Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.
Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.
“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.
“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.
“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.
Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.
“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.
“Bekal makan siang. Kemarin aku bilang sama Ibu kalau bahwa pulangnya agak sore. Jadi Ibu menyiapkan bekal 2 kotak. Satu untuk aku, satu lagi buat Abang.” Isha menatap Malik.
“Untukku?” Malik bertanya bingung.
“Iya. Mungkin sebagai pengganti karena Abang udah janji mau jagain aku.” Isha dengan senyum lebar.
Malik tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku terima. Hanya saja, tak seharusnya tante Rosminah repot membuat ini untukku. Aku bisa makan di kantin kalau lapar,” ujar Malik.
“Mana aku tahu? Itu kemauan Ibu. Oh, ya. Nanti kalau makan siang di kantin boleh, kan?” Isha menatap Malik dengan sorot mata menggemaskan.
Malik tersenyum. Mengapa gadis ini begitu menggemaskan?
“Tentu saja boleh. Kenapa memangnya?” tanya Malik.
“Takutnya karena bawa bekal sendiri nggak boleh makan di sana.” Isha dengan logis.
“Nanti aku temani kamu kalau kamu belum terbiasa ke sana.” Malik menjanjikan untuk menemani Isha.
“Boleh. Nanti aku tunggu abang di lorong menuju ke kantin, ya?” pinta Isha dengan polosnya.
Sudah barang tentu Malik akan menyetujui apapun keinginan Isha. Apalagi ini hanya makan bersama. Malik tak mungkin menolaknya.
“Tunggu aku di lorong menuju kantin. Jangan kemana-mana kalau aku belum datang. Oke?” Malik memberi pesan sebelum Isha mengangguk dan meninggalkan area parkir menuju ke kelasnya.
Malik hanya tersenyum menatap kotak bekal yang dipegangnya itu. Lelaki tampan itu menggeleng heran.
“Sudah SMA kok masih bawa bekal.” Malik bergumam lirih saat meninggalkan area parkir dengan senyum geli.
***
Ketika akhirnya memasuki kelas setelah selesai upacara, seorang gadis teman sekelas Isha datang menghampiri. Isha kali ini duduk di deretan bangku paling depan karena hanya itu yang tersedia.
“Hei?” Risna, gadis manis berambut panjang itu menyapa Isha.
Isha menoleh dan tersenyum. “Hei” Isha membalas sapaan gadis itu.
“Boleh aku duduk di bangku ini?” tanya Risna.
Isha mengangguk. “Boleh. Memang kebetulan belum ada yang menempati,” jawab Isha.
Risna mengangguk kemudian duduk di bangku sebelah Isha.
“Ish, aku tadi melihat kamu saat tiba di sekolah tadi,” ujar Risna memulai percakapan dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh yang lain.
“Oh, ya? Kok kamu nggak menyapa aku?” tanya Isha balik.
Tiba-tiba Risna tersenyum dengan wajah merona membuat Isha heran.
“Aku malu,” jawab Risna.
Isha mengerutkan keningnya kemudian bertanya, “Malu? Malu sama siapa?”
Risna melihat ke sekeliling untuk melihat apakah ada yang mendengar percakapan mereka. Namun setelah dirasa aman, Risna mendekat dan berkata dengan suara rendah.
“Malu sama yang boncengin kamu tadi,” jawab Risna dengan wajah merah merona membuat Isha tertawa.
“Yang boncengin aku? Maksudmu bang Malik?” tanya Isha masih dengan mulut tersenyum tanpa suara.
“Jadi yang boncengin kamu itu namanya kak Malik?” tanya Risna masih dengan suara lirih.
Isha mengangguk.
“Maaf, ya. Aku … aku nggak bermaksud ngomongin pacar kamu, Ish. Maaf,” ucap Risna dengan khawatir karena mengira bahwa Malik adalah pacar Isha.
“Pacar? Pacar apaan?” tanya Isha heran.
“Kak Malik bukannya pacarmu?” tanya Risna heran.
Spontan Isha tertawa mendengar pertanyaan Risna.
“Ngaco! Bang Malik itu bukan pacarku. Lagian aku nggak boleh pacaran dulu sama ibuku sebelum aku lulus kuliah dan bekerja,” jawab Isha jujur.
Dan memang seperti itulah dogma yang ditanamkan oleh Rosminah terhadap Isha. Kecukupan materi seharusnya tak membuai Isha bisa dengan mudah melewati hidupnya tanpa perjuangan. Tidak! Baik Ridwan maupun Rosminah tetap menanamkan nilai kemandirian dalam jiwa Isha. Mereka tak mau Isha tumbuh menjadi perempuan yang hanya mengandalkan harta orang tuanya, sehingga tidak heran jika Isha tetap harus belajar dengan baik jika ingin nilai yang bagus.
Tentu tuntutan ini tidak serta merta dilepas begitu saja. Karena untuk tuntutan ini, Ridwan dan Rosminah memberikan fasilitas maksimal kepada Isha untuk belajar.
“Begitu, ya? Jadi kak Malik itu ada hubungan apa sama kamu? Kakakmu? Atau saudaramu?” tanya Risna semakin penasaran dengan status mereka berdua yang terlihat sangat dekat bahkan semenjak pendaftaran. Karena memang tanpa sengaja Risna melihat Malik yang tampan —sehingga laki-laki itu jauh lebih menonjol dibandingkan dengan siswa yang lain— itu sedang mengantar Isha mendaftar dan mengurus administrasi.
“Bang Malik itu temanku semenjak kecil. Kami selalu bersama kalau sekolah. Kami tetanggaan meski agak jauh. Tapi masih satu kampung dan keluarga kami sudah kayak saudara. Kenapa kamu nanyain bang Malik? Kamu naksir, ya, sama dia?” tebak Isha sambil tersenyum penuh arti.
“Sssttt … jangan keras-keras. Nanti teman-teman pada dengar takutnya jadi masalah,” ujar Risna sambil meletakkan telunjuknya di bibir untuk membuat Isha agar tidak terlalu keras membahas masalah ini.
Isha hanya mengangguk namun tak bisa menghentikan tawanya.
“Baiklah. Kalau kamu naksir, aku pasti akan sampaikan salammu buat bang Malik,” ujar Isha penuh janji.
“Benarkah?” tanya Risna dengan mata berbinar.
Isha mengangguk ikut senang. Namun wajah Risna yang penuh dengan binar itu tiba-tiba meredup dan berubah menjadi murung, membuat Isha bertanya-tanya.
“Ada apa, Ris?” tanya Isha.
“Tapi … apakah itu tidak memalukan? Seorang perempuan yang naksir laki-laki lebih dulu?” tanya Risna dengan menatap wajah Isha dengan sorot mata sendu.
“Mengapa harus malu? Jangan khawatir, nanti aku ada janji untuk makan siang bersama di kantin. Apakah kamu mau bergabung?” tanya Isha.
Risna spontan menggeleng.
“Tidak! Tidak. Aku … aku belum cukup berani untuk melakukannya,” jawab Risna dengan gugup.
“Baiklah kalau kamu tidak mau. Tapi kalau kamu mau berkirim salam, pasti aku sampaikan sama bang Malik,” ujar Isha.
Risna tersenyum lebar.
“Terima kasih, ya, Sha? Kamu baik,” ujar Risna yang terlalu bahagia karena akhirnya menemukan jalan untuk mendekati Malik.
***
Jam istirahat telah tiba. Sebagaimana yang dijanjikan, Isha bergegas menuju ke kantin yang melewati sebuah lorong panjang nan asri. Kantin yang berada di belakang sekolahan itu cukup besar. Sepertinya memang dibangun untuk menampung banyaknya murid yang kemungkinan melewatkan jam istirahatnya secara bersamaan.
Isha duduk dengan gelisah di bangku panjang yang ada di sisi kiri dan kanan koridor menuju kantin itu. Lalu lalang siswa dan siswi yang melalui lorong itu nyaris sebagian besar melihat ke arah isha yang duduk dengan gelisah karena menunggu Malik. Beberapa kali Isha melihat ke arloji yang dipakainya itu untuk memastikan bahwa seharusnya Malik sudah sampai di tempat mereka janji mau bertemu.
Isha hampir saja putus asa ketika akhirnya dari arah deretan kelas, muncul sosok Malik yang berjalan bergegas menuju ke arahnya. Tangan laki-laki itu memegang kotak bekal dengan sedikit kikuk karena tak pernah membawa bekal selama sekolah. Kalaupun pernah, itu adalah dulu ketika masih duduk di tingkat taman kanak-kanak. Jadi tak heran jika Malik terlihat canggung.
“Hei, Sha. Maaf, Abang lama,” ujar Malik dengan napas sedikit ngos-ngosan karena berjalan dengan tergesa. Apalagi ketika dilihatnya wajah Isha sudah cemberut.
“Kok lama, sih?” tanya Isha dengan wajah kesal.
“Hei, ini bukan kemauan Abang. Abang maunya cepat, tapi guru kelamaan ngasih materinya,” jawab Malik.
Isha cemberut. Dan Malik selalu hapal dengan tabiat Isha yang seringkali terlihat manja, seperti apa yang dikatakan ibunya.
“Hei, adik Abang yang manis mana boleh cemberut? Nanti hilang cantiknya. Yuk, ke kantin. Abang sudah lapar,” ajak Malik sambil mengacak lembut rambut Isha.
Meskipun cemberut, namun Isha ikut juga dengan Malik. Mereka tak menyadari ada tiga orang siswa yang memperhatikan mereka bertiga dengan penuh tanya.
***
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Beberapa menit sebelumnya ….Rendra dan dua teman sejawatnya itu sedang duduk di kursi kantin ketika dia melihat Isha dan Malik berjalan beriringan memasuki kantin dengan membawa bekal makanan yang dibawa oleh Isha. Rendra terus mengawasi dengan matanya yang tajam itu.“Apakah menurutmu mereka itu memang benar-benar hanya berteman?” tanya Rendra pada Heri dan Doni.Kedua teman Rendra itu mengikuti arah pandang Rendra, kemudian sama-sama menggeleng.“Mana ada teman yang makan berdua setiap hari?” komentar Heri.Doni mengangguk setuju.“Masih obsesi sama gadis itu, Ren?” tanya Doni menoleh ke arah Rendra yang masih menatap ke arah Isha dan Malik yang asyik berbincang dan membuat yang melihatnya menjadi panas dingin karena mereka terlalu manis.Mendapat pertanyaan seperti itu Rendra tersenyum.
Meninggalkan kantin dengan hati dongkol, sebenarnya Malik ingin pergi ke kelas Isha untuk memberinya penghiburan. Akan tetapi terkendala karena bel yang ternyata sudah berbunyi sehingga Malik mengurungkan niatnya mencari Isha ke kelasnya. Malik sadar, bahwa peristiwa di kantin tadi sangat memalukan bagi Isha, meskipun bukan sebuah kesengajaan dan bukan pula kesalahan Malik.Akan tetapi bukankah Isha selalu tak bisa mengalah dan memaklumi? Malik khawatir Isha akan menyalahkan dirinya yang menempelkan bibirnya pada pipi Isha. Tanpa sadar Malik meraba bibirnya yang berkedut ringan.Entah mengapa senyumnya muncul seiring dengan jantungnya yang menggelepar ketika ingat peristiwa tadi. Apakah dia bahagia dengan kecelakaan tadi?“Mengapa tersenyum sendiri? Senang, ya, habis mencium cewek di kantin?” tanya Andi yang bertanya dengan suara rendah.Spontan Malik menoleh, menatap Andi dan menyadari b
Malik terhenyak mendengar permintaan yang Isha ucapkan dengan wajah marah itu. Tentu saja dia tak bisa kalau tidak membawa Isha pulang bersamanya. Dengan siapa dia pulang nanti? Bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Rosminah bertanya?“Tidak!” tolak Malik dengan menggeleng tegas.Isha mengerutkan keningnya.“Tidak? Mengapa harus tidak?” tanya Isha marah.“Memangnya kamu mau pulang sama siapa?” Malik sedikit kesal dengan sifat keras kepala Isha yang mulai muncul kembali.“Aku banyak teman. Aku bisa minta antar mereka,” jawab Isha kesal.“Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Ros bertanya mengapa tidak pulang sama aku?” tanya Malik khawatir.“Aku yang akan menjelaskannya sama ibu. Tapi mulai nanti, dan seterusnya, Ab
Dengan langkah tergesa, Rosminah keluar untuk menemui Malik. Meski belum terlihat siapa dia, akan tetapi Ros yakin bahwa ini adalah Malik. Ketika sampai di pintu, Rosminah melihat anak muda itu sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan gelisah.“Mal?” sapa Ros dengan ramah.Malik membalikkan tubuhnya dan menata Rosminah dengan gugup.“Selamat siang, Tante. Maaf, saya tidak mengantar Isha tadi karena saya tidak tahu kalau dia kurang enak badan,” kata Malik dengan canggung.Rosinah tersenyum.“Bisa Tante bicara sebentar, Mal?” tanya Ros.Deg!Laki-laki itu menatap Rosminah dengan canggung. Jantung Malik berdetak lebih keras kini. Malik merasa seolah akan dihakimi dengan permintaan Rosminah kali ini. Apakah Isha sudah mengatakan semua kesalahpahaman ini?“Bisa, Tant. Di sini?&r