Berada di boncengan motor motor sport milik Ji Hwan membuat Amara tidak bisa menjaga jarak dari cowok itu. Posisi sadel yang miring sedemikian rupa mau tak mau memaksa tubuh gadis itu nyaris menempel di punggung Ji Hwan. Entah berapa kali Amara mencoba bergeser mundur dengan hati-hati.
Mengapa saat pertama kali dibonceng oleh Ji Hwan dia tak sampai terganggu akan posisi sadel? Padahal ini motor yang sama yang digunakan Ji Hwan untuk mengantar Amara pulang tempo hari.
Karena itu, Amara menarik napas luar biasa lega saat akhirnya Ji Hwan menghentikan motornya di sebuah area parkir yang luas. Ada dinding tinggi dengan tanaman rambat yang membuat Amara tidak bisa melihat bangunan yang berdiri di baliknya dengan leluasa. Dengan gerakan hati-hati, Amara turun dari boncengan.
Di saat itu, ponselnya berbunyi. Amara merogoh kantong celana dan menahan diri untuk tidak mengumpat di depan Ji Hwan. Ada sembilan panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor ponsel S
Ups, Amara nyaris menepuk keningnya saat kata “menawan” melintas di benaknya. Namun gadis itu tidak sempat berlama-lama mengomeli diri sendiri karena perhatiannya tersedot oleh pemandangan yang tersaji. Ji Hwan tampak cekatan dan tidak canggung berhadapan dengan kompor dan peralatan masak. Pegawai restoran yang tadi menunjukkan arah, berada di sebelah cowok itu. Tampaknya si pegawai siap membantu jika Ji Hwan membutuhkan sesuatu.Entah berapa lama Amara berdiri mematung dengan tangan memeluk jaket harum milik Ji Hwan. Aroma parfum cowok itu yang mulai dikenali Amara pun mengendap di hidungnya. Hal itu membuat percakapannya dengan Sophie memenuhi benak Amara selama beberapa saat.“Omong-omong, kenapa selama ini aku nggak nyadar kalau Ji Hwan memakai parfum, ya? Kalau nanti ketemu dia lagi, aku akan mengendusnya.”Kini, Amara bisa mencium aroma yang identik dengan wangi yang menguar di mobilnya waktu itu, tanpa perlu mengendus deng
Amara tiba-tiba teringat apa yang terjadi di pintu masuk tadi. “Tadi kamu menunjukkan bukti pemesanan di ponsel, ya?” tebaknya.“He-eh. Tempat ini memang mengharuskan pengunjung untuk membuat reservasi dulu sebelum datang ke sini. Pengunjung juga harus milih menu sekalian. Kalau langsung nyelonong, udah pasti akan ditolak.”Amara tertawa geli. Lucu juga ternyata mendengar cowok berdarah setengah Korea mengucapkan kata ‘nyelonong”. Ji Hwan memang mampu bicara dalam bahasa Indonesia yang fasih meski bertahun-tahun menetap di Singapura. Meski ada aksen aneh yang terdeteksi di suaranya.“Ada yang lucu, ya?” tanya Ji Hwan, penasaran.Amara awalnya menggeleng tapi kemudian berubah pikiran. “Hmmm, jangan marah, ya. Aku cuma kadang merasa takjub karena kamu bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Padahal kamu lumayan lama ninggalin negara ini, kan?”Ji Hwan tersenyum maklum. “Oh, itu. karena m
Amara menutup mulut dengan tekad bulat, sehingga dia tidak akan menunjukkan ekspresi terkejut dengan bibir ternganga. Kian banyak kata-kata yang terlontar dari bibir Ji Hwan, kian terpana saja Amara karenanya. Suara ponsel kembali menginterupsi. Kali ini Amara memutuskan untuk menjawab. Sophie benar-benar menepati janji dengan ketepatan yang membuat takjub.“Mara, kamu di mana? Mama baru pulang dan satpam bilang kamu pergi bareng seorang cowok. Mama mau nanya Ika tapi dia lagi ke supermarket dan belum ketemu Mama. Nggak terjadi sesuatu, kan?” Suara cemas Merry langsung menusuk telinga Amara. Dia mengira Sophie yang menelepon sehingga tidak memerhatikan nama yang tertera di layar.“Sebentar, Ma,” pinta Amara. Dia pamit pada Ji Hwan dengan isyarat, beranjak dari kursi yang didudukinya dan agak menjauh dari meja makan.Suara ibunya dipenuhi kecemasan. Itu bukan hal yang aneh. Karena sejak kembali ke Jakarta, tak sekalipun Amara pernah mening
“Oh, syukurlah. Aku betul-betul hepi kalau kamu suka.” Ji Hwan bersandar seraya menarik napas lega. “Omong-omong, aku punya pengakuan, Mara.”“Apa?” Amara kembali menggigit hamburgernya. Dia benar-benar harus meralat opini tentang menu yang tadinya dianggap tidak menarik sama sekali. Mungkin karena makanan bernama hamburger itu bukan menu yang dianggapnya istimewa. Apalagi, Amara tak asing dengan santapan ini karena ayahnya sendiri membangun restoran hamburger.Amara menyukai hamburger tapi bukan dalam kadar luar biasa. Bahkan sejak kembali ke Jakarta, ini kali pertama dia kembali mencicipi menu itu. Meski selama ini sesekali Amara masih mengunjungi restoran keluarganya. Namun dia sudah lama tak menikmati menu utama yang disajikan di sana.“Tadi katanya punya pengakuan buatku,” cetus Amara setelah menyadari bahwa Ji Hwan tak juga angkat bicara.“Sejak menjemputmu tadi, dadaku rasanya hampir rontok. Aku
Ji Hwan tidak pernah merasakan kelegaan sekaligus rasa senang demikian besar hanya karena seseorang memuji masakannya. Yah, meski kali ini dia hanya memasak menu simpel yang bumbu-bumbunya sudah disiapkan dan tak membutuhkan keahlian khusus.Tanpa bermaksud sombong, Ji Hwan cukup tahu bahwa dirinya berbakat untuk urusan memasak. Entah berapa banyak teman dan keluarga yang menyarankan agar dia berkarier sebagai seorang chef profesional saja. Sayang, Ji Hwan jauh lebih tertarik untuk menekuni dunia komputer. Baginya, kemampuan memasak seseorang tak harus dijadikan sebagai pilihan karier. Karena bagi cowok itu, memasak hanya sekadar hobi belaka.“Aku senang banget kalau kamu suka, Mara,” ucapnya kemudian. Ji Hwan bukannya tidak menyadari ekspresi kaku yang tercetak di wajah Amara setelah gadis itu memberi pujian tadi. Akan tetapi, Ji Hwan memilih untuk berpura-pura tidak tahu saja. Tebakannya, Amara merasa tak nyaman karena bicara dengan lepas dan men
Amara menggeleng dengan bibir mengulas senyum. Ji Hwan memikirkan sesuatu yang mungkin berlebihan tapi tak kuasa untuk dilenyapkannya. Dia mulai yakin bahwa cahaya matahari pun bisa kalah menyilaukan jika dibanding dengan senyum cerah Amara yang merayap hingga ke matanya. Gadis itu begitu menawan jika saja tak berekspresi murung.“Sebelum Amara cuti kuliah, banyak cowok-cowok di fakultas kita yang naksir dia. Aku dengar cerita dari teman-teman, sih,” beri tahu Ronan beberapa bulan silam. “Tapi memang Amara nyantai banget. Nggak ada yang ditanggapi. Tapi setelah cuti, anaknya jadi beda banget. Nggak tau kenapa.”“Aku yakin sih, banyak cowok yang suka Amara,” kata Ji Hwan kala itu. “Tapi apa memang dulunya dia cewek yang santai? Nggak pendiam dan murung kayak sekarang?”“Aku kan cuma dengar cerita dari beberapa teman. Nggak tau jelasnya juga. Tapi Brisha kan memang udah temenan sama Amara lumayan lama. Brisha p
Ucapan Amara itu membuat Ji Hwan melongo. “Mengajak cewek? Astaga!” sergah Ji Hwan cepat. Cowok itu buru-buru menggeleng.“Itu apa maksudnya?” Amara tampak kebingungan. Ji Hwan segera menyadari bahwa kata-katanya tidak akan dimengerti dengan baik oleh si pendengar. Karena dia tidak menggunakan kalimat yang lengkap.“Maksudku, aku nggak pernah ngajak cewek lain ke sini atau ke restoran unik lainnya. Selama ini, aku bahkan nggak terpikir untuk melakukan hal kayak begini. Tapi tadi aku mendapat ide untuk mengajakmu ke tempat yang istimewa. Minimal, bisa jadi tempat yang akan kamu ingat dalam waktu lama. Tentunya dalam hal yang positif. Pokoknya, aku pengin bikin kamu hepi.”Wajah Amara tampak memerah. Bahkan di bawah sinar lampu yang tidak benderang pun Ji Hwan bisa melihat dengan jelas. Dia mulai berpikir apakah kata-katanya terlalu berlebihan? Cowok itu memaki dirinya sendiri yang gagal memilih kalimat netral. Di depan Amara, s
“Kamu juga melakukan hal yang sama. Maksudku, aku juga ingin mendengar ceritamu. Supaya impas,” ucap Amara.Ji Hwan mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia tak memiliki rahasia yang harus disimpan. Lagi pula, hidup Ji Hwan tidak pernah meleati hal-hal yang dramatis. Mungkin, gelombang paling tinggi dalam dunianya adalah saat orangtuanya bercerai. Karena itu, dia merespons dengan antusias. “Itu hal yang mudah banget, Mara. Jadi, tentu aja aku setuju. Asal nanti kamu nggak bosan aja dengar ceritaku. Eh, tapi kamu yang dapat giliran pertama, ya?”Amara menyesap minumannya sekali lagi sebelum mulai bercerita. Seakan ingin menenangkan kegugupan yang mungkin melandanya. Ji Hwan menunggu dengan kesabaran yang bahkan mengagetkan untuk dirinya sendiri.“Namaku Amara Izabel. Saat ini umurku baru dua puluh satu tahun. Aku cewek biasa yang tidak punya keterampilan mengesankan di bidang tertentu. Prestasi di sekolahku pun biasa aja. Aku punya du