“Mara, kamu masih mau makan malam denganku, kan? Nggak akan menolak kalau kuajak lagi?” tanya Ji Hwan tiba-tiba. Cowok itu berdeham pelan. “Aku minta maaf kalau kamu jadi merasa kurang nyaman. Entahlah, di dekatmu aku jadi rajin mengoceh nggak keruan. Tapi aku bisa meyakinkanmu kalau semua kata-kataku itu bukan sekadar omongan kosong yang tak ada artinya.”
Amara tersenyum tipis karena tidak mampu melakukan yang lebih dari itu. “Aku sama sekali nggak merasa terganggu, kok. Karena aku pun sering ngoceh ngalor-ngidul nggak keruan. Jadi, kita berdua impas.”
Tuh, tampaknya dia sudah mulai tertulari kebiasaan Ji Hwan yang bisa dengan lugas membicarakan perasaannya. Amara mulai yakin, dia pun tidak keberatan melakukan hal yang sama tiap berdekatan dengan cowok itu.
Ji Hwan bergurau, “Makasih karena nggak nggak menganggapku sebagai orang aneh.”
Kali ini, Amara tidak kuasa untuk menutup mulut tanpa protes. “Seh
Saat Ji Hwan menawari Amara untuk mendatangi toko yoghurt sebelum mereka menonton di bioskop, gadis itu langsung setuju. Amara baru tersadar kalau mereka belum pernah nonton berdua. Selama ini Ji Hwan mengajaknya mengunjungi restoran-restoran yang cukup unik. Atau yang memang menyediakan makanan dengan cita rasa luar biasa enak. Akan tetapi, Wonderful Treehouse tetap menjadi favorit Amara. Mereka sudah mengunjungi tempat itu hingga tiga kali.“Kamu betul-betul suka datang ke sini, ya? Aku pun sama. Cuma, mungkin alasan kita nggak akan sama persis,” komentar Ji Hwan saat terakhir kali mereka mendatangi Wonderful Treehouse. “Boleh tau alasan kenapa kamu suka datang ke sini, Mara?”Meski merasa jengah, Amara tetap menjawab. “Karena tempatnya istimewa.”Ji Hwan tersenyum. “Kalau aku, karena bisa datang ke sini bareng kamu. Karena kamu akhirnya mau makan malam denganku. Tapi, sejujurnya, aku punya tempat favorit lain. Bisa me
Ji Hwan tampak kaget mendengar pertanyaan itu. Pupil matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Wajahnya makin serius saat bicara sedetik kemudian. “Siapa bilang pendapatmu nggak penting? Penting banget, malah!”“Tapi,” Amara tersenyum patah, “keliatannya kamu memang nggak pengin tau gimana perasaanku yang sebenarnya. Apa....”Ji Hwan menukas, “Ah, kamu udah salah paham banget, Mara. Kenyataannya nggak kayak yang kamu pikirin itu.” Cowok itu melihat ke sekeliling. “Kurasa ini bukan tempat yang tepat untuk ngobrolin masalah kayak gini. Kita ke mobil aja, ya?”Amara akhirnya mengangguk. Menjelang akhir tahun seperti ini biasanya curah hujan cukup tinggi dan banyak tempat yang terendam banjir. Karena tidak ingin menghadapi risiko kehujanan, Amara meminta Ji Hwan meninggalkan motornya di rumah gadis itu. Berkendara dengan mobil jauh lebih aman.“Mara...” mulai Ji Hwan setelah mereka ber
Ji Hwan dan Amara saling menantang mata. Amara tak tahu cara menerjemahkan perasaan yang saat ini berlompatan di dadanya. “Amara, tadi aku udah bilang kalau aku ini orang yang egois, kan?” kata Ji Hwan tiba-tiba.Amara mengangguk, jantungnya mulai menggila lagi. Hingga dia mulai cemas jika jantungnya akan mengalami kerusakan fatal. “Kamu mau bilang apa? Jangan muter-muter dan malah bikin aku cemas setengah mati,” pintanya sungguh-sungguh.“Oke. Tapi ada syaratnya. Yaitu, jangan pernah mengira kalau aku cuma main-main sama kamu, ya?” Ji Hwan tampak sangat serius. “Ada perkembangan baru yang sampai saat ini belum kukasih tau sama kamu, Mara. Ada masalah serius. Sekarang ini, aku udah nggak suka sama kamu lagi.”Amara yakin jika wajahnya sangat pias saat itu. Dadanya terasa nyeri. “Tuh kan, berarti dugaanku selama ini memang benar,” katanya dengan suara bergelombang. “Aku nggak mau kalau
Apa pun reaksi Ji Hwan, Amara tidak mengira jika cowok itu malah memajukan tubuh dan menyeka air mata Amara dengan jari-jarinya yang panjang. Amara tidak berani menatap mata Ji Hwan, terlalu cemas jika dia akan mendapati sorot kekecewaan di sana. Namun, Amara tahu bahwa cowok itu berhak tahu tentang peristiwa buruk yang terjadi padanya.Meski gelap sudah menyelimuti Jakarta, lampu di halaman parkir toko yoghurt cukup membuat Amara bisa membaca ekspresi Ji Hwan. Karena kegentaran yang melanda hatinya, gadis itu memilih untuk memandangi dasbor.“Mara, apa kamu mau cerita gimana kejadiannya?” tanya Ji Hwan hati-hati.Telinga Amara menangkap suara Ji Hwan yang agak bergetar. Akhirnya gadis itu tidak punya pilihan kecuali memandang Ji Hwan. “Kamu nggak merasa jijik padaku, Ji Hwan?”“Kamu ini ngomong apa, sih?” suara Ji Hwan meninggi. Itu kali pertama Amara melihat cowok itu kalah oleh emosi. Selama ini Ji Hwan punya kemampu
Sejak berusaha memulihkan diri dari trauma yang dialaminya, Amara tidak pernah mengira jika suatu saat nanti dia akan memiliki kekasih seperti teman-teman sebayanya. Bagaimana bisa dia yang ketakutan setengah mati tiap kali mendapati ada kaum adam yang menatapnya lebih dari dua detik, mempunyai pacar? Itu sama sekali tak masuk akal. mimpi lama tentang menggandeng pasangan yang dicintainya sudah mati dari benak Amara.Hingga kemudian Ji Hwan masuk ke dalam hidup Amara. Setelah berbagai hal yang terjadi di antara mereka, di mata Amara, Ji Hwan adalah sosok cowok yang paling tepat untuk mendampinginya. Ji Hwan mungkin salah satu manusia paling sabar dan tenang yang pernah ditemui gadis itu. Sikap seperti itu sangat dibutuhkan Amara agar membuatnya lebih santai.“Makasih ya, Ji Hwan. Karena kamu mau terima aku apa adanya,” kata Amara. “Semoga kamu nggak nyesal nantinya.”“Hush! Kamu ngomong apaan, sih? Nggak ada yang namanya nyesal,&rdq
Brisha yang terlihat salah tingkah dan tak nyaman itu pun buru-buru membuat bantahan. “Bukan gitu, Sophie! Kalian jangan....”“Ah, ngake deh, Sha! Kami nggak akan tersinggung, kok!” Amara bersekongkol dengan Sophie.“Jadi, siapa cowok malang itu?” goda Sophie seraya memajukan tubuh. Isyarat bahwa dia sedang menunggu jawaban Brisha dengan serius. Amara pun melakukan hal yang sama. Sementara wajah Brisha memerah parah.“Hmmm, okelah. Dia memang cowok yang malang.” Brisha tampak malu. “Dia temanku di les Bahasa Jerman. Namanya Andaru. Nanti aku akan ngenalin dia sama kalian berdua, ya. Awas aja kalau kalian berani nge-bully dia.”“Aku dan Amara bukan tukang bully,” Sophie tak terima. “Si malang Andaru ini udah berapa lama jadi cowokmu, Sha? Apa kamu yakin sengaja nyembunyiin berita besar ini bukan karena dua sahabatmu masih jomlo?”Amara menengahi, ti
“Jangan mengomentari tampangnya!” Brisha memperingatkan. “Aku tau, dia nggak sekeren Ji Hwan. Tapi mau gimana lagi, aku jatuh cinta padanya.”Tawa Amara dan Sophie meledak lagi. Sementara Brisha tampak salah tingkah. Mungkin baru menyadari bahwa kata-katanya terdengar menggelikan.“Kamu itu ngomong apa, sih? Ji Hwan dan Andaru itu nggak bisa dibanding-bandingin, masing-masing punya kelebihan sendiri. Yang penting, kalian semua happy to the max,” sergah Sophie setelah tawanya reda. “Dan karena selama ini kamu udah merahasiakan dengan sengaja siapa pacarmu, kamu kudu dapat hukuman, Sha. Minimal kamu harus mentraktir kami berdua seminggu penuh. Berlaku mulai besok. Dilarang keras protes!” tandas Sophie.“Setuju. Dan nggak ada tawar-menawar,” imbuh Amara setia kawan.“Hei, mana bisa begitu!” protes Brisha. “Aku berhak dong merasa keberatan.”“Maaf ya, kam
Amara lega karena Reuben tak berkomentar apa pun. Hanya menyapa belaka. namun ternyata kelegaan Amara itu terlalu dini. Sebab, esok paginya, dia dicegat oleh Reuben saat baru keluar dari mobilnya. Amara tak mengira jika dia akan bertemu mantan dosennya di area parkir. Entah lelaki itu sengaja menunggunya atau tidak, Amara tak berani menuduh.“Kamu sekarang pacaran sama anak Fakultas Ilmu Komputer ya, Mara?” tanya Reuben blak-blakan. Amara terpana karena tak mengira Reuben akan mengajukan pertanyaan tanpa basa-basi itu.“Iya, Pak,” Amara membenarkan. Jujur adalah yang terbaik. Lagi pula, gadis itu tak melihat alasan mengapa dia harus menyembunyikan fakta itu dari Reuben.“Kenapa dulu kamu nggak ngasih kesempatan untuk saya?”Amara menjawab tanpa bertele-tele. “Karena saya nggak punya perasaan apa pun sama Bapak. Kalau itu bikin Bapak tersinggung, saya minta maaf.”“Kamu nggak perlu minta maaf. Sa