Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.
Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.
“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.
“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.
“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.
Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.
“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.
“Bekal makan siang. Kemarin aku bilang sama Ibu kalau bahwa pulangnya agak sore. Jadi Ibu menyiapkan bekal 2 kotak. Satu untuk aku, satu lagi buat Abang.” Isha menatap Malik.
“Untukku?” Malik bertanya bingung.
“Iya. Mungkin sebagai pengganti karena Abang udah janji mau jagain aku.” Isha dengan senyum lebar.
Malik tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku terima. Hanya saja, tak seharusnya tante Rosminah repot membuat ini untukku. Aku bisa makan di kantin kalau lapar,” ujar Malik.
“Mana aku tahu? Itu kemauan Ibu. Oh, ya. Nanti kalau makan siang di kantin boleh, kan?” Isha menatap Malik dengan sorot mata menggemaskan.
Malik tersenyum. Mengapa gadis ini begitu menggemaskan?
“Tentu saja boleh. Kenapa memangnya?” tanya Malik.
“Takutnya karena bawa bekal sendiri nggak boleh makan di sana.” Isha dengan logis.
“Nanti aku temani kamu kalau kamu belum terbiasa ke sana.” Malik menjanjikan untuk menemani Isha.
“Boleh. Nanti aku tunggu abang di lorong menuju ke kantin, ya?” pinta Isha dengan polosnya.
Sudah barang tentu Malik akan menyetujui apapun keinginan Isha. Apalagi ini hanya makan bersama. Malik tak mungkin menolaknya.
“Tunggu aku di lorong menuju kantin. Jangan kemana-mana kalau aku belum datang. Oke?” Malik memberi pesan sebelum Isha mengangguk dan meninggalkan area parkir menuju ke kelasnya.
Malik hanya tersenyum menatap kotak bekal yang dipegangnya itu. Lelaki tampan itu menggeleng heran.
“Sudah SMA kok masih bawa bekal.” Malik bergumam lirih saat meninggalkan area parkir dengan senyum geli.
***
Ketika akhirnya memasuki kelas setelah selesai upacara, seorang gadis teman sekelas Isha datang menghampiri. Isha kali ini duduk di deretan bangku paling depan karena hanya itu yang tersedia.
“Hei?” Risna, gadis manis berambut panjang itu menyapa Isha.
Isha menoleh dan tersenyum. “Hei” Isha membalas sapaan gadis itu.
“Boleh aku duduk di bangku ini?” tanya Risna.
Isha mengangguk. “Boleh. Memang kebetulan belum ada yang menempati,” jawab Isha.
Risna mengangguk kemudian duduk di bangku sebelah Isha.
“Ish, aku tadi melihat kamu saat tiba di sekolah tadi,” ujar Risna memulai percakapan dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh yang lain.
“Oh, ya? Kok kamu nggak menyapa aku?” tanya Isha balik.
Tiba-tiba Risna tersenyum dengan wajah merona membuat Isha heran.
“Aku malu,” jawab Risna.
Isha mengerutkan keningnya kemudian bertanya, “Malu? Malu sama siapa?”
Risna melihat ke sekeliling untuk melihat apakah ada yang mendengar percakapan mereka. Namun setelah dirasa aman, Risna mendekat dan berkata dengan suara rendah.
“Malu sama yang boncengin kamu tadi,” jawab Risna dengan wajah merah merona membuat Isha tertawa.
“Yang boncengin aku? Maksudmu bang Malik?” tanya Isha masih dengan mulut tersenyum tanpa suara.
“Jadi yang boncengin kamu itu namanya kak Malik?” tanya Risna masih dengan suara lirih.
Isha mengangguk.
“Maaf, ya. Aku … aku nggak bermaksud ngomongin pacar kamu, Ish. Maaf,” ucap Risna dengan khawatir karena mengira bahwa Malik adalah pacar Isha.
“Pacar? Pacar apaan?” tanya Isha heran.
“Kak Malik bukannya pacarmu?” tanya Risna heran.
Spontan Isha tertawa mendengar pertanyaan Risna.
“Ngaco! Bang Malik itu bukan pacarku. Lagian aku nggak boleh pacaran dulu sama ibuku sebelum aku lulus kuliah dan bekerja,” jawab Isha jujur.
Dan memang seperti itulah dogma yang ditanamkan oleh Rosminah terhadap Isha. Kecukupan materi seharusnya tak membuai Isha bisa dengan mudah melewati hidupnya tanpa perjuangan. Tidak! Baik Ridwan maupun Rosminah tetap menanamkan nilai kemandirian dalam jiwa Isha. Mereka tak mau Isha tumbuh menjadi perempuan yang hanya mengandalkan harta orang tuanya, sehingga tidak heran jika Isha tetap harus belajar dengan baik jika ingin nilai yang bagus.
Tentu tuntutan ini tidak serta merta dilepas begitu saja. Karena untuk tuntutan ini, Ridwan dan Rosminah memberikan fasilitas maksimal kepada Isha untuk belajar.
“Begitu, ya? Jadi kak Malik itu ada hubungan apa sama kamu? Kakakmu? Atau saudaramu?” tanya Risna semakin penasaran dengan status mereka berdua yang terlihat sangat dekat bahkan semenjak pendaftaran. Karena memang tanpa sengaja Risna melihat Malik yang tampan —sehingga laki-laki itu jauh lebih menonjol dibandingkan dengan siswa yang lain— itu sedang mengantar Isha mendaftar dan mengurus administrasi.
“Bang Malik itu temanku semenjak kecil. Kami selalu bersama kalau sekolah. Kami tetanggaan meski agak jauh. Tapi masih satu kampung dan keluarga kami sudah kayak saudara. Kenapa kamu nanyain bang Malik? Kamu naksir, ya, sama dia?” tebak Isha sambil tersenyum penuh arti.
“Sssttt … jangan keras-keras. Nanti teman-teman pada dengar takutnya jadi masalah,” ujar Risna sambil meletakkan telunjuknya di bibir untuk membuat Isha agar tidak terlalu keras membahas masalah ini.
Isha hanya mengangguk namun tak bisa menghentikan tawanya.
“Baiklah. Kalau kamu naksir, aku pasti akan sampaikan salammu buat bang Malik,” ujar Isha penuh janji.
“Benarkah?” tanya Risna dengan mata berbinar.
Isha mengangguk ikut senang. Namun wajah Risna yang penuh dengan binar itu tiba-tiba meredup dan berubah menjadi murung, membuat Isha bertanya-tanya.
“Ada apa, Ris?” tanya Isha.
“Tapi … apakah itu tidak memalukan? Seorang perempuan yang naksir laki-laki lebih dulu?” tanya Risna dengan menatap wajah Isha dengan sorot mata sendu.
“Mengapa harus malu? Jangan khawatir, nanti aku ada janji untuk makan siang bersama di kantin. Apakah kamu mau bergabung?” tanya Isha.
Risna spontan menggeleng.
“Tidak! Tidak. Aku … aku belum cukup berani untuk melakukannya,” jawab Risna dengan gugup.
“Baiklah kalau kamu tidak mau. Tapi kalau kamu mau berkirim salam, pasti aku sampaikan sama bang Malik,” ujar Isha.
Risna tersenyum lebar.
“Terima kasih, ya, Sha? Kamu baik,” ujar Risna yang terlalu bahagia karena akhirnya menemukan jalan untuk mendekati Malik.
***
Jam istirahat telah tiba. Sebagaimana yang dijanjikan, Isha bergegas menuju ke kantin yang melewati sebuah lorong panjang nan asri. Kantin yang berada di belakang sekolahan itu cukup besar. Sepertinya memang dibangun untuk menampung banyaknya murid yang kemungkinan melewatkan jam istirahatnya secara bersamaan.
Isha duduk dengan gelisah di bangku panjang yang ada di sisi kiri dan kanan koridor menuju kantin itu. Lalu lalang siswa dan siswi yang melalui lorong itu nyaris sebagian besar melihat ke arah isha yang duduk dengan gelisah karena menunggu Malik. Beberapa kali Isha melihat ke arloji yang dipakainya itu untuk memastikan bahwa seharusnya Malik sudah sampai di tempat mereka janji mau bertemu.
Isha hampir saja putus asa ketika akhirnya dari arah deretan kelas, muncul sosok Malik yang berjalan bergegas menuju ke arahnya. Tangan laki-laki itu memegang kotak bekal dengan sedikit kikuk karena tak pernah membawa bekal selama sekolah. Kalaupun pernah, itu adalah dulu ketika masih duduk di tingkat taman kanak-kanak. Jadi tak heran jika Malik terlihat canggung.
“Hei, Sha. Maaf, Abang lama,” ujar Malik dengan napas sedikit ngos-ngosan karena berjalan dengan tergesa. Apalagi ketika dilihatnya wajah Isha sudah cemberut.
“Kok lama, sih?” tanya Isha dengan wajah kesal.
“Hei, ini bukan kemauan Abang. Abang maunya cepat, tapi guru kelamaan ngasih materinya,” jawab Malik.
Isha cemberut. Dan Malik selalu hapal dengan tabiat Isha yang seringkali terlihat manja, seperti apa yang dikatakan ibunya.
“Hei, adik Abang yang manis mana boleh cemberut? Nanti hilang cantiknya. Yuk, ke kantin. Abang sudah lapar,” ajak Malik sambil mengacak lembut rambut Isha.
Meskipun cemberut, namun Isha ikut juga dengan Malik. Mereka tak menyadari ada tiga orang siswa yang memperhatikan mereka bertiga dengan penuh tanya.
***
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Beberapa menit sebelumnya ….Rendra dan dua teman sejawatnya itu sedang duduk di kursi kantin ketika dia melihat Isha dan Malik berjalan beriringan memasuki kantin dengan membawa bekal makanan yang dibawa oleh Isha. Rendra terus mengawasi dengan matanya yang tajam itu.“Apakah menurutmu mereka itu memang benar-benar hanya berteman?” tanya Rendra pada Heri dan Doni.Kedua teman Rendra itu mengikuti arah pandang Rendra, kemudian sama-sama menggeleng.“Mana ada teman yang makan berdua setiap hari?” komentar Heri.Doni mengangguk setuju.“Masih obsesi sama gadis itu, Ren?” tanya Doni menoleh ke arah Rendra yang masih menatap ke arah Isha dan Malik yang asyik berbincang dan membuat yang melihatnya menjadi panas dingin karena mereka terlalu manis.Mendapat pertanyaan seperti itu Rendra tersenyum.
Meninggalkan kantin dengan hati dongkol, sebenarnya Malik ingin pergi ke kelas Isha untuk memberinya penghiburan. Akan tetapi terkendala karena bel yang ternyata sudah berbunyi sehingga Malik mengurungkan niatnya mencari Isha ke kelasnya. Malik sadar, bahwa peristiwa di kantin tadi sangat memalukan bagi Isha, meskipun bukan sebuah kesengajaan dan bukan pula kesalahan Malik.Akan tetapi bukankah Isha selalu tak bisa mengalah dan memaklumi? Malik khawatir Isha akan menyalahkan dirinya yang menempelkan bibirnya pada pipi Isha. Tanpa sadar Malik meraba bibirnya yang berkedut ringan.Entah mengapa senyumnya muncul seiring dengan jantungnya yang menggelepar ketika ingat peristiwa tadi. Apakah dia bahagia dengan kecelakaan tadi?“Mengapa tersenyum sendiri? Senang, ya, habis mencium cewek di kantin?” tanya Andi yang bertanya dengan suara rendah.Spontan Malik menoleh, menatap Andi dan menyadari b
Malik terhenyak mendengar permintaan yang Isha ucapkan dengan wajah marah itu. Tentu saja dia tak bisa kalau tidak membawa Isha pulang bersamanya. Dengan siapa dia pulang nanti? Bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Rosminah bertanya?“Tidak!” tolak Malik dengan menggeleng tegas.Isha mengerutkan keningnya.“Tidak? Mengapa harus tidak?” tanya Isha marah.“Memangnya kamu mau pulang sama siapa?” Malik sedikit kesal dengan sifat keras kepala Isha yang mulai muncul kembali.“Aku banyak teman. Aku bisa minta antar mereka,” jawab Isha kesal.“Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Bagaimana kalau nanti tante Ros bertanya mengapa tidak pulang sama aku?” tanya Malik khawatir.“Aku yang akan menjelaskannya sama ibu. Tapi mulai nanti, dan seterusnya, Ab
Dengan langkah tergesa, Rosminah keluar untuk menemui Malik. Meski belum terlihat siapa dia, akan tetapi Ros yakin bahwa ini adalah Malik. Ketika sampai di pintu, Rosminah melihat anak muda itu sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan gelisah.“Mal?” sapa Ros dengan ramah.Malik membalikkan tubuhnya dan menata Rosminah dengan gugup.“Selamat siang, Tante. Maaf, saya tidak mengantar Isha tadi karena saya tidak tahu kalau dia kurang enak badan,” kata Malik dengan canggung.Rosinah tersenyum.“Bisa Tante bicara sebentar, Mal?” tanya Ros.Deg!Laki-laki itu menatap Rosminah dengan canggung. Jantung Malik berdetak lebih keras kini. Malik merasa seolah akan dihakimi dengan permintaan Rosminah kali ini. Apakah Isha sudah mengatakan semua kesalahpahaman ini?“Bisa, Tant. Di sini?&r
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.