Ji Hwan tersenyum, membuat Amara terkesima. Dia tidak mengira jika ajakannya bisa membuat mata cowok itu berbinar lembut. Kemuramannya agak menyusut. Dan fakta itu membuat Amara tidak mampu menghalau rasa girang yang melanda dadanya. Seketika dia melupakan semua perasaan sakit karena Ji Hwan seolah menghilang selama berhari-hari. Karena kini Amara tahu jawabannya. Dan dia percaya bahwa cowok itu tidak berdusta.
“Kamu atau aku yang nyetir?” tanya Ji Hwan. “Aku aja, ya?”
“Oke,” balas Amara pendek. Dia menyerahkan kunci mobil yang masih berada di tangan kanannya.
Gadis itu setengah memejamkan mata saat berbalik ke arah mobilnya. Dia takut akan berubah pikiran dan membuat keputusan yang bisa mengecewakan Ji Hwan. Entah kenapa, membayangkan bahwa dia akan membuat cowok itu bersusah hati malah menciptakan riak tidak nyaman yang membanjirinya.
“Apa kamu cukup hafal jalanan di sini, Ji Hwan?” tanya Amara seraya mema
Ji Hwan bersuara, “Kenapa harus berkali-kali minta maaf, Mara? Aku malah suka kalau kamu banyak bicara. Aku senang kalau kamu mau berbagi banyak hal.”Amara tersipu-sipu lagi. Entah kenapa. Dia bahkan tak kuasa membalas ucapan Ji Hwan. Gadis itu masih menunduk sembari menahan diri agar tak tersenyum lebar.“Makasih karena udah percaya sama aku. Maksudku, karena kamu udah berkenan cerita tentang dosenmu. Aku memang pengin tahu banyak hal tentang kamu, Mara.”Amara benci karena dia kesulitan bicara sebagai respons kata-kata Ji Hwan. Cemas dia malah lebih banyak melontarkan kalimat yang dungu, gadis itu memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Suara ponselnya yang menandakan pesan masuk, sempat menginterupsi. Namun Amara memilih untuk mengabaikannya. Sementara itu, mobil yang dikemudikan Ji Hwan itu pun mulai bergerak meninggalkan area parkir.“Mara, boleh aku minta satu hal?” tanya Ji Hwan tiba-tiba. Amara kembali
Gedung luar milik Griya Cokelat yang menjulang di depan mereka membuat Amara tidak sempat terlalu lama teraduk oleh perasaan tidak nyaman. Hati gadis itu terhibur melihat antusiasme yang ditunjukkan Ji Hwan. Setidaknya hari ini Amara berhasil mengusir kemuraman yang tadi dilihatnya di wajah cowok itu.Amara mengajak Ji Hwan menuju pabrik cokelat yang bisa dimasuki pengunjung. Seorang pemandu langsung menyambut keduanya dengan senyum lebar yang menyiratkan keramahan. Aroma cokelat menggantung di setiap sudut ruangan luas itu.Keduanya menyaksikan bagaimana para pekerja melakukan aktivitasnya untuk membuat aneka penganan berbahan dasar cokelat. Semua kudapan itu bisa didapat di kafe. Jika ingin, pengunjung bahkan bisa memesan ukuran dan bentuk makanan yang diinginkan secara khusus. Sayangnya, Griya Cokelat tidak melayani pembelian secara online. Semua pembeli harus datang ke gedung itu dan memilih sendiri yang mereka inginkan.“Mara, aku lapar,&rdqu
Ji Hwan tidak mampu menggambarkan kelegaan karena Amara tidak menepis tangannya. Barusan ada keberanian gila yang mendorongnya untuk menggenggam jemari langsing Amara. Bukannya Ji Hwan tidak cemas Amara akan memaki atau meninjunya. Atau minimal meninggalkannya sendiri di Griya Cokelat.Meski demikan, Ji Hwan tetap memberanikan diri melakukan aksi itu tanpa pikir panjang. Menurut cowok itu, dia harus mengambil risiko itu jika tidak ingin hubungan mereka cuma jalan di tempat. Dan melihat respons Amara, rasa bahagia yang membanjiri Ji Hwan itu terlalu sulit untuk diuraikan dengan kata-kata.“Dari ini, kamu mau ke mana lagi? Ada tempat lain yang ingin dituju?” tanya Ji Hwan. Cowok itu mengecek arlojinya. Saat itu sudah hampir pukul satu. “Perutku kenyang, tapi aku tetap ingin makan sesuatu yang agak pedas.”Amara tersenyum sembari menatap Ji Hwan. Mereka masih berjalan bersisian menuju area parkir, tempat mobil Amara terparkir. “S
Ji Hwan bukannya tidak gentar dengan perasaannya. Dia belum pernah berhadapan dengan emosi seintens ini. Entah kenapa, Amara begitu berbeda di matanya. Hati cowok itu pun yakin jika dia membutuhkan Amara. Seakan gadis itu menjadi kepingan pelengkap yang akan menyempurnakan sukmanya.Ah, mungkin itu kata-kata gombal yang terdengar murahan. Namun Ji Hwan tak peduli jika memang dianggap demikian. Karena nyatanya, Amara memang sepenting itu baginya. Gadis itu membuatnya merasai emosi yang tak pernah dikecapnya sebelum ini.Perasaan yang aneh dan tak mampu dienyahkan Ji Hwan begitu saja. Terutama setelah makan malam di Wonderful Treehouse malam itu. Melihat Amara bisa bersikap santai membuat perasaan Ji Hwan kian menggemuruh. Tawa dan senyum gadis itu mirip hadiah utama dari sebuah undian berisiko yang nekat diikutinya.“Memangnya di rumahmu sering masak menu Indonesia, ya? Maksudku, waktu kamu ada di Singapura?” tanya Amara lagi.“Iya. Asist
Ji Hwan berharap bahwa Amara tidak serius dengan ucapannya barusan. Awalnya, dia mengira jika gadis itu cuma bercanda. Namun akhirnya dia tahu bahwa Amara tidak sedang bergurau. Apalagi, gadis itu memberi penegasan kemudian.“Hmmm ... iya. Karena kamu kan ngilang begitu aja. Kukira, kamu udah menuntaskan rasa penasaranmu. Kamu udah tahu seperti apa rasanya makan malam denganku, gadis galak yang suka marah tanpa alasan jelas,” imbuh Amara dengan tatapan tertuju ke depan.Ji Hwan terperangah. Dia menoleh ke kiri dan mendapati siluet wajah Amara dengan ekspresi seriusnya. “Kamu kira seperti itu?” tanyanya tak percaya.Amara menggumamkan sesuatu yang ditangkap Ji Hwan sebagai “Iya, tentu saja”. Sekedip kemudian cowok itu tergelak kencang hingga menghabiskan waktu berdetik-detik. Cemas akan konsentrasinya yang terbelah, Ji Hwan akhirnya menepikan mobilnya. Ditatapnya Amara yang tampak serbasalah dengan wajah memerah maksimal.
“Mara, kamu masih mau makan malam denganku, kan? Nggak akan menolak kalau kuajak lagi?” tanya Ji Hwan tiba-tiba. Cowok itu berdeham pelan. “Aku minta maaf kalau kamu jadi merasa kurang nyaman. Entahlah, di dekatmu aku jadi rajin mengoceh nggak keruan. Tapi aku bisa meyakinkanmu kalau semua kata-kataku itu bukan sekadar omongan kosong yang tak ada artinya.”Amara tersenyum tipis karena tidak mampu melakukan yang lebih dari itu. “Aku sama sekali nggak merasa terganggu, kok. Karena aku pun sering ngoceh ngalor-ngidul nggak keruan. Jadi, kita berdua impas.”Tuh, tampaknya dia sudah mulai tertulari kebiasaan Ji Hwan yang bisa dengan lugas membicarakan perasaannya. Amara mulai yakin, dia pun tidak keberatan melakukan hal yang sama tiap berdekatan dengan cowok itu.Ji Hwan bergurau, “Makasih karena nggak nggak menganggapku sebagai orang aneh.”Kali ini, Amara tidak kuasa untuk menutup mulut tanpa protes. “Seh
Saat Ji Hwan menawari Amara untuk mendatangi toko yoghurt sebelum mereka menonton di bioskop, gadis itu langsung setuju. Amara baru tersadar kalau mereka belum pernah nonton berdua. Selama ini Ji Hwan mengajaknya mengunjungi restoran-restoran yang cukup unik. Atau yang memang menyediakan makanan dengan cita rasa luar biasa enak. Akan tetapi, Wonderful Treehouse tetap menjadi favorit Amara. Mereka sudah mengunjungi tempat itu hingga tiga kali.“Kamu betul-betul suka datang ke sini, ya? Aku pun sama. Cuma, mungkin alasan kita nggak akan sama persis,” komentar Ji Hwan saat terakhir kali mereka mendatangi Wonderful Treehouse. “Boleh tau alasan kenapa kamu suka datang ke sini, Mara?”Meski merasa jengah, Amara tetap menjawab. “Karena tempatnya istimewa.”Ji Hwan tersenyum. “Kalau aku, karena bisa datang ke sini bareng kamu. Karena kamu akhirnya mau makan malam denganku. Tapi, sejujurnya, aku punya tempat favorit lain. Bisa me
Ji Hwan tampak kaget mendengar pertanyaan itu. Pupil matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Wajahnya makin serius saat bicara sedetik kemudian. “Siapa bilang pendapatmu nggak penting? Penting banget, malah!”“Tapi,” Amara tersenyum patah, “keliatannya kamu memang nggak pengin tau gimana perasaanku yang sebenarnya. Apa....”Ji Hwan menukas, “Ah, kamu udah salah paham banget, Mara. Kenyataannya nggak kayak yang kamu pikirin itu.” Cowok itu melihat ke sekeliling. “Kurasa ini bukan tempat yang tepat untuk ngobrolin masalah kayak gini. Kita ke mobil aja, ya?”Amara akhirnya mengangguk. Menjelang akhir tahun seperti ini biasanya curah hujan cukup tinggi dan banyak tempat yang terendam banjir. Karena tidak ingin menghadapi risiko kehujanan, Amara meminta Ji Hwan meninggalkan motornya di rumah gadis itu. Berkendara dengan mobil jauh lebih aman.“Mara...” mulai Ji Hwan setelah mereka ber