“Tidak!” Isha berdiri dari duduknya, menentang keinginan Malik untuk menikahinya. Bagaimana mungkin dia tiba-tiba menikah dengan Malik, teman yang kemudian menjadi orang yang paling Isha benci?
Ridwan menoleh, menatap Isha dengan sorot mata tajam.
“Isha! Kemarin kamu sudah tidak mendengarkan Bapak mengenai laki-laki yang kamu inginkan menjadi suamimu. Dan sekarang, ketika ada yang berbaik hati menyelamatkan keluarga kita dari rasa malu akibat lelaki pilihanmu itu kamu masih keras kepala? Atau mungkin kamu memang berniat mempermalukan keluarga kita?” tanya Ridwan dengan sorot mata tajam.
“Pak, sabar. Ini bisa kita bicarakan dengan baik-baik,” kata Rosminah mencoba mencegah adanya perselisihan antara suami dan anaknya itu.
“Tapi, Pak? Isha nggak suka sama dia. Bagaimana mungkin tiba-tiba menikah dengan dia?” tanya Isha dengan suara tinggi.
Ridwan tersenyum masam, sementara kedua orang tua Malik hanya menunggu dengan bimbang akan langkah yang diambil Malik.
“Lalu apa kabar lelaki yang kamu bilang kamu cintai dan mencintai kamu itu? Apa yang dia berikan pada keluarga kita selain rasa malu?” hardik Ridwan hampir kehilangan kesabaran.
“Tenang, Om. Saya hanya ingin membantu agar keluarga ini tidak malu. Kalau Isha tidak berkenan, saya juga tidak bisa memaksa. Maaf,” ujar Malik dengan santun kemudian berniat meninggalkan ruangan itu.
Sejenak Isha diliputi kebimbangan. Menerima niat baik lelaki yang tak disukainya itu, apapun tendensinya, atau menolak yang akan membuat dirinya serta keluarganya menanggung malu.
“Tunggu!” Tiba-tiba Isha berseru, membuat Malik menghentikan langkahnya dan menoleh pada perempuan cantik yang kini semakin cantik karena dirias sedemikian sempurna.
“Kamu memanggilku?” tanya Malik dengan wajah datar.
Semua orang yang ada di ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan drama siaran langsung yang mendebarkan.
Isha mengangguk. “Bisa kita bicara berdua?” tanya Isha dengan wajah datar,
Malik sedikit bingung tapi kemudian mengangguk.
“Aku ingin bicara berdua saja sama Abang,” pinta Isha dengan wajah datar sendu.
Meski sedikit bingung, tapi Malik memilih mengangguk.
“Ikut saya ke kamar,” ajak Isha dengan suara dingin kemudian mendahului berjalan memasuki kamarnya yang berada agak belakang dari ruang tengah itu.
Malik menoleh ke arah orang tuanya, seolah menenangkan mereka agar tidak khawatir. Kemudian menoleh ke arah Ridwan dan Rosminah.
“Maaf, Om, Tante. Boleh saya bicara berdua dengan Isha?” tanya Malik dengan santun.
Tentu saja Malik tak ingin terlihat terlalu berani berada di dalam kamar dengan perempuan yang bahkan calon istri laki-laki lain.
Ridwan mengangguk. “Bicaralah, Malik. Aku sudah pusing mengatasi anak itu!” ujar Ridwan masih dengan aura marah hingga Rosminah harus kembali menenangkan suaminya.
“Terima kasih, Om, Saya menemui Isha dulu,” ujar Malik yang kemudian menyusul langkah Isha memasuki kamar untuk berbincang.
Seluruh keluarga yang ada di ruangan itu terdiam, seolah hanyut dalam pikiran mereka. Rosminah kemudian mendekati Aiman dan Aminah untuk bicara secara dewasa mengenai Malik yang tiba-tiba menjadi penolong dalam kasus hari ini.
Sementara itu, Malik melangkah lebar menuju ke kamar Isha yang sudah tertutup. Dengan pelan Malik mengetuk pintunya.
“Bisa aku masuk, Sha?” tanya Malik pelan.
Tak menunggu lama, pintu kamar terbuka dan wajah Isha terlihat demikian muram sekaligus kesal pada Malik.
Laki-laki tinggi itu berjalan pelan memasuki kamar Isha yang sudah dirapikan sedemikian rupa karena memang ini kamar yang dipersiapkan untuk pengantin baru. Malik mengedarkan pandangannya sekilas, dan hatinya miris ketika membayangkan bahwa persiapan ini nyaris berantakan karena ketidakhadiran Murad pada hari H pernikahannya dengan Isha.
“Jadi apa maksud Abang tiba-tiba muncul dalam kekacauan ini? Mau jadi pahlawan kesiangan? Atau untuk menertawakan saya yang gagal menikah?” tanya Isha yang langsung pada pokok permasalahan mereka kali ini.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Malik hanya tersenyum. Gadis ini masih saja tak berubah. Selalu blak-blakan bahkan cenderung ketus. Namun begitu, Malik sama sekali tidak marah. Mana mungkin dia bisa marah pada gadis yang sudah menguasai hatinya semenjak mereka remaja kecil itu?
“Mengapa kamu selalu berpikir buruk sama aku, Sha? Aku tidak ada maksud untuk menertawakan kamu, apalagi menjadi pahlawan kesiangan. Aku hanya ingin sedikit membantu agar kamu tidak gagal menikah dan keluargamu kecewa. Kalau kamu tidak berkenan, aku tidak akan memaksa apapun, Sha.” Malik memberikan penjelasan dengan gamblang.
“Kamu yakin hanya ingin membantu? Sepertinya kamu sedang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan dari situasiku. Sebagaimana dulu kamu mengambil kesempatan untuk menciumku dengan alasan didorong temanmu!” kata Isha dengan muka memerah karena masih saja dendam dengan peristiwa beberapa tahun yang lalu itu.
Malik tersenyum tenang.
“Untuk waktu itu aku benar-benar tidak sengaja. Mereka mendorongku. Jadi aku berterima kasih karena hari ini kamu memberiku kesempatan untuk meminta maaf atas apa yang terjadi bertahun lalu itu,” jawab malik datar.
“Aku sudah melupakannya!” ujar Isha ketus.
“Terima kasih, Sha.” Malik menjawab penuh rasa syukur karena akhirnya dia bisa meminta maaf atas kesalahpahaman mereka dulu secara langsung kali ini.
“Lalu bagaimana kalau aku menolak pertolongan yang kamu ulurkan?” tanya Isha.
Gadis itu sengaja berkata dengan ketus, berharap bahwa dengan begini Malik akan mundur dan mengurungkan niatnya. Tapi sepertinya Isha salah, karena Malik sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap Isha. Laki-laki tampan itu hanya tersenyum sambil membenahi kacamatanya.
“Aku hanya ingin membantu. Kalau kamu tidak berkenan aku juga tidak akan memaksa. Keputusan sepenuhnya ada di tangan kamu,” jawab Malik dengan tenang.
“Kalau aku menerima?” tanya Isha masih dengan ekspresi kesal.
“Ya, berarti kamu jadi istriku, dan aku sah menjadi suami kamu. Simple, kan?” Malik menjawab santai masih tetap dengan senyum lembut.
“Lalu bagaimana jika suatu hari nanti ternyata Murad datang?” Isha sengaja menyuguhkan kemungkinan kecil yang masih Isha harapkan itu.
Awalnya Malik terkejut karena tak menyangka bahwa Isha akan memberinya pertanyaan seperti itu. Kemudian Malik tahu bahwa Isha memang sengaja memberinya banyak hal yang bisa menyulut emosinya dan mungkin juga Isha berharap bahwa Malik akan mengurungkan niatnya menikahi Isha.
“Ya, kalau dia datang, dia masih mencintai kamu dan kamu juga masih mencintainya, aku akan menceraikan kamu. Aku tak mungkin menjadi penghalang dua orang yang masih saling mencintai untuk bersatu. Aku akan salah jika melakukannya,” jawab Adam dengan tenang, meskipun hatinya perih saat mengatakan hal ini.
Tapi sepedih apapun, itu tak lagi penting sekarang. Karena yang menjadi prioritas Adam saat ini adalah bagaimana mencegah Isha dipermalukan, dan juga keluarga ini juga tidak dipermalukan. Malik tak akan mungkin tega membiarkan Isha menanggung malu karena pernikahannya gagal.
Mendengar jawaban Malik, Isha terdiam dan tampak berpikir.
“Aku tidak akan memaksamu, Sha. Mendapat kesempatan untuk meminta maaf saja aku sudah senang. Kamu sudah dewasa, sudah bisa memutuskan mana yang sekiranya bisa kamu pertanggung jawabkan,” ujar Malik dengan tenang.
“Kamu yakin akan menceraikan aku jika suatu saat Murad datang dan ingin kembali padaku?” tanya Isha dengan suara yang mulai melunak.
Malik tersenyum meski hatinya perih.
“Ya, aku yakin akan melalukannya selama itu untuk kebahagiaan kamu,” jawab Malik penuh keyakinan.
Sejenak Isha bimbang. Menerima niat baik Malik adalah dilema karena dia sungguh tidak suka dengan laki-laki yang meskipun tampan ini, namun dulu sudah menodai persahabatan mereka dengan berani mengatakan cinta padanya.
“Cha? Malik? Sudah selesai bicara?” Seseorang bertanya sambil mengetuk pintu kamar Isha yang tertutup rapat itu.
Isha dan Malik saling pandang.
“Sudah, Bu,” jawab Isha lantang, mengabaikan rasa khawatir, stress, kecewa dan mungkin juga stress karena ketidakhadiran Murad hari ini.
Malik menatap Isha dengan penuh tanya, karena sepertinya percakapan ini belum menemui titik temu. Tapi Isha malah menjawab bahwa percakapan mereka sudah selesai. Malik hanya terdiam, tak ingin bertanya atau berkonfrontasi apapun. Semua ini hak Isha.
Isha berjalan menuju ke pintu untuk membukanya. Di sana, terlihat Rosminah yang menatap keduanya dengan wajah gusar.
“Bagaimana?” tanya Rosminah dengan suara rendah. Namun jelas perempuan itu tak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.
Isha menatap Malik sekilas, kemudian menatap Rosminah sebelum akhirnya mengangguk mantap.
“Ya, saya bersedia menikah dengan Malik.”
Deg!
Giliran jantung Malik yang bagai dihantam palu godam.
***
Mendengar jawaban Isha, Rosminah terkejut. Bagaimana mungkin anak gadisnya yang terkenal keras kepala itu begitu saja menerima pernikahan yang ditawarkan Malik? Meskipun ini mungkin hanya untuk menghindari rasa malu yang jelas akan terjadi jika memang benar-benar gagal, tapi Rosminah benar-benar tak menyangka Isha akan semudah itu bilang setuju.Rosminah menatap Malik yang sepertinya juga shock dengan jawaban Isha. Namun demikian, Malik kemudian mengangguk tipis pada Rosminah untuk menegaskan bahwa mereka berdua benar-benar sepakat untuk menikah. Meskipun sejujurnya belum terlalu sepakat karena jelas Isha terpaksa menjalani pernikahan ini.Rosminah tersenyum lega. Tangisnya seketika luruh melihat kesanggupan Isha menikah dengan Malik, meskipun Rosminah tahu bahwa Isha tak menyukai Malik. Setidaknya Isha menyelamatkan keluarga ini dari rasa malu karena kegagalan pernikahan yang perhelatannya sudah akan digelar itu.“Segeralah bersiap, Nak. Penghulu sudah menunggu terlalu lama,” ujar Ro
Malam usai perhelatan itu, suasana di rumah keluarga Ridwan mulai lengang. Segala aktivitas hajat yang beberapa hari ini berlangsung riuh, mulai berkurang. Para pekerja pelaminan dan dekorasi juga sudah mulai melepas pelaminan dan segala temannya. Petugas catering dan petugas kebersihan juga bekerja dengan sigap.Beberapa saudara yang datang dari luar desa luar kota satu per satu mulai meninggalkan rumah Ridwan setelah ikut memeriahkan pernikahan Isha tadi siang. Hanya tinggal Malik dan Isha yang kini sah menjadi istrinya, juga Ridwan dan Rosminah serta dua orang pembantu yang membereskan rumah ini.Malam menjelang isya, Ridwan memanggil Malik yang hendak mengambil air wudhu.“Bisa kita bicara sebentar, Mal?” tanya Ridwan.Malik menatap Ridwan, berpikir sejenak kemudian mengangguk.“Bisa, Om. Sekarang?” tanya Malik dengan santun.Ridwan tersenyum mendengar Malik masih memanggilnya dengan sebutan om, sebagaimana dulu anak itu memanggilnya dengan sebutan yang sama.“Mengapa harus memang
Kalau saja kali ini Isha tidak berada di depan ayah dan ibunya, sudah pasti dia akan menarik tangannya dari genggaman Malik yang sepertinya mengambil kesempatan malam ini. Akan tetapi Isha tidak ingin menambah masalah sehingga kemarahan ayahnya yang siang tadi mencapai puncaknya akan tersulut kembali.“Aku senang kamu bersedia melakukannya, Mal. Satu yang harus kamu ingat, bahwa Isha adalah anakku satu-satunya. Meskipun kamu sudah menolong kami agar terhindar dari rasa malu dan dipermalukan, akan tetapi itu bukan alasan untuk kamu bisa berbuat semena-mena kepada Isha.” Ridwan mengakhiri nasehatnya.“Pasti, Yah. Saya pasti akan mencintai Isha dengan sepenuh hati. Dan akan menjaga sesuai amanah Ayah serta Ibu,” jawab Malik yang semakin mengeratkan genggamannya.Kini, tangan yang satunya malah ikut mengeratkan genggamannya, membuat Isha semakin geram. Namun, sekali lagi Isha tak mungkin menepis tangan Malik, hingga akhirnya Isha memilih diam. Hanya sesekali dia mengangguk seolah menyetuj
Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.“Keman
Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.” Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.“Be
Memasuki pintu kantin, spontan Malik dan Isha menjadi pusat perhatian karena baru kali ini Malik datang dengan seorang perempuan yang sepertinya begitu akrab. Yang membuat pemandangan semakin aneh adalah ketika Malik membawa kotak bekal makanan. Beberapa pasang mata yang melihat mereka sebagian besar heran melihat Malik yang selama ini terkenal tidak begitu dekat dengan perempuan, kini datang ke kantin bersama seorang gadis —siswa baru yang cantik— bahkan membawa bekal makan siang.Meskipun ini membuat Malik canggung, akan tetapi dia sudah berjanji pada Rosminah untuk menjaga Isha agar dia tetap nyaman di sekolahan. Pun yang pasti, Malik tak mau ada seorangpun yang mengganggu Isha, karena desas desus hasil ospek kemarin menyebutkan bahwa ada salah satu siswi baru yang menjadi incaran para teman sekolahnya.Meskipun mereka tidak menyebutkan bahwa nama gadis yang mereka incar itu adalah Isha, akan tetapi firasat Malik sudah tak nyaman. Karena beberapa kali Malik mendengar nama Isha dis
Melihat Isha menatapnya dengan tatapan terkejut, Rendra —siswa yang memulai bicara dengan kalimat tak menyenangkan itu— seketika takjub saat matanya bersirobok pandang dengan mata bulat bening milik Isha. Ada kejernihan yang mempesona yang terpancar dari bening mata Isha yang justru menatap galak dan meradang ke arahnya. Anehnya lagi, sikap Isha justru berbanding terbalik dengan sikap para gadis di sekolahan ini.Jika siswi lain jelas akan terpesona dan bahkan sebagian lainnya mungkin histeris ketika Rendra mendekat, akan tetapi tidak demikian dengan Isha. Gadis muda polos dengan sikapnya yang cuek bahkan cenderung galak itu malah menatap Rendra tanpa ekspresi apapun. Bagaimana mungkin Rendra tidak akan terkejut?“Iya! Aku Isha! Memangnya kenapa kalau aku Syalaisha?” tanya Isha dengan mendongak, menatap garang ke manik mata Rendra.Melihat gelagat tak baik ini, Malik berdiri dan menatap Rendra yang tingginya sama dengan dirinya itu.“Gent, dia adalah Isha. Adikku. Jadi kalau ada sesua
Malik terlanjur dihantui oleh perasaannya sendiri mengenai keselamatan Isha. Mungkin terlalu berlebihan jika Malik berpikiran mengenai keselamatan karena secara umum jelas tidak ada yang mengancam keselamatan Isha. Akan tetapi Malik tahu betul siapa dan bagaimana Rendra.Maka ketika jam kelasnya berakhir, dia segera bergegas menuju ke depan kelas Isha yang letaknya agak jauh dari kelasnya itu. Meskipun mereka berada di dalam kompleks gedung yang sama, akan tetapi jarak kelas mereka lumayan jauh karena memang Isha masih baru masuk kelas satu sementara Malik dan Rendra sudah kelas tiga.Maka disinilah Malik kini, duduk di bangku yang ada di depan kelas Isha seperti orang bodoh. Yang menyebalkan adalah entah mengapa guru kelas Isha siang ini tidak segera menyudahi pelajaran padahal bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu.Akan tetapi menjaga Isha sudah hampir menjadi kewajiban bagi Malik, semenjak mereka masih anak ingusan. Apalagi peristiwa di kantin tadi kembali membayang di kepa