Keesokan paginya, Aza terbangun dengan kantong hitam besar di bawah matanya. Ia tidur lumayan larut tadi malam.
Setelah berulang kali ia memikirkannya, masih saja dia tak percaya dengan apa yang di bacanya.
Apakah peta itu tempat keberadaan penyihir kubus yang lainnya? Dan apakah dia seorang penyihir kubus yang di takdirkan?
Berbagai macam pertanyaan mulai mengisi kembali pikirannya namun dari semua pertanyaan itu tidak ada yang menjawabnya!
Itu cukup membuat Aza frustasi, setelah bergulat dengan pikirannya. Aza memutuskan untuk mengikuti jalan di peta itu.
Ia ingin memastikan peta itu, apakah ini nyata atau tidak.
Dengan keputusan bulat, setelah pulang sekolah, Aza akan menelusuri tempat terdekat di daerahnya.
⚛⚛⚛
"Eum ... seperti habis belokan terus lewat beberapa rumah lagi," gumam Aza sambil berjalan ke belokan yang ada di hadapannya.
Semakin dekat dengan area kubus abu-abu, Azareel mencium bau besi yang sangat kuat.
Azareel melihat petanya lagi, dan terus berjalan, hingga sampai di satu rumah yang sangat berantakan.
Lelaki itu melihat halaman rumah yang di penuhi dengan besi, di tengah-tengah tumpukan itu, ia melihat seorang anak remaja yang duduk terdiam sambil memandangi tumpukan besi dengan linglung. Aza merasakan suasana canggung hingga ia membuat suara batukan kecil agar si anak remaja mengetahui keberadaanya.
"E ... eh? Mencari siapa? Di sini bukan tempat barang rongsokan," ucap remaja lelaki itu sedikit gugup. Aza tidak yakin mengapa dia begitu gugup.
"Aku tidak mencari barang rongsokan, namun aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," kata Azareel.
"Silakan tanyakan saja, semakin cepat semakin baik, aku sangat sibuk sekarang,"
"E ... bisakah kamu membawaku masuk terlebih dahulu?" Aza berkata dengan canggung.
"Apa susahnya berbicara langsung di sini?" kata lelaki itu sambil menepuk pantatnya yang di tempeli oleh tanah.
"Ini sedikit privasi, orang-orang memiliki telinga," kata Aza sambil menatap lelaki bertubuh berisi itu dengan serius.
Lelaki itu mulai melangkahkan kakinya menuju Aza dan membukakan pintu pagar, "Ok silakan masuk," kata lelaki itu.
Aza tidak merasa tersinggung atau sebagainya, karena dia mengetahui, orang asing yang ingin berbicara privasi itu sangat berbahaya, apalagi sendirian di rumah, siapa yang akan mengira jika Azareel di anggap sebagai orang jahat oleh lelaki itu.
Setibanya di ruang tamu, lelaki itu duduk di sofa kemudian menyuruh tamunya untuk ikut duduk juga.
"Bukankah tidak kenal tidak sayang?" tanya Aza basa-basi.
"Aku Leonard Benitez, ada apa? Cepat katakan apa yang kamu inginkan."
"Ok aku akan langsung ke intinya, apa kamu pernah bermimpi aneh? Bertemu binatang aneh," tanya Aza to the point.
"Mimpi? Tiga hari yang lalu aku mendapatkan mimpi aneh," jawab Leo seadanya.
"Apakah itu mempi bertemu dengan binatang aneh?" tanya Aza.
"Ya, aku bertemu dengan chimera, awalnya di mimpi itu aku mengira akan di makan oleh hewan mitologi itu, tapi siapa yang mengira hewan itu berbicara dan bahkan memberikan sebuah kalung,"
"Kalung? Apakah itu kalung dengan bandul kubus?"
"Ya."
"...."
Setelah pernyataan Leonardo memenuhi alat pendengaran Aza, lelaki berambut coklat gelap itu mulai memancarkan sinar mata yang tidak percaya.
"K ... kamu beneran penyihir kubus abu-abu?" tanya Aza tak percaya, matanya seakan-akan mengatakan, jangan mengatakan hal yang tidak tidak.
"Aku rasa ... ya ... Apa kamu lihat di halaman rumahku banyak besi yang berserakan?" Aza hanya menganggukkan kepalanya singkat.
"Nah! Itu karena aku tidak sengaja mencobanya, aku hanya iseng-iseng saja, namun siapa yang bilang itu bakal seperti itu," jelas Leo.
"Kamu tau aku mempunyai ini dari siapa?" tanya Leo yang mulai waspada, tangannya sedikit demi sedikit memancarkan cahaya abu-abu tipis.
"Tenang-tenang! A ... aku tidak bermaksud begitu, aku juga penyihir, hanya saja semua ini sangat tidak mungkin, penyihir itu hanya mitos dan juga, mungkin kita akan terbunuh jika orang lain mengetahui bahwa kita mempunyai kekuatan atau kita akan menjadi bahan penelitian," kata Aza yang masih belum bisa menerima kenyataan.
"Hei! Bukti sudah ada di depan mata! Mengapa masih tidak percaya?" tanya Leo.
"Tidak ... tidak mungkin, penyihir itu tidak ada kan? Hidden world juga tidak ada kan? Apa itu vampire, peri hutan, manusia serigala!"
Leo yang mendengarpun mulai jengah dengan teman dadakannya ini.
"Hei hei hei ... Sudah ku katakan, terima kenyataan yang ada di depan mata!" Kata Leo sedikit membentak.
Lelaki berambut cokelat gelap itu secara mendadak mulai meraih bahu Leonard dan berkata,"Gak mungkin kan? Apa aku sedang berhalusinasi? Apa aku sudah gila?"
"Bodoh! Tentu saja kamu waras! Jika kamu gila, mungkin kamu kesini tanpa menggunakan celana dalam,"
"Bener juga," kata lelaki berambut cokelat gelap itu sambil duduk diam melihat ke gelas dengan tatapan bingung.
"Bearti aku adalah penyihir kubus biru?" tanya Aza lagi.
"Kamu kubus biru? Sepertinya iya, oh benar! Kamu tahu aku di sini apakah kamu punya insting?" Leo bertanya dengan antusias.
"Aku mendapat petunjuk dari peta," Jawab Aza yang masih linglung.
"Jadi, apa kamu sudah menemui yang lainnya?"
"Kamu yang pertama," kata Aza.
"...."
"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanya Leo setelah hening selama secangkir teh.
"Ini agak konyol, aku berniat untuk mempertemukan penyihir kubus lainnya," kata Aza, ada jejak keraguan dari suaranya.
"Itu ide yang menarik, aku jadi penasaran dengan dunia tersembunyi itu," kata Leo, namun matanya menunjukkan keraguan, karena dia benar-benar kurang yakin akan ada dunia yang seperti itu. Aza hanya diam mendengarkan dari samping.
"Tapi ... kekuatan sihir di sini sangat tipis, sulit bagi kita untuk mengembangkan sihir," gumam Leo.
"Jadi ... kita harus menemukan dunia itu?"
"Tidak ada pilihan lain."
⚛⚛⚛
Azareel memutuskan untuk bertukar nomor telepon dengan Leo, dia memiliki firasat jika ia akan sangat terjerat dengan lelaki bertubuh besar itu.
Lelaki itu merasa lucu sekali jika mengingat dirinya yang kurang percaya diri di depan orang baru, seperti bukan dirinya saja, baru kali ini dia sangat terbuka dengan seseorang, apakah itu pertanda bahwa dia akan sangat dekat dengan lelaki itu?
Lelaki itu membuang semua pikirannya dan mulai melangkahkan kakinya ke supermarket, ia ingin membeli segelas susu pisang untuk menghilangkan haus, Leo sepertinya terlalu bersemangat hingga lupa menjamunya sebagai tamu.
Ah lupakan yang penting saat ini tenggorokan Aza sudah menemui surganya.
Sangat nyaman, sebenarnya lelaki itu kurang menyukai susu pisang, karena hanya ada susu pisang yang tersisa, Azareel bisa apa?
Setibanya dia di rumah, kedua orang tuanya seperti biasa menyambutnya dengan hangat.
"Aza udah jalan-jalannya?" tanya Aubrey.
"Udah Bu," jawab aja sambil mencium pipi kanan ibunya.
"Mandi, kemudian makan bersama," kata Aubrey yang kini mulai sibuk lagi dengan makanan di atas meja.
"Baik Bu!"
Ketika selesai makan, Aza segera naik ke kamarnya dengan membawa segelas air putih. "Ayah, Ibu, aku ke atas dulu, selamat malam," pamit Ada yang kemudian menginjakkan kakinya di anak tangga. "Aku tidak menyangka bayi kecilku sudah tumbuh menjadi pria dewasa," kata Aubrey sambil melihat punggung Aza yang mulai menghilang di balik pintu kamar. "Apa susahnya jika kita membuat lagi?" tanya Andress to the point, pipi dan telinga Aubrey memanas dia memutuskan untuk menunduk dan tidak ingin melihat tatapan lapar dari suaminya. "K ... kau, sabar dulu, aku belum menyelesaikan sisa makanan," namun sudah terlambat, Andress langsung menghampiri istrinya dan menggendongnya ke kamar mereka berdua. &nbs
Ketiga anak lelaki mulai memasang tampang waspada, bisa dilihat dengan mata telanjang tanaman di pinggir jalan mulai memanjang ke arah Aza dan Leo."Kamu siapa?" tanya anak berambut gondrong waspada."Tolong tarik kembali, mata bisa melihat telinga bisa mendengar," kata Aza menenangkan."Aku tidak peduli!""Cepat pergi dari hadapan kami! Kami tidak ingin bertengkar dengan kalian, buang-buang waktu,""Hei! Hei! Hei! Tenanglah! Kami juga penyihir kubus!"Tanaman menjalar itu berhenti, tatapan anak berambut gondrong itu penuh dengan menyelidik."Buktikan," kata anak bermata tupai.Azareel mengeluarkan kalungnya di hadapan ketiga anak lelaki itu."Ini," kata Aza sembari memperlihatkan kalungnya.Dengan sigap, tanaman menjalar itu mengambil kalung yang ada di tangan Aza."Hei!" teriak Aza marah.
Sinar matahari menyelimuti bumi, angin berhembus lembut menebas rerumputan. Seorang lelaki berambut hitam legam seperti di gelapnya malam, kilatan rambutnya berwarna putih seperti bintang yang berkelip di malam hari. Mata hitam bagaikan kegelapan yang menarik jiwa untuk terus masuk dan menjelajahi isinya, layaknya blackhole yang mampu menyerap apa saja. Mata itu menatap langit biru cerah di hamparan rumput, matanya terlihat kosong seolah jiwanya tidak berada di tempat itu."huh."Bibir itu menghela nafasnya seperti seseorang yang memiliki banyak pikiran."Eruza!" teriak seseorang dari kejauhan, namun lelaki itu hanya memandang wajah itu tanpa menjawab."Rrr, air mukamu terlihat menyeramkan, ah benar! Ada yang sedang mencari kita, di depan rumah," kata orang tersebut."Siapa?""Kau kira aku tau? Jika aku tau juga aku kasih tau huh dasar, btw Darrel adik sepupu kesayanganmu baru
Kedelapan pemuda itu mulai berdiri di belakang Azareel. Angin berhembus kencang menerpa semua yang menghalangi jalannya.Bersamaan dengan angin, partikel-partikel merah mulai berterbangan dan menyatu menjadi sebuah pintu.Pintu itu seperti pintu kaca yang yang mudah pecah, di lihat dari luar, kalian akan melihat pandangan jalan di belakanganya, seperti pintu kaca pada umumnya.Azareel melangkah maju setelah angin berhenti bertiup, begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Melihat ke belakang dengan pandangan tidak yakin, membuat Eruza datang menghampirinya."Biar aku saja," kata Eruza menenangkan Azareel yang gugup, lantas mendengar itupun Azareel mundur ke belakang untuk mempersilakan Eruza.Terlihat jelas lelaki dengan sejuta pesona itu menarik nafas untuk menghilangkan gugup, tangan itu mulai mendorong pintu kaca itu.Sejauh mata memandang, pemandangan di dalam pintu sangat ko
Malam haripun tiba, lelaki berambut coklat terang dan hitam duduk berdua di tepi sungai. Pemandangan langit yang dipenuhi dengan taburan bintang berkelap-kelip indah di gelapnya malam, daun yang berguguran jatuh tertiup angin yang berhembus lembut.Pemandangan bagaikan surga yang tidak nyata namun tampak di lihat oleh mata."Wayne," panggil lelaki berambut hitam segelap malam di langit."Ya?" jawab Wayne si pemuda dengan rambut coklat terang."Aku tidak tahu bagaimana kedepannya, tapi ku harap semua akan baik-baik saja, namun firasatku mengatakan semuanya tidak baik-baik saja, apa yang harusku lakukan?""Hei, tenangkan dirimu, ada aku sebagai temanmu, nanti aku bantu doa jika bahaya akan datang, tenang saja," begitulah kata-kata penghiburan Wayne kepada sahabatnya itu."Ka ... kamu hanya bantu doa?!" tanya Eruza terkejut, buyar sudah suasana canggung di antara mereka.
Sinar ungu mulai melesat ke arah serigala yang paling besar di antara lainnya, serigala itu mati dengan sangat menggenaskan.Gerombolan Serigala Perak mengetahui jika pemimpin mereka mati, lalu serigala itu mulai melarikan diri menjauh dari kawasan itu.Keenam lelaki yang sudah mati-matian melawan Serigala Perak langsung terduduk lelah."Kerja bagus semuanya," kata Eruza menyemangati mereka.Setelah mengumpulkan cukup tenaga semuanya membersihkan diri. Azareel menyiram bekas-bekas darah serigala perak agar tidak memicu binatang iblis yang lainnya."Ngomong-ngomong apa yang sudah kau lakukan Wayne?" tanya Eruza kepada temannya itu."Aku hanya membunuh pemimpinnya," kata Wayne terus terang kemudian dia teringat kejadian Nelson mencium pipi kanannya."Oh! Oh! Oh! Aku punya berita bagus untuk Leo!" kata Wayne bersemangat, di wajahnya yang tampan terlihat sen
"Terus kalian menyesal gitu?!" seru Azareel, suasana hatinya sudah tidak bagus ditambah lagi teman-temannya yang sudah menyerah sebelum memulai."Tidak ada pilihan lain selain menjalankan tugas kita," sambung Azareel."Maksudmu apa hah! Kita semua bisa saja mati di tengah-tengah hutan ini!" kata Tanner sambil berdiri.Azareelpun ikut berdiri, terlihat jelas air muka marah dikedua wajah lelaki itu."Kan kalian yang ingin ke sini! Tidak ada paksaan!" seru Azareel seolah-olah menantang Tanner. Jarak mereka kini sangat dekat untuk seseorang yang sedang berselisih pendapat."Itu semua gara-gara kamu yang memancing!" seru Tanner sambil mendorong bahu Azareel.Dan terjadilah aksi berkelahi di antara mereka berdua, teman-teman yang lainnya pun berinisiatif untuk menghalangi mereka agar tidak menjadi perkelahian yang mebahayakan nyawa."Hei! Kalian tenang lah! Aku tidak memi
"Tolong aku!" teriak Azareel.Semua mata langsung tertuju ke sumber suara."Aza!" Teriak Eruza. Jantungnya hampir berhenti berdetak melihat Azareel yang kini terlilit akar. Dia bertanggung jawab atas keselamatan mereka semua, jadi dia tidak tahan untuk tidak menolong Aza yang kini hampir di remukkan.Eruza berlari ke arah Azareel dengan tergesa-gesa raut wajahnya sangat menyeramkan, dia mulai menebas akar pohon yang menghalanginya di setiap jalannya.Bilah besi itu menebas ke segala arah untuk menghindari akar, dia harus cepat jika terlambat mungkin saja Azareel akan pecah menjadi tumpukan daging oleh akar itu.Ini bukan sesuatu yang di anggap remeh, ini masalah kehidupan seseorang. Di mata Eruza dia melihat Azareel yang mulai kehilangan nafasnya. Badan lelaki itu mulai memerah seakan ingin meledak.Melihat aksi Eruza, yang lainnya pun ikut menyelamatkan Azareel dari bahaya, k