Mendengar jawaban Isha, Rosminah terkejut. Bagaimana mungkin anak gadisnya yang terkenal keras kepala itu begitu saja menerima pernikahan yang ditawarkan Malik? Meskipun ini mungkin hanya untuk menghindari rasa malu yang jelas akan terjadi jika memang benar-benar gagal, tapi Rosminah benar-benar tak menyangka Isha akan semudah itu bilang setuju.
Rosminah menatap Malik yang sepertinya juga shock dengan jawaban Isha. Namun demikian, Malik kemudian mengangguk tipis pada Rosminah untuk menegaskan bahwa mereka berdua benar-benar sepakat untuk menikah. Meskipun sejujurnya belum terlalu sepakat karena jelas Isha terpaksa menjalani pernikahan ini.
Rosminah tersenyum lega. Tangisnya seketika luruh melihat kesanggupan Isha menikah dengan Malik, meskipun Rosminah tahu bahwa Isha tak menyukai Malik. Setidaknya Isha menyelamatkan keluarga ini dari rasa malu karena kegagalan pernikahan yang perhelatannya sudah akan digelar itu.
“Segeralah bersiap, Nak. Penghulu sudah menunggu terlalu lama,” ujar Rosminah dengan suara sarat tangis. Antara lega dan juga ragu dengan arah pernikahan mereka nantinya.
Isha mengangguk. Rosminah kemudian kembali ke ruang tengah, sementara Isha membalikkan badannya menghadap Malik.
“Kita akan menikah segera. Tapi aku tak yakin bahwa pernikahan ini akan berlangsung selamanya. Hanya saja aku berterima kasih karena kamu sudah menolong aku, menolong keluarga ini dari rasa malu,” ucap Isha dengan menundukkan wajahnya yang mendung itu.
“Ya, aku tahu. Kamu tak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan,” jawab Malik dengan nada rendah.
Malik kemudian berjalan menuju pintu, hendak keluar karena pintu kembali diketuk. Dan ketika dia memuka pintu itu, di sana sudah ada Ridwan, Aiman dan juga Aminah yang menatap Malik dengan tatapan gelisah.
“Mal? Apakah … apakah benar kalian akan menikah?” tanya Rodwan dengan suara yang gemetar menahan berbagai rasa yang menumpuk jadi satu kali ini. Antara marah karena merasa dipermainkan Murad, sekaligus penuh harap akan persetujuan Malik dan Isha.
Malik menatap ketiga orang tua yang berharap jawabannya itu kemudian mengangguk mantap.
“Iya, Om. Isha sudah setuju untuk menikah dengan saya,” jawab Malik dengan santun.
Ridwan lega luar biasa, tapi tidak demikian dengan Aiman dan Aminah. Kedua orang tua Malik itu masih ragu.
“Kamu sudah yakin dengan langkah yang kamu ambil ini, Mal?” tanya Aiman dengan serius, sementara Aminah hanya menunggu jawaban Malik.
“Saya yakin, Yah. Untuk itu, saya mohon doa dan restunya,” jawab Malik yang kemudian berlutut di depan Aiman dan Aminah.
Aminah tak bisa menahan rasa haru dengan keteguhan Malik ketika mengambil keputusan ini. Aiman segera meraih bahu Malik dan membawanya berdiri.
“Berdirilah. Ayah yakin kamu sudah memikirkannya masak-masak. Apapun itu, Ayah dan ibu pasti akan merestui dan mendoakan yang terbaik buat kamu,” ujar Aiman yang kemudian memeluk Malik.
Dalam pelukan Aiman, Malik mengangguk.
“Terima kasih doa dan restunya, Yah,” ucap Malik dengan suara lirih.
Laki-laki tampan itu kemudian beralih pada Aminah kemudian memeluk perempuan yang menangis itu.
“Malik mohon doa restunya, Bu,” ujar Malik lirih ketika pelukan ibunya melingkupinya dengan hangat.
Aminah mengangguk. “Pasti! Ibu pasti merestui apapun langkah yang kamu ambil, Mal. Doa Ibu akan selalu bersamamu, Nak,” ucap Aminah dengan air mata yang mengalir.
“Terima kasih, Bu,” ucap Malik dengan dada mengambang oleh rasa haru kemudian melerai pelukan mereka.
Tiba-tiba dari luar datang salah seorang tetangga mereka.
“Bagaimana ini, Pak Ridwan? Pengantin prianya belum datang juga? Penghulu sudah menunggu.” Dadang, salah seorang tetangga Ridwan bertanya dengan panik.
Ridwan tersenyum, tapi masih ada sisa air mata yang tadi sempat merebak melihat ketulusan Malik.
“Kamu tenang saja, Dang. Pernikahan akan tetap dilaksanakan,” ujar Ridwan menenangkan Dadang.
“Lho, pengantin prianya mana, Pak Ridwan?” tanya Dadang heran.
“Saya yang akan menjadi mempelai prianya, Pak Dadang,” sela Malik dengan mantap.
“Lho? Pak Guru Malik akan menggantikan mempelai prianya?” Dadang bertanya setengah tak percaya.
Namun, anggukan semua orang yang ada di depannya itu membuat Dadang tidak ragu lagi. Meski tentu saja banyak keheranan yang di hatinya.
‘Nah, Dadang, sekarang kamu ke depan, dan katakan pada penghulu dan semua pegawai pencatat pernikahan bahwa pernikahan akan berlangsung sebentar lagi. Kami sedang bersiap saat ini,” perintah Ridwan pada Dadang.
“Baik, Pak. Saya akan ke depan kalau begitu,” ujar Dadang yang kemudian undur diri dan bergegas ke depan.
“Malik, Pak Aiman, dan Ibu Aminah … saya tak tahu lagi harus bilang apa untuk semua hal yang kalian niatkan kali ini. Tapi saya sungguh berterima kasih yang setulus-tulusnya karena kalian menyelamatkan keluargaku dari rasa malu yang disebabkan ketidakhadiran calon menantuku. Terima kasih sekali lagi,” ucap Ridwan dengan mata berkaca-kaca dan senyum yang canggung.
Aiman mengangguk.
“Ini semua murni keinginan Malik, Pak Ridwan. Dan kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung apapun keputusan Malik. Mari sama-sama berdoa agar semuanya berjalan lancar,” ujar Aiman.
Ridwan mengangguk.
“Bersiaplah, Mal. Tak enak membiarkan penghulu menunggu lebih lama lagi,” ujar Ridwan pada Malik yang dijawab anggukan oleh lelaki tampan berkacamata itu.
Ridwan kemudian melongok ke dalam kamar ketika Malik dan keluarganya berjalan menuju ke ruang tengah untuk bersiap. Laki-laki itu kemudian mendekati Isha yang sejak tadi hanya berdiri menyaksikan drama di depan pintu kamarnya dengan wajah datar.
“Maaf jika Bapak tadi bersikap kasar padamu, Sha. Bapak panik karena ini di luar dugaan. Bapak harap kali ini kamu tidak keras kepala atas apa yang sudah Malik lakukan untuk keluarga kita.” Ridwan berkata dengan nada rendah.
Isha hanya bisa mengangguk. Karena hanya ini yang bisa dilakukannya. Dia tak punya senjata apapun untuk berdiri tegak mengedepankan keinginannya. Karena Murad sudah menghancurkan semuanya, menghancurkan perjuangannya agar Murad diterima di dalam keluarga ini. Perjuangannya yang mengagungkan cinta di atas segalanya.
Tiba-tiba Rosminah masuk.
“Pak? Isha? Bagaimana? Acara akan segera dimulai,” ujar Rosminah.
Ridwan mengangguk menatap Isha dan Rosminah bergantian.
***
Semua orang sudah berkumpul di sini, di depan pelaminan yang tertata dengan demikian megah dan indah. Tamu-tamu dan kerabat yang hadir juga sudah berkumpul dengan tak sabar. Sebagian mereka ada yang kasak kusuk mengenai pergantian mempelai laki-laki ini. Sebagian besar memaklumi dan salut dengan langkah yang diambil Malik untuk menyelamatkan keluarga ini. Akan tetapi tidak sedikit yang mengejek Malik bodoh karena mau saja menggantikan mempelai laki-laki.
Terlepas dari banyaknya hal pro dan kontra yang muncul di kalangan para tamu undangan, Dadang sudah berhasil memberi keterangan kepada pak penghulu mengenai kerumitan yang terjadi. Dadang meminta agar urusan surat menyurat menyusul kemudian karena yang penting pernikahan ini dilangsungkan. Pak penghulu akhirnya memaklumi dan setuju dengan situasi di luar dugaan ini.
Dan kini, semuanya sudah siap dilaksanakan. Isha sudah duduk menunduk di belakang Ridwan yang berhadapan dengan Malik dan juga penghulu. Aiman dan Aminah duduk di belakang Malik, demikian juga dengan Rosminah yang duduk di samping Isha bersama dengan Dewi, sebagai pendamping pengantin. Ketika penghulu membuka acara, sesekali Malik menatap ke arah Isha yang menunduk dan sesekali menyeka air matanya.
Hati Malik tercubit melihatnya. Malik tahu ini bukan pernikahan yang diinginkan Isha. Namun, Malik juga tak akan membiarkan Isha dipermalukan dengan cara seperti ini. Hingga akhirnya tiba saat ijab qabul, dan Malik sudah memantapkan hatinya. Ini bukan tentang dirinya yang mencintai Isha dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi ini tentang menyelamatkan orang yang Malik cintai agar tidak menjadi bahan ejekan karena batal menikah.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Arash Al Malik bin Aiman Alaydrus dengan anak saya yang bernama Syalaisha Ghazali dengan maskawinnya berupa mushaf Al-Qur’an, tunai.” Ridwan yang menjabat tangan Malik mengucap kalimat ijab untuk putrinya itu.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Syalaisha Ghazali binti Ridwan Ghazali dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.” Malik yang menjabat tangan Ridwan menjawab ijab qabul itu dalam satu tarikan nafas.
“Bagaimana saksi? Sah?” tanya penghulu pada dua orang saksi yang ada di kiri dan kanan Malik.
“Sah!” Kedua saksi itu menjawab bersamaan.
“Alhamdulillah.” Terdengar kalimat-kalimat lega dari semua yang hadir di tempat itu.
Namun, di saat yang sama, Isha tak lagi bisa menahan suasana hatinya yang memburuk. Sekuat apapun dia berusaha untuk tegar, nyatanya emosinya lebih berkuasa dan dia tak bisa lagi menahannya, sehingga akhirnya gelap menghampirinya.
Bruk!! Isha pingsan tepat setelah para saksi mengucapkan kata sah.
“Isha?!” Malik bergegas berdiri untuk menolong istrinya dan beberapa orang yang ada di dekat Isha.
***
Malam usai perhelatan itu, suasana di rumah keluarga Ridwan mulai lengang. Segala aktivitas hajat yang beberapa hari ini berlangsung riuh, mulai berkurang. Para pekerja pelaminan dan dekorasi juga sudah mulai melepas pelaminan dan segala temannya. Petugas catering dan petugas kebersihan juga bekerja dengan sigap.Beberapa saudara yang datang dari luar desa luar kota satu per satu mulai meninggalkan rumah Ridwan setelah ikut memeriahkan pernikahan Isha tadi siang. Hanya tinggal Malik dan Isha yang kini sah menjadi istrinya, juga Ridwan dan Rosminah serta dua orang pembantu yang membereskan rumah ini.Malam menjelang isya, Ridwan memanggil Malik yang hendak mengambil air wudhu.“Bisa kita bicara sebentar, Mal?” tanya Ridwan.Malik menatap Ridwan, berpikir sejenak kemudian mengangguk.“Bisa, Om. Sekarang?” tanya Malik dengan santun.Ridwan tersenyum mendengar Malik masih memanggilnya dengan sebutan om, sebagaimana dulu anak itu memanggilnya dengan sebutan yang sama.“Mengapa harus memang
Kalau saja kali ini Isha tidak berada di depan ayah dan ibunya, sudah pasti dia akan menarik tangannya dari genggaman Malik yang sepertinya mengambil kesempatan malam ini. Akan tetapi Isha tidak ingin menambah masalah sehingga kemarahan ayahnya yang siang tadi mencapai puncaknya akan tersulut kembali.“Aku senang kamu bersedia melakukannya, Mal. Satu yang harus kamu ingat, bahwa Isha adalah anakku satu-satunya. Meskipun kamu sudah menolong kami agar terhindar dari rasa malu dan dipermalukan, akan tetapi itu bukan alasan untuk kamu bisa berbuat semena-mena kepada Isha.” Ridwan mengakhiri nasehatnya.“Pasti, Yah. Saya pasti akan mencintai Isha dengan sepenuh hati. Dan akan menjaga sesuai amanah Ayah serta Ibu,” jawab Malik yang semakin mengeratkan genggamannya.Kini, tangan yang satunya malah ikut mengeratkan genggamannya, membuat Isha semakin geram. Namun, sekali lagi Isha tak mungkin menepis tangan Malik, hingga akhirnya Isha memilih diam. Hanya sesekali dia mengangguk seolah menyetuj
Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.“Keman
Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.“Be
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.