Dengan langkah tergesa, Rosminah keluar untuk menemui Malik. Meski belum terlihat siapa dia, akan tetapi Ros yakin bahwa ini adalah Malik. Ketika sampai di pintu, Rosminah melihat anak muda itu sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan gelisah.
“Mal?” sapa Ros dengan ramah.
Malik membalikkan tubuhnya dan menata Rosminah dengan gugup.
“Selamat siang, Tante. Maaf, saya tidak mengantar Isha tadi karena saya tidak tahu kalau dia kurang enak badan,” kata Malik dengan canggung.
Rosinah tersenyum.
“Bisa Tante bicara sebentar, Mal?” tanya Ros.
Deg!
Laki-laki itu menatap Rosminah dengan canggung. Jantung Malik berdetak lebih keras kini. Malik merasa seolah akan dihakimi dengan permintaan Rosminah kali ini. Apakah Isha sudah mengatakan semua kesalahpahaman ini?
“Bisa, Tant. Di sini?&r
Mendengar pertanyaan Rosminah, Malik menatap perempuan itu dengan wajah lesu, kemudian menggeleng.“Dia tidak mau memaafkan saya, Tante.” Malik menjawab lesu.“Tante minta maaf, ya, Mal. Anak ini memang sedikit keras kepala.” Rosminah meminta maaf pada Malik.“Tidak perlu minta maaf, Tante. Mungkin memang saya yang tidak pandai menjaga perasaannya. Jadi … saya yang harus meminta maaf sama Tante dan juga om Ridwan karena mulai besok saya tidak menjemput Isha lagi. Dia tak mau saya menjemputnya, Tante. Saya minta maaf,” ujar Malik mengangguk canggung.“Astaga, Mal. Ini bukan salah kamu. Tante yang harusnya minta maaf karena selama ini sudah merepotkan kamu dengan menjemput Isha setiap hari.” Rosminah merasa tak enak hati.“Tidak apa-apa, Tante. Saya merasa tidak direpotkan. Kalau begitu saya permisi, Tante,” pungkas Malik kemudian bergegas keluar dari rumah Isha, meninggalkan Rosminah yang bingung.Perempuan itu kemudian bergegas menuju ke kamar Isha. Sampai di sana dilihatnya anak gadi
Semenjak hari itu memang Malik tak berani menjemput Isha lagi ketika berangkat sekolah. Namun dia selalu memantau gadis itu dari jauh. Bahkan berangkat sekolah pun Malik memilih berada di belakang Isha dalam jarak yang terpantau aman. Sejak itu pula Isha memberanikan diri ke sekolah menggunakan sepeda motor sendiri.Awalnya pak Ridwan mendesak Isha mengapa tidak dijemput Malik lagi.“Mengapa tidak dijemput Malik lagi? Kalian berantem?” tanya Ridwan ketika Isha meminta izin bapaknya untuk mengendarai sepeda motor sendiri ke sekolah.“Dia sudah kelas tiga, Pak. Sudah mulai sibuk dengan beberapa les dan jam tambahan,” jawab Isha berbohong.“Benar begitu, Bu?” tanya Ridwan menatap Rosminah yang sejak tadi menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sengaja agar tidak terlibat dengan pembahasan mengenai hal ini.“Iya paling, Pak.” Rosminah tak mau memperpanjang masalah karena dia tahu bahwa Ridwan pasti akan menyalahkannya yang terlalu memanjakan Isha sehingga Isha menjadi keras kepala dan tidak
Semenjak datang ke kantin pada jam istirahat ini, Isha dan Risna duduk makan siang bersama. Namun setiap kali berbincang, Isha melihat Risna tidak memberikan respon yang cepat. Gadis di depannya itu seperti melamun dan banyak pikiran. Bahkan beberapa kali Isha memergoki Risna menatap ke arah belakang mereka duduk dengan pandangan terluka.“Ris? Kayaknya sejak tadi kamu risau?” tanya Isha.Risna yang terkejut karena tak menyangka akan diperhatikan sedemikian intens oleh Isha jadi menggeleng dengan senyum sedikit gugup.“Tak ada,” jawab Risna berbohong.Lalu Isha menoleh ke belakang, ke arah Risna menatap berkali-kali tadi. Dan entah mengapa hati Isha sedikit berdesir ketika di sana dia melihat Malik dan Bayu yang sedang makan bersama. Isha juga melihat mereka berbincang dengan akrab, bahkan keduanya tertawa riang. Terlihat sangat dekat.Seketika Isha kembali mengalihkan pandangannya dengan raut wajah tak sedap. Jantungnya berdebar tiba-tiba, bahkan wajahnya memerah.‘Dasar laki-laki me
Bugh!!Rendra yang mengepalkan tangannya memukul Malik tepat di hidungnya, membuat Malik tersungkur dengan mata yang berkunang-kunang dan rasa pengar di hidungnya. Malik bangkit dan meraba hidungnya yang terasa basah. Jeritan pengunjung lain membuat malik sadar bahwa dia sudah berdarah, sementara di depannya, Rendra tersenyum sinis menatapnya.Malik mengusap darah yang mengalir di hidungnya dengan punggung tangannya. Para pengunjung kantin ribut hendak melerai. Para gadis yang kebetulan sedang berada di tempat itu terlihat gemuruh dan menjerit ngeri.Belum lagi ada yang melerai, Malik yang sejak tadi sudah geram dan mengepalkan tangannya, kini tiba-tiba dia maju dan membalas Rendra dengan pukulan yang sama bahkan sepertinya lebih keras dari pukulan yang diberikannya pada Malik.“Hei! Apa-apaan ini?” gertak Heri dan Doni melotot pada Malik.Malik hanya tersenyum
Beberapa saat sebelumnya ….Jam pelajaran terakhir adalah saat paling resah bagi Isha setelah perkelahian di kantin tadi. Dia tak nyaman sama sekali. Meskipun dia tidak dipanggil untuk menghadap ke ruang konseling, akan tetapi Isha jelas merasa bahwa dialah penyebab utama perkelahian itu.“Ada berita nggak di grup kalian?” bisik Isha pada Risna.Tentu saja Isha harus sedikit berbisik karena pelajaran sedang berlangsung. Meskipun mereka kali ini hanya menyalin, akan tetapi jelas bukan saat yang tepat untuk mengobrolkan masalah tadi.Risna menoleh, menatap Isha lalu menggeleng.“Coba buka ponselmu, Ris,” pinta Isha dengan gelisah.Risna yang tahu kekhawatiran Isha akhirnya membuka ponselnya, terutama ke grup chat yang berisi gadis-gadis penggemar Malik.“Astaga!” gumam Risna dengan terkejut.
“Waalaikumsalam,” jawab Aminah yang kemudian menjabat tangan Malik yang mendekat padanya.“Ada tamu rupanya,” ujar Malik menatap Isha sekilas.Isha lantas tersenyum canggung.“Iya, ini tadi Isha nyariin kamu. Eh, kenapa pakai masker?” tanya Aminah heran.Malik dan Isha bertatapan mata dengan sama terkejutnya. Malik berharap bahwa Isha tidak menceritakan apapun pada ibunya mengenai peristiwa tadi. Gelengan kecil Isha cukup membuat Malik lega.“Udara panas berdebu, Bu. Lagian musim pandemi juga, kan?” ujar Malik beralasan.“Oh, iya. Memang sedang tidak sehat cuaca dunia belakangan ini,” sahut Aminah dengan lugunya.“Isha ke sini mau ada kepentingan?” tanya Malik menatap Isha yang sejak tadi duduk dengan canggung.Nada bicara Malik masih ramah, seola
“Terima kasih sudah mau bicara empat masa sama aku, Bang. Semoga Abang tidak ada berantem lagi di sekolah, apapun penyebabnya,” ujar Isha ketika mengantar Malik kembali ke rumahnya.Malik tersenyum manis dan mengangguk. Dan Isha tahu, senyum itu hanya sebuah kamuflase untuk menutupi keresahan hatinya.“Kamu juga belajar yang baik.” Hanya itu pesan yang diberikan oleh Malik.“Oke, aku pulang dulu,” pamit Isha dengan berat hati.Malik mengangguk dengan pesan pasaran, “Ya. Hati-hati di jalan.”Isha mengangguk dan melarikan motornya untuk pulang. Mengendarai motornya dengan kecepatan rendah, hati Isha resah.“Bagaimana, Sha?” tanya Rosminah begitu melihat Isha pulang dengan wajah sedikit masam.“Apanya yang bagaimana, Bu?” tanya Isha yang langsung menuju ke
Entah mengapa Isha merasa sangat terganggu dengan dugaan Risna bahwa dia cemburu atas kedekatan Malik dengan Bayu. Padahal jelas-jelas mereka tidak memiliki hubungan khusus selain hanya teman. Itupun jika mereka masih bisa berteman karena nyatanya Malik memang menjauhi dirinya. Namun konyolnya, Isha semakin lama semakin ingin tahu semua hal mengenai Malik.Untung saja ada Risna yang meski awalnya dia naksir Malik, akan tetapi belakangan dia memutuskan untuk mengagumi saja, tak hendak meraih laki-laki itu untuk menjadi kekasih hatinya karena rintangan yang harus dihadapinya terlalu berat jika dia nekat menerjang untuk mendekati Malik secara intens.“Kabarnya kak Malik dan Bayu benar-benar jadian, Sha,” kata Risna dengan suara pelan setengah putus asa ketika pagi tadi dia membaca kabar di grup chatnya.Spontan Isha menatap Risna.“Nggak heran. Bukannya mereka memang selalu
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be
Jujur, Malik kali ini memang merasa sangat cemburu dengan laki-laki yang ada di kamar rawat inap Rendra tadi sore. Malik sama sekali tak menduga bahwa yang membuat Isha demikian kolap dan marah serta sedih ternyata adalah Murad, bukannya Rendra.“Murad? Pacarmu di masa lalu itu?” tanya Malik ragu.Namun, anggukan Isha berhasil mengikis keraguan Malik. Kecemburuan Malik semakin menjadi kini.“Ada apa dengan Murad? Apakah dia menghubungi kamu? Mencarimu?” tanya Malik dengan bodohnya.“Tidak. Tapi dia ada di kota ini sekarang,” jawab Isha murung.“Ada di kota ini? Bagaimana kamu tahu kalau dia tidak menghubungimu?” Malik masih juga tak mengerti.“Karena aku melihatnya, Bang.”Malik semakin terpana mendengar jawaban Isha kali ini.“Melihatnya? Dimana?” Malik tersenyum, mencoba menganggap bahwa jawaban Isha hanya omong kosong belaka.“Di rumah sakit, di ruang rawat inap Rendra tadi sore.”Jleb!Jawaban Isha spontan membuat Malik semakin terkejut.“Di kamar Rendra? Apakah … apakah dia laki-
Isha sudah tidur sejak lepas isya tadi ketika Malik keluar dari kamar untuk ngobrol dengan Ridwan. Sepertinya sudah agak lama mereka tidak berbincang karena belakangan memang Malik dan Isha jarang pulang.“Tumben pulang bukan hari libur, Mal?” tanya Pak Ridwan yang sedang menikmati secangkir kopi hitam ditemani Rosminah.Malik tersenyum.“Iya, Pak. Belakangan Isha sering malas kalau diajak pulang. Katanya belum rindu sama rumah,” jawab Malik dengan senyum kecil.“Memang anak itu, ya?” gerutu Aminah membuat Pak Ridwan tersenyum.“Eh, Mal. Ibu lihat tadi dia sepertinya murung? Ada sesuatu, Mal? Apa kalian sedang bertengkar?” tanya Rosminah ketika tadi dia melihat wajah Isha sedikit murung ketika mereka tiba.Malik terkejut mendengar pertanyaan itu. Ya, memang diakui bahwa Isha sedikit murung karena memang tadi menangis di rumah sakit. Setahu Malik, karena dia melihat Rendra yang mungkin menimbulkan rasa marah dalam hatinya. Tapi tak mungkin Malik mengatakan hal ini karena ini menyangkut
Tanpa kata, Isha yang gemetar dan jantung yang berdetak kencang oleh amarah sekaligus kecewa dan sakit hati, dia bergegas meninggalkan ruang rawat inap dimana Rendra dirawat. Malik yang kebingungan dengan sikap Isha, bergegas meninggalkan ruangan itu untuk mengejar Isha.“Sha! Isha tunggu, Isha!” panggil Malik yang kemudian berlari untuk menjangkau Isha yang seolah tak mempedulikan panggilan Malik.Ketika akhirnya Malik bisa menjangkau tangan Isha, dia memaksa Isha berhenti. Namun, saat Malik melihat raut muka Isha yang berlumur air mata, runtuh sudah hati Malik. Rasa bersalahnya menjadi-jadi karena merasa sudah membuat Isha bersedih, meskipun dia belum tahu apa yang membuat istrinya itu sedih.“Hei, Sayang? Ada apa? Mengapa pergi dan menangis?” tanya Malik dengan lembut sambil mengusap air mata di pipi Isha.“Aku mau pulang,” jawab Isha tak peduli bahwa mereka bahkan belum menjenguk Rendra.“Nggak jadi menjenguk Rendra?” tanya Malik masih dengan lembut.Isha mengangguk dan menunduk.