Mendengar kalimat ibunya tadi, Isha tak bisa tidur semalaman. Dijodohkan dengan Malik? Bagaimana mungkin terlaksana? Mereka saat ini bagai dua orang asing yang tidak saling mengenal dan tak saling berkabar. Bahkan, Isha mulai membunuh apapun rasa yang ada di dalam hatinya sejak hari dimana Malik memilih untuk tidak datang ke kolam hanya karena dia kedatangan Bayu ketika itu.“Kamu belum tidur?” tanya Rosminah pada Isha ketika perempuan paruh baya itu terbangun dan dilihatnya Isha masih terjaga.“Belum, Bu,” jawab Isha singkat.“Kenapa? Mikirin omongan Ibu tadi?” tanya Rosminah merasa bersalah.Isha menggeleng. “Tidak. Hanya tak bisa tidur saja,” jawab Isha berbohong.“Ibu pikir kamu mikirin kalimat Ibu. Jangan dipikirkan jika itu mengganggumu. Itu hanya obrolan tak penting Ibu sama ibunya Malik dulu ketika kalian masih kecil. Kamu dan Malik tidak harus menurutinya. Kalian bebas memilih pasangan kalian masing-masing. Tidurlah, besok kuliah pagi, kan?” tanya Ros sebelum akhirnya memilih
Pagi ini, Malik sudah bersiap hendak berangkat bekerja setelah mendapat panggilan untuk mengajar matematika di sebuah sekolah menengah atas swasta yang ada di kecamatan sebelah. Selama sebulan ini memang Malik selalu berkebun dengan ibunya. Jika sore tiba, dia membantu ayahnya mengajar mengaji anak-anak tetangga di sekitar rumahnya. Aiman juga sudah siap berangkat mengajar, namun Aiman mengajar di sekolah menengah pertama di desa ini saja. “Hati-hati di jalan, Mal. Jaga etika dan kesopanan ketika nanti wawancara,” pesan Aminah. “Iya, Bu.” Malik mengangguk. “Kepala sekolah itu teman Ayah ketika SMA. Mudah-mudahan akan menerima kamu dengan baik,” kata Aiman sebelum melepas Malik berangkat. Malik mengangguk. “Insya Allah mereka akan baik semua, Yah. Doain saya,” pamit Malik kemudian berangkat dengan motornya. Jarak delapan belas kilometer yang Malik tempuh mungkin sedikit melelahkan, namun jelas ini adalah profesi yang Malik pilih ketika masuk ke dunia perkuliahan. Memasuki duni
Pagi ini, di rumah keluarga Ridwan Ghozali, suasana terlihat demikian riang setelah beberapa tahun senyap. Hari ini, Isha pulang setelah kuliah selama beberapa tahun tanpa pulang sama sekali. Bahkan ketika liburan semester. Jika Rosminah rindu dengan Isha, maka dia akan pergi ke ibu kota untuk menemui Isha.Bahkan, setelah lulus pun Isha tidak langsung pulang, melainkan langsung menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh sebuah lembaga keuangan sebuah perusahaan di ibu kota karena Isha adalah salah satu dari beberapa lulusan terbaik kampusnya.“Bagaimana pekerjaanmu, Sha?” tanya Rosminah ketika gadis itu membantunya memasak.“Baik, Bu. Gajinya juga lumayan. Tapi resikonya juga besar, kan? Namanya urusan keuangan. Selisih angka sedikit saja bisa menjadi dugaan buruk,” jawab Isha.“Makanya harus hati-hati dalam bekerja, kan?” Rosminah memberikan nasehatnya.“Meskipun Isha hati-hati, kalau ada yang tak suka dan bermain curang juga kita nggak bisa mengelak, kan, Bu?” kata Isha.“Memangnya a
“Katanya liburan ada study tour, Mal?” tanya Aminah ketika pagi ini mereka berdua berbincang di teras. Liburan kali ini Malik benar-benar ingin istirahat di rumah. Bahkan permintaan kepala sekolah agar dia ikut tour dengan anak-anak tidak bisa dipenuhinya.“Malas, Bu. Hanya dapat capek, kan? Lagian itu tempat sudah pernah saya lihat semua dulu ketika kuliah,” jawab Malik sambil menyimak buku sastra yang dibawanya kemarin.Belakangan, selain senang membaca buku-buku agamis, Malik juga suka membaca buku sastra.“Eh, Mal. Antar ibu belanja ke pasar bisa?” tanya Aminah.“Bisa. Mau belanja apa, Bu?” tanya Malik menutup bukunya.“Sayuran dan bumbu dapur. Sekali-sekali kamu butuh keluar, agar kaca mata kamu tidak semakin tebal,” ujar Aminah sambil masuk ke dalam untuk mengambil tas belanjaan.Malik hanya tersenyum. Memang diakui, semenjak menjadi salah satu guru di sekolah itu, malik lebih banyak diam di rumah ketika sampai di kontrakannya. Demikian juga ketika hari libur tiba seperti ini.
Ada yang kurang pas di pikiran Malik ketika dia ingat bahwa ada gosip mengenai rencana pernikahannya. Padahal dia sendiri bahkan tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat. Jangankan menikah, teman dekat saja Malik tak punya.“Tadi ketemu sama Isha, Mal?” tanya Aminah ketika mereka dalam perjalanan dari pasar.Malik mengangguk.“Kalian saling menyapa?” tanya Aminah lagi.“Iya. Saling sapa biasa, kayak dulu,” jawab Malik lagi dengan nada datar karena pikirannya sedang dipenuhi gosip rencana pernikahannya.“Berarti kalian sudah baikan?” tanya Aminah penasaran.“Bukannya selama ini kami sudah baikan, Bu? Hanya saja tak pernah berbincang kayak dulu lagi, ya, karena kami memang nggak pernah ketemu, Bu.” Malik menjawab netral.“Syukurlah kalau kalian sudah saling berbaikan.” Aminah menjawab bijak.Malik tersenyum lembut. Selama perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi ucapan Isha tadi. Tentu saja ini sedikit mengganggu karena dia tidak seperti gosip yang beredar.“Bu, boleh saya tanya?” tany
Merasa tak mendengar jawaban dari Malik, Rosiana kembali mengucap sapaan salamnya. Rosiana mengintip dari kaca jendela ruang tamu ini dan melihat Malik yang terduduk bengong di lorong menuju dapur. Rosiana terkejut sekaligus panik melihat kondisi Malik yang sepertinya tidak baik-baik saja itu. Maka dia kembali menggedor pintu rumah kontrakan Malik ini.“Mal? Hei, Mal? Kamu dengar aku, kan?” panggil Rosiana.Di luar jam sekolah memang Rosiana selalu memanggil Malik dengan sebutan Malik saja karena mereka memang memiliki usia yang sama. Namun ketika berada di sekolah, Rosiana jelas memanggil Malik dengan embel-embel ‘pak’ untuk menghormati profesinya sebagai pendidik.Karena Malik hanya terbengong, seolah tak mendengar panggilan Rosiana, perempuan itu nekat membuka pintu rumah ini dan merangsek masuk.“Mal? Hei, Mal? Kamu baik-baik saja?” tanya Rosiana saat dia duduk sejajar dengan Malik, mengguncang tubuh yang bagai patung itu.Laki-laki itu menghela napas berat, kemudian menggeleng.“
Tentu saja Malik terkejut mendengar pernyataan Rosiana yang terdengar begitu jujur itu. Meski kadang Malik menyadari ada sikap tak biasa yang dilakukan Rosiana terhadapnya, akan tetapi Malik tidak pernah menyangka bahwa itu adalah sebuah cinta. Sebagaimana yang Rosiana ungkapkan beberapa detik lalu.“Apakah kalimatku tidak cukup gamblang, Mal? Aku merasakan sakit yang sama sebagaimana yang kamu rasakan. Kamu sakit mencintai Isha sendirian. Dan aku juga sakit karena mengharapkan cintamu, mencintaimu, sendirian,” jawab Rosiana dengan suara bergetar.Mata Malik menatap Rosiana yang juga menatapnya dengan mata nanar itu.“Tapi, Ros? Kita hanya berteman, kan? Tidak baik mengotorinya dengan rasa selain teman, kan?” tanya Malik.“Lalu bagaimana dengan kamu? Kamu juga mencintai Isha padahal kalian juga berteman, kan? Tidak bolehkan aku mencintai kamu, sebagaimana kamu mencintai Isha?” tanya Rosiana menuntut jawaban.Malik bingung. Ini jelas jauh dari apa yang ada di dalam pikirannya, sehingga
“Assalamualaikum,” ulang Isha di seberang karena Malik tidak menjawab salamnya.“Waalaikumsalam, Isha. Apa kabar?” tanya Malik dengan nada lembut namun jelas gugup, menyembunyikan suasana hatinya yang sedang riuh bergemuruh.“Saya baik, alhamdulillah.” Isha menjawab singkat di seberang.“Abang dengar kamu mau menikah?” tanya Malik dengan suara yang lirih.Terdiam beberapa saat, tak ada jawaban. Namun, helaan napas Isha terdengar jelas di telinga Malik.“Benar begitu, Sha?” tanya Malik karena Isha tak menjawab pertanyaannya.“Ya. Saya akan menikah akhir bulan ini,” jawab Isha di seberang.Meskipun Malik tahu jawaban apa yang akan didengarnya, namun tetap saja Malik belum siap hati untuk mendengarnya.“Tapi mengapa, Sha?” tanya Malik dengan pertanyaan yang jelas menunjukkan keputusasaan.Terdengar Isha tersenyum aneh mendengar pertanyaan Malik.“Mengapa saya menikah? Saya sudah dewasa, Bang. Sudah saatnya menikah karena saya tak mau hanya mencintai laki-laki tanpa ujung pangkal. Kebetul