Kalau saja kali ini Isha tidak berada di depan ayah dan ibunya, sudah pasti dia akan menarik tangannya dari genggaman Malik yang sepertinya mengambil kesempatan malam ini. Akan tetapi Isha tidak ingin menambah masalah sehingga kemarahan ayahnya yang siang tadi mencapai puncaknya akan tersulut kembali.
“Aku senang kamu bersedia melakukannya, Mal. Satu yang harus kamu ingat, bahwa Isha adalah anakku satu-satunya. Meskipun kamu sudah menolong kami agar terhindar dari rasa malu dan dipermalukan, akan tetapi itu bukan alasan untuk kamu bisa berbuat semena-mena kepada Isha.” Ridwan mengakhiri nasehatnya.
“Pasti, Yah. Saya pasti akan mencintai Isha dengan sepenuh hati. Dan akan menjaga sesuai amanah Ayah serta Ibu,” jawab Malik yang semakin mengeratkan genggamannya.
Kini, tangan yang satunya malah ikut mengeratkan genggamannya, membuat Isha semakin geram. Namun, sekali lagi Isha tak mungkin menepis tangan Malik, hingga akhirnya Isha memilih diam. Hanya sesekali dia mengangguk seolah menyetujui pembicaraan mereka.
“Tuh, Isha. Dengarkan kata Ayah. Selama ini Ayah sudah menuruti apapun permintaanmu, apapun keinginan kamu. Bahkan ketika kamu mengajukan Murad menjadi calon suami kamu, Ayah setuju tanpa syarat. Sejujurnya Ayah kurang pas dengan pilihanmu ketika itu. Akan tetapi karena kamu mencintainya, Ayah menerima dengan lapang dada.” Ridwan menghentikan sejenak kalimatnya untuk menghela napas.
Isha hanya diam, menunduk dan merasa bersalah. Malik sekilas menoleh ke arah Isha yang tangannya masih dia genggam itu. Malik mengeratkan genggamannya, seolah memberi Isha support bahwa semua akan baik-baik saja.
“Tapi nyatanya feeling Ayah benar, kan? Kalau tak ada Malik, mungkin saat ini keluarga kita akan menjadi bahan gunjingan tetangga dan saudara. Terlebih kamu, Isha. Untuk itu Ayah minta, sekali ini saja kamu menuruti omongan Ayah. Jadilah istri yang baik untuk Malik. Hanya itu permintaan Ayah,” pungkas Ridwan.
Isha diam dan masih menunduk tak berani mendongak untuk menatap ayahnya.
“Bagaimana, Isha?” tanya Ridwan pada anak perempuannya itu.
Isha akhirnya mendongak tapi tak bisa memberikan jawaban karena dia belum bisa memastikan apakah dia bisa bersama dengan Malik selamanya, sementara hatinya jelas masih terisi Murad yang nyata-nyata sudah meninggalkannya itu.
Melihat situasi canggung kali ini, Malik mengambil alih pembicaraan untuk menyelamatkan Isha dari kejaran pertanyaan Ridwan.
“Yah, situasi kami tidak sama dengan situasi pernikahan orang lain. Saya tahu bahwa di dalam hati Isha tidak mudah untuk melupakan Murad dan menerima saya. Namun, sesuai dengan janji saya, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat semuanya lebih baik untuk kamu berdua. Saya harap Ayah bisa mengerti dengan posisi kami,” kata Malik.
Ridwan manggut-manggut mengerti. Laki-laki itu tersenyum. Sepertinya dia tidak salah menyetujui pertolongan yang Malik berikan pada keluarga ini, karena Ridwan merasa bahwa Malik adalah laki-laki yang tepat untuk Isha.
“Baiklah. Mungkin kalian berdua lelah karena acara seharian ini. Atau mungkin juga ada hal lain yang harus kalian bicarakan berdua. Sekarang beristirahatlah,” perintah Ridwan pada kedua pengantin baru itu.
Malik mengangguk.
“Kalau begitu, kami permisi, Yah, Bu,” pamit Malik sambil menarik tangan Isha dengan lembut, mengajaknya kembali ke kamar.
Ridwan dan Rosminah mengangguk.
Isha masih membiarkan tangannya digenggam Malik ketika mereka berdua kembali ke kamar. Namun, itu hanya beberapa saat saja, karena ketika sampai di kamar Isha segera menarik tangannya dari genggaman tangan Malik. Malik membiarkannya, sama sekali tak memaksa.
“Apakah malam ini aku boleh tidur di atas ranjang yang sama denganmu?” tanya Maik dengan sengaja karena dia tahu bahwa Isha tidak mau tidur seranjang dengannya.
Sebenarnya Malik bisa saja memaksa dan tidur di ranjang yang sama. Tapi Malik tidak akan melakukannya. Dia menghargai Isha, apapun keputusan perempuan itu.
Mendengar pertanyaan Malik, Isha menoleh, menatap Malik.
“Abang tahu, kan, bahwa pernikahan ini bukan bukan pernikahan yang aku inginkan?” Isha balik bertanya dengan sengit.
Malik mengangguk.
“Ya, aku tahu itu, Sha. Karena itulah aku bertanya sama kamu.” Malik menjawab dengan kesabaran luar biasa. Sama sekali tak ada emosi yang muncul.
“Berarti Abang tahu, kan, jawabannya apa?” Isha melempar pertanyaan pada Malik yang sangat dipahami oleh laki-laki itu.
Malik mengangguk. Dia kemudian mengambil karpet yang ada di ujung kamar kemudian menggelarnya di kaki ranjang bagian bawah. Dia akan menggunakannya untuk tidur malam ini.
“Boleh aku pakai bantalnya?” tanya Malik setelah karpet berhasil digelarnya.
“Ambillah,” jawab Isha datar, tanpa ekspresi.
“Terima kasih,” ujar Malik yang kemudian mengambil bantal dan guling kemudian meletakkannya di atas karpet kemudian membaringkan tubuhnya di sana. Sementara Isha sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk itu.
Hening, keduanya sama-sama diam seolah hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Malik menggunakan kedua tangannya untuk menyangga kepalanya yang terbaring, lalu dia kemudian bertanya pada Isha.
“Kamu sudah tidur, Sha?” tanya Malik dengan suara jelas.
“Belum.” Suara Isha yang ketus awalnya membuat Malik ragu untuk berbicara.
“Boleh aku bicara?” tanya Malik lebih lanjut.
Diam, hening. Tak ada jawaban.
“Sha?” panggil Malik untuk memastikan bahwa Isha masih mendengar kalimatnya.
“Hmm.” Akhirnya Isha menyahut juga.
“Lusa, aku harus kembali ke tempatku mengajar.” Malik memulai kalimatnya.
“Lalu?” tanya Isha cepat.
“Karena kita sudah suami istri, kurasa ada baiknya kamu ikut denganku, sebagai bentuk tanggung jawabku sama kamu,” ujar Malik datar.
Mendengar kalimat itu, Isha terhenyak dan bangkit dari tidurnya. Dia duduk di atas ranjang dan menatap Malik yang terbaring di atas karpet di lantai kamar ini. Untung saja kamar Isha ini luas.
“Aku harus ikut Abang ke tempat Abang mengajar?” tanya Isha dengan sinis.
“Itu kalau kamu berkenan. Kalau kamu tidak berkenan, belum siap, dan masih mau tinggal sama ayah dan ibu di sini, aku tidak memaksa.” Malik menjawab dengan datar.
“Aku masih ingin di sini!” kata Isha ketus.
“Ya, tidak masalah. Hanya saja mungkin aku tidak bisa sering-sering pulang karena jaraknya lumayan jauh. Mungkin satu atau dua minggu sekali aku baru bisa pulang untuk mengunjungi kamu,” lanjut Malik.
“Baguslah kalau begitu.” Isha lega karena semakin jarang dia bertemu dengan Malik rasanya akan semakin baik.
“Namun, agar kita tidak ketahuan, kuharap besok pagi kamu bangun cepat dan mandi keramas sebelum sholat subuh,” pinta Malik.
“Eh, mengapa harus begitu?” tanya Isha langsung bangkit dan duduk, menatap tajam ke arah Malik yang terbaring santai di atas karpet.
“Ya, biar ayah sama ibu nggak curiga, Sha,” jawab Malik dengan sabar.
“Memangnya kalau ayah sama ibu curiga kenapa? Harus, ya, menjaga image dari orang lain?” tanya Isha lagi dengan ketus. Matanya yang bulat lebar menatap Malik.
“Ibu bukan menjaga image, Sha. Ini tentang menghargai dan menjaga perasaan ayah sama ibu.” Malik menjelaskan dengan tenang. Ditatapnya Isha yang menatap kesal ke arahnya. Dan sungguh, mata bulat nan indah itu masih seindah dulu, ketika mereka masih berteman baik sejak kecil dan remaja.
Isha mendengus ketika menyadari bahwa Malik menatapnya dengan intens, membuatnya risih hingga kemudian Isha kembali membanting diri di atas kasur dengan kasar.
‘Kalau saja yang mengucap ijab qabul tadi siang adalah Murad, dan bukan Malik, pasti sekarang adalah saat paling mendebarkan untukku,’ hati Isha berbisik lembut penuh sesal.
Tanpa disadarinya air mata mulai mengalir pelan dari sudut matanya. Namun, sebisa mungkin dia tidak akan menunjukkannya di hadapan siapapun, betapa hatinya terluka dan sakit atas apa yang Murad lakukan padanya hari ini.
Sementara itu, Malik yang belum juga bisa memejamkan matanya, membiarkan angannya melayang. Sejujurnya dia juga tak pernah membayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dalam pernikahan dengan Isha. Bahkan mereka sedang dalam suasana malam pertama pernikahan mereka. Namun, siapa sangka bahwa malam pertamanya akan dilaluinya dengan tidur sendiri di atas karpet kamar ini, padahal di atas kasur istrinya sedang tidur.
Tak dipungkiri bahwa Malik memang menyukai Isha semenjak mereka masih remaja tanggung. Akan tetapi sebuah kesalahpahaman membuat mereka berubah menjadi musuh.
Ketika itu …
***
Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.“Keman
Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.“Be
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Beberapa menit sebelumnya ….Rendra dan dua teman sejawatnya itu sedang duduk di kursi kantin ketika dia melihat Isha dan Malik berjalan beriringan memasuki kantin dengan membawa bekal makanan yang dibawa oleh Isha. Rendra terus mengawasi dengan matanya yang tajam itu.“Apakah menurutmu mereka itu memang benar-benar hanya berteman?” tanya Rendra pada Heri dan Doni.Kedua teman Rendra itu mengikuti arah pandang Rendra, kemudian sama-sama menggeleng.“Mana ada teman yang makan berdua setiap hari?” komentar Heri.Doni mengangguk setuju.“Masih obsesi sama gadis itu, Ren?” tanya Doni menoleh ke arah Rendra yang masih menatap ke arah Isha dan Malik yang asyik berbincang dan membuat yang melihatnya menjadi panas dingin karena mereka terlalu manis.Mendapat pertanyaan seperti itu Rendra tersenyum.
Meninggalkan kantin dengan hati dongkol, sebenarnya Malik ingin pergi ke kelas Isha untuk memberinya penghiburan. Akan tetapi terkendala karena bel yang ternyata sudah berbunyi sehingga Malik mengurungkan niatnya mencari Isha ke kelasnya. Malik sadar, bahwa peristiwa di kantin tadi sangat memalukan bagi Isha, meskipun bukan sebuah kesengajaan dan bukan pula kesalahan Malik.Akan tetapi bukankah Isha selalu tak bisa mengalah dan memaklumi? Malik khawatir Isha akan menyalahkan dirinya yang menempelkan bibirnya pada pipi Isha. Tanpa sadar Malik meraba bibirnya yang berkedut ringan.Entah mengapa senyumnya muncul seiring dengan jantungnya yang menggelepar ketika ingat peristiwa tadi. Apakah dia bahagia dengan kecelakaan tadi?“Mengapa tersenyum sendiri? Senang, ya, habis mencium cewek di kantin?” tanya Andi yang bertanya dengan suara rendah.Spontan Malik menoleh, menatap Andi dan menyadari b
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.