisma, bahkan tidak terlihat bodoh. Yuan Ling yang sejak tadi terdiam, bangun dan berdiri berhadapan dengan jarak yang sedikit lebih jauh. Begitu pun dengan pangeran Qing Fei. Namun, tanpa diduga, tiba-tiba saja pangeran Qing Fei melangkah cepat ke arah Yuan Ling dan langsung mengecup bibirnya. "Dasar tidak sopan!" Yuan Ling refleks mendorong Pa