Malam usai perhelatan itu, suasana di rumah keluarga Ridwan mulai lengang. Segala aktivitas hajat yang beberapa hari ini berlangsung riuh, mulai berkurang. Para pekerja pelaminan dan dekorasi juga sudah mulai melepas pelaminan dan segala temannya. Petugas catering dan petugas kebersihan juga bekerja dengan sigap.
Beberapa saudara yang datang dari luar desa luar kota satu per satu mulai meninggalkan rumah Ridwan setelah ikut memeriahkan pernikahan Isha tadi siang. Hanya tinggal Malik dan Isha yang kini sah menjadi istrinya, juga Ridwan dan Rosminah serta dua orang pembantu yang membereskan rumah ini.
Malam menjelang isya, Ridwan memanggil Malik yang hendak mengambil air wudhu.
“Bisa kita bicara sebentar, Mal?” tanya Ridwan.
Malik menatap Ridwan, berpikir sejenak kemudian mengangguk.
“Bisa, Om. Sekarang?” tanya Malik dengan santun.
Ridwan tersenyum mendengar Malik masih memanggilnya dengan sebutan om, sebagaimana dulu anak itu memanggilnya dengan sebutan yang sama.
“Mengapa harus memanggil dengan sebutan om, Mal? Bukankah kita sudah menjadi keluarga? Kamu sudah menjadi suami Isha. Itu artinya kamu sudah menjadi anakku, dan aku menjadi ayahmu. Mungkin mulai sekarang kamu harus membiasakan memanggil om dengan panggilan ayah,” kata Ridwan masih dengan senyum leganya.
Malik tersenyum kikuk.
“Maaf, Yah. Mungkin hanya belum terbiasa saja,” Malik mengangguk canggung.
“Ya … aku tahu.”
“Ayah mau bicara sekarang?” tanya Malik melanjutkan percakapan yang terputus tadi.
Ridwan tersenyum.
“Sebenarnya iya. Kamu mau apa sekarang?” tanya Ridwan ketika dilihatnya Malik sepertinya mau ke belakang.
“Saya mau sholat isya dulu tadi rencananya.” Malik menjawab jujur.
“Ya, sudah. Kamu sholat dulu. Nanti kalau selesai, temui Ayah di ruang tamu. Ada yang harus Ayah bicarakan sama kamu, sebagai sesama laki-laki,” ujar Ridwan dengan serius.
“Baik, Yah. Saya sholat dulu,” pamit Malik hendak berlalu.
“Jangan lupa ajak Isha sekalian, Mal,” perintah Ridwan.
Malik tersenyum dan mengangguk, “Baik, Yah.”
Setelah Malik meninggalkannya, Ridwan lantas berjalan ke arah ruang tamu yang sudah dirapikan kembali. Pandangan mata Ridwan mengarah ke halaman yang masih terang benderang. Ada kelegaan luar biasa yang tergambar di wajah Ridwan ketika semua sudah selesai dengan baik, meski tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Setidaknya Ridwan mensyukuri keberadaan Malik yang datang tepat waktu untuk menyelamatkan muka keluarga ini.
Sejujurnya Ridwan tak habis pikir, apa yang membuat Malik demikian nekat bersedia menikahi Isha, padahal jelas-jelas Isha tidak mencintainya. Bahkan yang Ridwan tahu, hubungan persahabatan mereka yang dulu baik itu memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini.
Namun, apapun motif Malik menikahi Isha, Ridwan hanya ingin agar tidak ada niat buruk di hati Malik atas Isha.
“Mau kopi, Pak?” Rosminah yang tiba-tiba datang itu bertanya pada Ridwan.
Ridwan menoleh dan menatap Rosminah.
“Nanti saja menunggu Malik. Ada yang ingin aku bicarakan dengan dia,” jawab Ridwan.
“Memangnya Bapak mau bicara apa dengan Malik?” tanya Rosminah dengan sabar sambil duduk di sisi Ridwan.
Sejenak Ridwan terdiam, tetapi kemudian menatap istrinya.
“Bagaimanapun aku harus berterima kasih atas apa yang sudah Malik lakukan untuk kita, untuk Isha, dan untuk keluarga kita. Kalau Malik tak maju, mungkin malam ini kita tidak bisa tidur nyenyak memikirkan rasa malu yang harus ditanggung keluarga kita, Ros,” kata Ridwan.
Rosminah mengangguk mengerti.
***
Sementara di kamar pengantin ….
Isha sedang tiduran di atas kasur yang sudah disusun sedemikian manis, dengan baju panjang dan juga celana panjang. Tangannya terus memegang ponsel untuk berselancar kesana kemari, mencari informasi tentang keberadaan Murad karena Isha masih belum terima dengan semua ini. Jangan berpikir bahwa malam pernikahan mereka akan diwarnai hal-hal erotis atau yang berbau panas, karena Isha tidak mungkin melakukannya pada Malik. Jikapun dia melakukannya, itu bukan dengan Malik, melainkan dengan Murad.
“Sha? Sudah waktunya sholat isya. Mau jamaah?” tanya Malik dengan sabar.
“Abang duluan saja. Aku nanti,” jawab Isha dengan nada malas menanggapi.
“Melaksanakan shalat di awal waktu lebih baik, Sha,” lanjut Malik tak mau menyerah.
Kesal, Isha bangkit dan menatap Malik dengan sorot mata kesal penuh kebencian.
“Abang nggak dengar? Aku bilang shalatnya nanti. Kenapa maksa, sih?” tanya Isha tak kalah sengit dari sebelumnya.
Malik tersenyum.
“Abang nggak memaksa, Sha. Abang hanya menawarkan untuk berjamaah,” Malik berkata dengan sangat sabar.
Isha terdiam tak menjawab meski masih merasakan kesal.
Malik lantas mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajibannya, sementara Isha masih saya berkutat dengan ponselnya. Sesungguhnya Isha sedang melakukan kompromi dengan hatinya, dengan kehidupannya yang tiba-tiba berubah tanpa bisa dikendalikan lagi.
Padahal kemarin dia masih berhubungan dan chatting dengan Murad, saling mengabarkan satu sama lain. Akan tetapi ketika dini hari Isha terbangun dan mencoba menghubungi lelaki itu, kontaknya sama sekali tak bisa dihubungi. Tak juga mengangkat panggilan yang berulang kali dia lakukan.
Dan sekarang?
Tiba-tiba saja dia menjadi istri Malik. Laki-laki teman bermainnya yang dulu baik akan tetapi kemudian mempermalukan dirinya di sekolahan ketika itu, sehingga Isha benar-benar membenci Malik. Hingga sekarang.
Dan sialnya, ketika Murad tidak hadir pada malam pernikahan mereka, Malik menyerahkan diri bagai penyakit yang membuat Isha semakin kesal. Mengapa harus Malik yang menjadi suaminya? Mengapa Murad tak datang padahal ini adalah hari yang mereka impikan bersama semenjak mereka menjalin hubungan.
Dalam diam air mata Isha menetes. Menangisi hidupnya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya selama ini. Menangisi cintanya yang harus kandas di tengah jalan. Menangisi dirinya yang terpaksa menjadi istri Malik tanpa cinta, hanya demi menjaga nama baik keluarga ini agar tidak terlalu didera rasa malu.
Malik usai sholat isya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Mal? Isha? Ayah menunggu di ruang tengah.” Rosminah memanggil di depan pintu.
Malik dan Isha saling menatap, tak tahu siapa yang harus menjawab.
“Ya, Bu. Kami segera ke sana,” jawab Isha akhirnya.
“Jangan lama-lama,” pesan Rosminah.
Malik melepas sarung yang dikenakannya dan melipatnya. Sajadah yang tadi digelarnya juga digulung dengan rapi.
“Sebaiknya kita keluar bersama, agar tidak menimbulkan kecurigaan mereka.” Malik memberi saran.
“Memangnya mengapa kalau mereka curiga? Toh, ayah dan ibu tahu, kan, mengapa dan untuk apa pernikahan ini berlangsung?” Isha malah bersikap ketus, membuat Malik memilih untuk diam.
Dia tahu Isha sedang dalam kondisi tidak stabil. Jika Malik ikut terbawa arus emosinya, maka semua usahanya hari ini akan sia-sia belaka.
“Kita keluar sekarang? Ayah dan ibu sudah menunggu.” Malik mengulangi kalimat ajakannya.
Meski dengan ekspresi yang sangat tak sedap dilihat, tetapi Isha akhirnya keluar juga. Dia berjalan mendahului Malik, sementara Malik mengekor di belakangnya. Tak ada sedikitpun amarah yang muncul di hati Malik dengan sikap Isha kali ini. Sebisa mungkin dia akan memaklumi apapun yang Isha lakukan, karena Malik tahu, ini semua terlalu berat untuk Isha tanggung sendiri. Sekarang, Isha adalah istrinya dan dia berkewajiban memberikan kenyamanan pada perempuan itu. Apalagi situasi sedang tidak baik-baik saja di awal pernikahan tak terencana ini.
“Ayah memanggil kami?” tanya Isha ketika dia dan Malik tiba di ruang tengah.
Di sana Ridwan dan Rosminah sudah menunggu. Dua cangkir kopi juga sudah Rosinah buat untuk Malik dan Ridwan.
“Ya. Duduklah. Ayah ingin bicara dengan kalian berdua,” jawab Ridwan.
Isha mendahului duduk dengan wajah cemberut, sementara Malik menyusul duduk di sebelahnya. Akan tetapi Isha segera beringsut menjauh ketika dirasanya Malik duduk terlalu dekat. Ridwan menatap sikap Isha ini dengan perasaan tak nyaman, merasa tak enak hati dengan Malik.
“Malik, Isha … kali ini Ayah mau bicara baik-baik dengan kalian berdua.” Ridwan mengawali pembicaraan ini dengan kalimat bijak, sementara Rosinah hanya duduk mendengarkan.
Isha dan Malik menunduk, siap mendengarkan apa yang akan Ridwan katakan pada mereka berdua.
“Kita semua tahu, bahwa apa yang hari ini terjadi tidak mudah untuk kita terima dengan lapang dada. Ayah minta maaf padamu, Isha. Jika tadi pagi Ayah sampai marah sama kamu. Karena ini sungguh membuat kita semua shock. Dan kepadamu, Malik, Ayah ucapkan beribu terima kasih karena kamu sudah bersedia menyelamatkan kami dari ancaman rasa malu dan dipermalukan dengan terang-terangan seperti ini tadi.” Ridwan menatap Malik yang hanya mengangguk.
“Saya hanya melakukan apa yang sekiranya bisa saya lakukan, Yah.” Malik menjawab santun, tetapi ekspresi Isha jelas mencibir jawaban Malik.
Ridwan menghela napas panjang.
“Kalian sudah saling mengenal satu sama lain. Ayah rasa tidak sulit bagi kalian untuk saling beradaptasi satu sama lain untuk menjaga agar pernikahan ini tetap terjaga sampai maut memisahkan kalian. Karena bagi Ayah, pantang menikah dua kali. Jadi Ayah harap padamu, Isha, agar kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Malik. Dan kamu, Malik, bisa menjadi suami yang baik untuk Isha. Kamu tahu bagaimana kerasnya sifat anak kami ini. Kami hanya berharap, kamu membimbingnya dengan penuh kedewasaan. Ini amanah Ayah yang harus kamu laksanakan dengan baik, Mal.” Ridwan memberikan nasehat panjang lebar.
Malik mengangguk.
“Dan kamu, Isha. Mulailah bersikap dewasa. Kamu harus memperlakukan Malik dengan baik sebagaimana layaknya seorang istri memperlakukan suaminya. Berterima kasihlah karena nama baikmu tertolong dengan kesediaannya menikahi kamu.” Ridwan menatap Isha.
“Insya Allah saya akan menjaga dan membimbing Isha dengan baik, Yah,” jawab Malik sambil tangannya meraih paksa tangan Isha dan menggenggamnya dengan kuat, seolah meyakinkan Ridwan bahwa mereka akan baik-baik saja.
Dan Isha terkejut dengan sikap Malik yang sok mesra seperti ini. Tubuhnya bagai tersengat aliran listrik sehingga tanpa sadar dia terhenyak karena sentuhan tangan Malik.
***
Kalau saja kali ini Isha tidak berada di depan ayah dan ibunya, sudah pasti dia akan menarik tangannya dari genggaman Malik yang sepertinya mengambil kesempatan malam ini. Akan tetapi Isha tidak ingin menambah masalah sehingga kemarahan ayahnya yang siang tadi mencapai puncaknya akan tersulut kembali.“Aku senang kamu bersedia melakukannya, Mal. Satu yang harus kamu ingat, bahwa Isha adalah anakku satu-satunya. Meskipun kamu sudah menolong kami agar terhindar dari rasa malu dan dipermalukan, akan tetapi itu bukan alasan untuk kamu bisa berbuat semena-mena kepada Isha.” Ridwan mengakhiri nasehatnya.“Pasti, Yah. Saya pasti akan mencintai Isha dengan sepenuh hati. Dan akan menjaga sesuai amanah Ayah serta Ibu,” jawab Malik yang semakin mengeratkan genggamannya.Kini, tangan yang satunya malah ikut mengeratkan genggamannya, membuat Isha semakin geram. Namun, sekali lagi Isha tak mungkin menepis tangan Malik, hingga akhirnya Isha memilih diam. Hanya sesekali dia mengangguk seolah menyetuj
Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.“Keman
Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.“Be
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa
Dan begitulah keseharian mereka. Kedekatan yang memang mirip seperti saudara. Namun belakangan Malik seperti berubah dan gamang dengan perasaannya sendiri semenjak Andi mengatakan bahwa dia menyukai Isha. Tak dipungkiri bahwa Isha memang cantik. Sejak masih di sekolah dasar juga memang dia cantik. Sehingga tidak heran jika dulu, ketika Isha masih duduk di bangku SMP, sering kali dia bilang pada Malik kalau dia menerima surat cinta dari teman sekolahnya. Dan Malik selalu menjadi redaktur utama tempat Isha mengadu jika menerima surat cinta.Tentu saja Isha hanya berani bilang kepada Malik karena ayah dan ibunya tidak mengizinkannya pacaran di usia remajanya. Sebagaimana umumnya gadis remaja, Isha akan berwajah galak ketika bertemu dengan mereka yang tidak disukainya dan mereka malah mengirimkan surat cintanya. Demikian juga dengan Isha. Meski beberapa kali Malik menasehati agar tetap berteman dengan mereka, tetapi tetap saja Isha bersikeras tak mau ramah.“Apa di antara mereka ad ayang
Beberapa menit sebelumnya ….Rendra dan dua teman sejawatnya itu sedang duduk di kursi kantin ketika dia melihat Isha dan Malik berjalan beriringan memasuki kantin dengan membawa bekal makanan yang dibawa oleh Isha. Rendra terus mengawasi dengan matanya yang tajam itu.“Apakah menurutmu mereka itu memang benar-benar hanya berteman?” tanya Rendra pada Heri dan Doni.Kedua teman Rendra itu mengikuti arah pandang Rendra, kemudian sama-sama menggeleng.“Mana ada teman yang makan berdua setiap hari?” komentar Heri.Doni mengangguk setuju.“Masih obsesi sama gadis itu, Ren?” tanya Doni menoleh ke arah Rendra yang masih menatap ke arah Isha dan Malik yang asyik berbincang dan membuat yang melihatnya menjadi panas dingin karena mereka terlalu manis.Mendapat pertanyaan seperti itu Rendra tersenyum.