Ji Hwan melongo. Ekspresinya tampak menggelikan hingga membuat Amara diam-diam menahan senyum. Tebakan Amara, cowok itu tidak menyangka akan mendengarnya bicara cukup panjang. Ini pasti menjadi semacam rekor baru dalam interaksi mereka berdua.
“Kamu mungkin nggak tau, tapi aku merasa bersalah karena udah ngebatalin janji secara sepihak. Aku bahkan udah bertingkah nggak sopan, kan? Seharusnya aku meneleponmu supaya kamu nggak menunggu-nunggu. Aku tau itu, tapi aku tetap aja nggak melakukannya.” Amara menunduk, kehilangan kata-kata. Dia sendiri cukup kaget karena bisa berbicara lumayan panjang meski tentu tak berarti banyak bagi Ji Hwan.
“Kalau kamu memang nggak mau makan malam denganku, bukan masalah, kok. Aku bisa mengerti,” kata Ji Hwan dengan suara rendah.
“Bukan begitu!” suara Amara agak kencang. Dia segera menyesali kecerobohannya saat menyadari beberapa pengunjung menatapnya seakan berkata “ini perpustakaan, bukan t
Sepanjang sisa siang itu, Amara diterpa kegugupan luar biasa yang coba disembunyikan setengah mati. Lututnya bergetar, membuat gadis itu tak sanggup berdiri lebih dari lima detak jantung. Telapak tangannya dibanjiri keringat yang seakan tidak bisa berhenti mengalir. Entah berapa kali dia mengusapkan tangannya di kaus yang dikenakan. Tremor di sana-sini.Setelah meninggalkan perpustakaan, Amara mulai merasa kacau. Andai bisa, betapa ingin gadis pingsan dan terbangun esok paginya saja. Sehingga bisa melewatkan malam itu. Sayangnya itu mustahil, kecuali dia menderita penyakit berbahaya yang memungkinkan kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama.Amara memilih berjalan kaki menuju kampusnya yang memang bersebelahan dengan perpustakaan. Kepalanya tertunduk sambil menendang kerikil kecil di tepi jalan. Ada banyak mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar Amara, tapi gadis itu tenggelam dalam dunianya sendiri.“Kamu kenapa? Apa enaknya melamun sambil jalan? Bis
“Kamu beneran nggak keberatan meneleponku tiap sepuluh menit?” Amara memastikan dengan tatapan tak percaya.“Tentu! Apa susahnya nelepon tiap sepuluh menit?” Sophie malah balik bertanya. Suara gadis itu melembut saat bicara lagi. “Kasih kesempatan untuk Ji Hwan, Mara. Juga kesempatan untuk dirimu sendiri. Bukan kesempatan yang aneh, cuma untuk ngedapetin teman baru. Jangan mikir terlalu jauh dulu, apalagi yang jelek-jelek. Aku percaya Ji Hwan orang yang baik. Pada dasarnya, ada lebih banyak orang baik di dunia ini, kok.”Amara ingin membantah. Cello adalah contoh nyata, sosok yang selama bertahun-tahun dianggapnya sebagai teman baik yang memiliki hati lurus. Namun akhirnya Amara memilih menelan kembali kata-katanya. Sophie benar, dia harus memberi kesempatan pada Ji Hwan dan dirinya sendiri. Minimal untuk saling kenal, berinteraksi lebih intens dibanding yang sudah terjadi. Apa pun yang terjadi di masa depan, dia akan mencari t
Tanpa terasa, tahu-tahu hari sudah merayap dalam kegelapan dan malam menjelang. Amara sudah rapi sejak pukul setengah tujuh. Dia nyaris menutup mata dan menahan napas saat meraih celana jeans dan kemeja putih dengan aksen kancing di bagian lengan. Amara tidak ingin berdandan heboh dan memberikan kesan yang keliru kepada Ji Hwan. Rapi dan nyaman adalah pilihan terbaik, setidaknya untuk saat itu.“Kamu mau keluar ya, Mara?” tanya Ika saat mengantarkan pakaian yang baru diambil dari laundry ke kamar Amara.“Iya, Mbak. Ada janji sama teman,” aku Amara. “Cowok,” suaranya melirih.“Wah, bagus kalau begitu. Memang udah saatnya kamu keluar bareng teman cowok,” sahut Ika santai. “Semoga semuanya lancar, ya.”“Makasih, Mbak,” sahut Amara, agak kikuk.“Jangan lupa pesannya Nef sebelum kamu balik ke sini. Bahwa kamu harus belajar menjalani hidup normal kayak dulu,&r
Berada di boncengan motor motor sport milik Ji Hwan membuat Amara tidak bisa menjaga jarak dari cowok itu. Posisi sadel yang miring sedemikian rupa mau tak mau memaksa tubuh gadis itu nyaris menempel di punggung Ji Hwan. Entah berapa kali Amara mencoba bergeser mundur dengan hati-hati.Mengapa saat pertama kali dibonceng oleh Ji Hwan dia tak sampai terganggu akan posisi sadel? Padahal ini motor yang sama yang digunakan Ji Hwan untuk mengantar Amara pulang tempo hari.Karena itu, Amara menarik napas luar biasa lega saat akhirnya Ji Hwan menghentikan motornya di sebuah area parkir yang luas. Ada dinding tinggi dengan tanaman rambat yang membuat Amara tidak bisa melihat bangunan yang berdiri di baliknya dengan leluasa. Dengan gerakan hati-hati, Amara turun dari boncengan.Di saat itu, ponselnya berbunyi. Amara merogoh kantong celana dan menahan diri untuk tidak mengumpat di depan Ji Hwan. Ada sembilan panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor ponsel S
Ups, Amara nyaris menepuk keningnya saat kata “menawan” melintas di benaknya. Namun gadis itu tidak sempat berlama-lama mengomeli diri sendiri karena perhatiannya tersedot oleh pemandangan yang tersaji. Ji Hwan tampak cekatan dan tidak canggung berhadapan dengan kompor dan peralatan masak. Pegawai restoran yang tadi menunjukkan arah, berada di sebelah cowok itu. Tampaknya si pegawai siap membantu jika Ji Hwan membutuhkan sesuatu.Entah berapa lama Amara berdiri mematung dengan tangan memeluk jaket harum milik Ji Hwan. Aroma parfum cowok itu yang mulai dikenali Amara pun mengendap di hidungnya. Hal itu membuat percakapannya dengan Sophie memenuhi benak Amara selama beberapa saat.“Omong-omong, kenapa selama ini aku nggak nyadar kalau Ji Hwan memakai parfum, ya? Kalau nanti ketemu dia lagi, aku akan mengendusnya.”Kini, Amara bisa mencium aroma yang identik dengan wangi yang menguar di mobilnya waktu itu, tanpa perlu mengendus deng
Amara tiba-tiba teringat apa yang terjadi di pintu masuk tadi. “Tadi kamu menunjukkan bukti pemesanan di ponsel, ya?” tebaknya.“He-eh. Tempat ini memang mengharuskan pengunjung untuk membuat reservasi dulu sebelum datang ke sini. Pengunjung juga harus milih menu sekalian. Kalau langsung nyelonong, udah pasti akan ditolak.”Amara tertawa geli. Lucu juga ternyata mendengar cowok berdarah setengah Korea mengucapkan kata ‘nyelonong”. Ji Hwan memang mampu bicara dalam bahasa Indonesia yang fasih meski bertahun-tahun menetap di Singapura. Meski ada aksen aneh yang terdeteksi di suaranya.“Ada yang lucu, ya?” tanya Ji Hwan, penasaran.Amara awalnya menggeleng tapi kemudian berubah pikiran. “Hmmm, jangan marah, ya. Aku cuma kadang merasa takjub karena kamu bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Padahal kamu lumayan lama ninggalin negara ini, kan?”Ji Hwan tersenyum maklum. “Oh, itu. karena m
Amara menutup mulut dengan tekad bulat, sehingga dia tidak akan menunjukkan ekspresi terkejut dengan bibir ternganga. Kian banyak kata-kata yang terlontar dari bibir Ji Hwan, kian terpana saja Amara karenanya. Suara ponsel kembali menginterupsi. Kali ini Amara memutuskan untuk menjawab. Sophie benar-benar menepati janji dengan ketepatan yang membuat takjub.“Mara, kamu di mana? Mama baru pulang dan satpam bilang kamu pergi bareng seorang cowok. Mama mau nanya Ika tapi dia lagi ke supermarket dan belum ketemu Mama. Nggak terjadi sesuatu, kan?” Suara cemas Merry langsung menusuk telinga Amara. Dia mengira Sophie yang menelepon sehingga tidak memerhatikan nama yang tertera di layar.“Sebentar, Ma,” pinta Amara. Dia pamit pada Ji Hwan dengan isyarat, beranjak dari kursi yang didudukinya dan agak menjauh dari meja makan.Suara ibunya dipenuhi kecemasan. Itu bukan hal yang aneh. Karena sejak kembali ke Jakarta, tak sekalipun Amara pernah mening
“Oh, syukurlah. Aku betul-betul hepi kalau kamu suka.” Ji Hwan bersandar seraya menarik napas lega. “Omong-omong, aku punya pengakuan, Mara.”“Apa?” Amara kembali menggigit hamburgernya. Dia benar-benar harus meralat opini tentang menu yang tadinya dianggap tidak menarik sama sekali. Mungkin karena makanan bernama hamburger itu bukan menu yang dianggapnya istimewa. Apalagi, Amara tak asing dengan santapan ini karena ayahnya sendiri membangun restoran hamburger.Amara menyukai hamburger tapi bukan dalam kadar luar biasa. Bahkan sejak kembali ke Jakarta, ini kali pertama dia kembali mencicipi menu itu. Meski selama ini sesekali Amara masih mengunjungi restoran keluarganya. Namun dia sudah lama tak menikmati menu utama yang disajikan di sana.“Tadi katanya punya pengakuan buatku,” cetus Amara setelah menyadari bahwa Ji Hwan tak juga angkat bicara.“Sejak menjemputmu tadi, dadaku rasanya hampir rontok. Aku
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih