Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Beberapa menit sebelumnya ….Rendra dan dua teman sejawatnya itu sedang duduk di kursi kantin ketika dia melihat Isha dan Malik berjalan beriringan memasuki kantin dengan membawa bekal makanan yang dibawa oleh Isha. Rendra terus mengawasi dengan matanya yang tajam itu.“Apakah menurutmu mereka itu memang benar-benar hanya berteman?” tanya Rendra pada Heri dan Doni.Kedua teman Rendra itu mengikuti arah pandang Rendra, kemudian sama-sama menggeleng.“Mana ada teman yang makan berdua setiap hari?” komentar Heri.Doni mengangguk setuju.“Masih obsesi sama gadis itu, Ren?” tanya Doni menoleh ke arah Rendra yang masih menatap ke arah Isha dan Malik yang asyik berbincang dan membuat yang melihatnya menjadi panas dingin karena mereka terlalu manis.Mendapat pertanyaan seperti itu Rendra tersenyum.
Meninggalkan kantin dengan hati dongkol, sebenarnya Malik ingin pergi ke kelas Isha untuk memberinya penghiburan. Akan tetapi terkendala karena bel yang ternyata sudah berbunyi sehingga Malik mengurungkan niatnya mencari Isha ke kelasnya. Malik sadar, bahwa peristiwa di kantin tadi sangat memalukan bagi Isha, meskipun bukan sebuah kesengajaan dan bukan pula kesalahan Malik.Akan tetapi bukankah Isha selalu tak bisa mengalah dan memaklumi? Malik khawatir Isha akan menyalahkan dirinya yang menempelkan bibirnya pada pipi Isha. Tanpa sadar Malik meraba bibirnya yang berkedut ringan.Entah mengapa senyumnya muncul seiring dengan jantungnya yang menggelepar ketika ingat peristiwa tadi. Apakah dia bahagia dengan kecelakaan tadi?“Mengapa tersenyum sendiri? Senang, ya, habis mencium cewek di kantin?” tanya Andi yang bertanya dengan suara rendah.Spontan Malik menoleh, menatap Andi dan menyadari b
Malik terhenyak mendengar permintaan yang Isha ucapkan dengan wajah marah itu. Tentu saja dia tak bisa kalau tidak membawa Isha pulang bersamanya. Dengan siapa dia pulang nanti? Bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Rosminah bertanya?“Tidak!” tolak Malik dengan menggeleng tegas.Isha mengerutkan keningnya.“Tidak? Mengapa harus tidak?” tanya Isha marah.“Memangnya kamu mau pulang sama siapa?” Malik sedikit kesal dengan sifat keras kepala Isha yang mulai muncul kembali.“Aku banyak teman. Aku bisa minta antar mereka,” jawab Isha kesal.“Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Ros bertanya mengapa tidak pulang sama aku?” tanya Malik khawatir.“Aku yang akan menjelaskannya sama ibu. Tapi mulai nanti, dan seterusnya, Ab
Dengan langkah tergesa, Rosminah keluar untuk menemui Malik. Meski belum terlihat siapa dia, akan tetapi Ros yakin bahwa ini adalah Malik. Ketika sampai di pintu, Rosminah melihat anak muda itu sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan gelisah.“Mal?” sapa Ros dengan ramah.Malik membalikkan tubuhnya dan menata Rosminah dengan gugup.“Selamat siang, Tante. Maaf, saya tidak mengantar Isha tadi karena saya tidak tahu kalau dia kurang enak badan,” kata Malik dengan canggung.Rosinah tersenyum.“Bisa Tante bicara sebentar, Mal?” tanya Ros.Deg!Laki-laki itu menatap Rosminah dengan canggung. Jantung Malik berdetak lebih keras kini. Malik merasa seolah akan dihakimi dengan permintaan Rosminah kali ini. Apakah Isha sudah mengatakan semua kesalahpahaman ini?“Bisa, Tant. Di sini?&r
Mendengar pertanyaan Rosminah, Malik menatap perempuan itu dengan wajah lesu, kemudian menggeleng.“Dia tidak mau memaafkan saya, Tante.” Malik menjawab lesu.“Tante minta maaf, ya, Mal. Anak ini memang sedikit keras kepala.” Rosminah meminta maaf pada Malik.“Tidak perlu minta maaf, Tante. Mungkin memang saya yang tidak pandai menjaga perasaannya. Jadi … saya yang harus meminta maaf sama Tante dan juga om Ridwan karena mulai besok saya tidak menjemput Isha lagi. Dia tak mau saya menjemputnya, Tante. Saya minta maaf,” ujar Malik mengangguk canggung.“Astaga, Mal. Ini bukan salah kamu. Tante yang harusnya minta maaf karena selama ini sudah merepotkan kamu dengan menjemput Isha setiap hari.” Rosminah merasa tak enak hati.“Tidak apa-apa, Tante. Saya merasa tidak direpotkan. Kalau begitu saya permisi, Tante,” pungkas Malik kemudian bergegas keluar dari rumah Isha, meninggalkan Rosminah yang bingung.Perempuan itu kemudian bergegas menuju ke kamar Isha. Sampai di sana dilihatnya anak gadi