Kedelapan pemuda itu mulai berdiri di belakang Azareel. Angin berhembus kencang menerpa semua yang menghalangi jalannya.
Bersamaan dengan angin, partikel-partikel merah mulai berterbangan dan menyatu menjadi sebuah pintu.
Pintu itu seperti pintu kaca yang yang mudah pecah, di lihat dari luar, kalian akan melihat pandangan jalan di belakanganya, seperti pintu kaca pada umumnya.
Azareel melangkah maju setelah angin berhenti bertiup, begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Melihat ke belakang dengan pandangan tidak yakin, membuat Eruza datang menghampirinya.
"Biar aku saja," kata Eruza menenangkan Azareel yang gugup, lantas mendengar itupun Azareel mundur ke belakang untuk mempersilakan Eruza.
Terlihat jelas lelaki dengan sejuta pesona itu menarik nafas untuk menghilangkan gugup, tangan itu mulai mendorong pintu kaca itu.
Sejauh mata memandang, pemandangan di dalam pintu sangat kontras dengan lingkungan di sekitar mereka.
Mereka melihat hamparan rumput yang luas, di ujung-ujung hamparan di tutupi oleh hutan. Jika mereka menebak di mana mereka, pasti mereka akan berpikir jika mereka berada di tengah hutan.
Menarik nafas gusar, Eruza pun berkata, "Ayo masuk."
Sebagai orang yang tertua di antara yang lainnya, Eruza mempunyai tanggung jawab besar untuk melindungi teman-teman lainnya. Sikap bijaksana Eruza pantas di sebut pemimpin karena dia sangat bertanggung jawab meski tidak di suruh.
Kedelapan pemuda tampan mulai melangkahkan kaki mereka untuk memasuki pintu dimensi. Setelah semuanya masuk, pintu itu bagaikan di hantam sesuatu langsung pecah dan kembali menjadi partikel-partikel merah yang berterbangan layaknya gliter.
"Wuoh! Benar-benar dunia fantasi!" kata Reymond kagum.
"Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?" kata Tanner.
"Hmm ... kita keliling dulu," kata Eruza sambil berpikir, yang disetujui oleh semuanya.
"Nelson apa yang kamu lihat?" tanya Leonard, lelaki bertubuh kekar itu sangat menyukai Nelson yang terbilang paling muda di antara mereka. Namun Nelson tidak menjawab sama sekali, karena penasaran Leonard mengikuti arah tatapan mata Nelson, begitu juga dengan yang lainnya hingga mereka semua ikut terpaku.
Dua bulan di siang hari, yang satu bulan sabit dan yang satu bulan purnama. Bulan sabit berwarna biru sedangkan bulan purnama berwarna merah. Itu tidak wajar sama sekali.
"Ba ... bagaimana bisa?" tanya Leo termenung, tatapan matanya melihat ke arah dua bulan dengan warna yang mencolok di langit.
"Bulan merah dan biru," kata Aza bergumam.
"Bukankah itu lambang Lucifer?" tanya Eruza.
"Ah~ benar," kata Aza, kemudian dia mengambil bukunya dengan cepat, seakan sudah hafal halaman keberapa dia langsung membukanya kemudian membacanya kembali.
"Di buku tertulis, dua warna itu melambangkan kedamaian dan pertentangan, kedamaian adalah bulannya Hidden World dan pertentangan adalah bulannya Lucifer. Lucifer menarik matahari agar tidak menyinari Hidden World. Di tariknya matahari membuat bangsa Hidden World kehilangan setengah dari kekuatan asli mereka, karena itulah Lucifer dan bangsa iblis menyerang makhluk Hidden World di saat mereka menjadi lemah,"
"Karena di malam hari ketika sang Deva muncul kekuatan mahkluk Hidden World berkurang setengah, namun sang Deva tidak berpengaruh kepada bangsa iblis."
"Mengapa begitu rumit?" keluh Wayne.
"Tanyakan pada pembuat sejarah,"
⚛⚛⚛
Kedelapan pemuda tampan berjalan-jalan sambil melihat sekelilingnya, tanaman dan tumbuhan yang tidak diketahui namanya menyebar ke segala penjuru mata memandang.
"Kita istirahat dulu," kata Eruza.
Mereka menyepakati jika Eruzalah yang memimpin mereka sebagai orang yang tertua, begitupun juga dengan Eruza yang merasa bertanggung jawab besar untuk menjaga teman-temannya.
"Aku mendengar bunyi air ..." kata Darrel, membuat semua orang memandangnya.
"Ke arah Utara," sambung Darrel.
Merekapun berjalan ke arah Utara sesuai perkataan Darrel dan benar saja, di sana terdapat air sungai yang mengalir. Air itu sangat jernih hingga ikan di bawah air terlihat dengan jelas.
"Ah~ akhirnya," kata Reymond, dia mulai melepas benda-benda di sekujur tubuhnya kemudian mencelupkan tangannya untuk mencuci muka.
"Airnya segar," kata Reymond lagi, membuat teman-teman lainnya langsung melepas beban di tubuh mereka. Eruza berpikir sejenak.
"Tanner, bisa buatkan gubuk? Untuk kita tidur malam nanti, harinya semakin gelap," kata Eruza memerintahkan Tanner.
"Ok."
Sembari berjalan mereka sedikit demi sedikit mengontrol kekuatan mereka, walaupun tidak sempurna namun cukup untuk mereka bertahan hidup.
Tanner mulai mengarahkan pikirannya pada tumbuhan di sekitarnya, angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut kini mulai mengencang, batang pohon bermunculan dari berbagai sisi yang telah di tentukan, tanaman merambat mulai naik hingga membentu atap dan dinding.
"Selesai, aku tidak bisa membuat lantainya," kata Tanner sambil menghela nafas pelan.
"Reymond, coba kau buat lantai yang lumayan tinggi dari tanah," perintah Eruza. Reymond yang mendengarpun menjawab.
"Baiklah."
Lelaki dengan mata yang menyerupai tupai itupun mulai mulai mengarahkan pikirannya ke tanah, menyusun satu persatu tanah hingga mencapai ketinggian yang di inginkan. Lantaipun sudah di buat, namun lantai itu dipenuhi dengan debu.
Nelson mengambil inisiatif untuk menghilangkan debu itu, kemudian Leonard menambahkan sedikit besi di permukaan lantai. Membuat lantai itu terlihat rapi dan cantik.
Gubuk yang bagaikan khayalan di Bumi, kini mereka membuatnya.
"Tidak bisa dipercaya, ini adalah gubuk yang paling indah," kata Reymond, mata hitamnya yang membesar dan jernih menambah kesan tupai imut.
Merekapun menaiki gubuk darurat yang mereka buat, entah pikiran apa yang di pikirkan Wayne hingga lelaki itu membawa pancingan ikan, bahkan dia membawa tiga.
Pancingan itu cukup unik karena itu di buat dengan bentuk yang minimalis dan sederhana, ketika di tarik ujungnya, maka pancingan itu akan memanjang, panjang pancingan hanya satu meter setengah, namun cukup untuk memancing di sungai ataupun danau.
"Wayne, mengapa aku tidak bisa mengikuti jalan pikirmu," kata Eruza menatap Wayne yang sedang mengikis tanah untuk mencari cacing.
"Aku hanya iseng membawanya," ya ... begitulah Wayne, dia adalah lelaki tsunder sejauh yang Eruza dan kawan-kawan tahu.
"Yang lain bantu Wayne mencari cacing, Wayne membawa tiga pancingan, setidaknya kita harus mendapatkan tiga ikan untuk kita malam ini," kata Eruza memerintahkan kawan-kawannya untuk membantu Wayne.
Semuanya pun ikut menggali tanah, Leonard membuat wadah kecil dengan besi. Katanya itu untuk menaruh cacing yang di dapat. Kemudian Leonard membuat wadah besar untuk ikan yang nanti di dapat.
"Ayo kita memancing, ada yang mau memacing?" kata Eruza sambil menatap kawan-kawannya dengan penuh harap.
"Aku! Aku! Aku!" kata Reymond bersemangat.
"Ok satu lagi siapa?" tanya Eruza.
"Aku," kata Darrel sambil mengambil pancingan di sebelah Wayne.
"Dapatkan banyak ikan ya," kata Azareel dengan mata berbinar, mereka tidak mengetahui, namun lelaki bermata puppy itu membawa bumbu-bumbu dapur di rumahnya. Dia mengambilnya diam-diam ketika ibunya sedang kepasar sebelum berangkat, syukurlah jika ibu Azareel suka menyetok bahan-bahan di dapur, mungkin waktu membuka lemari ibu Azareel akan marah besar.
Malam haripun tiba, lelaki berambut coklat terang dan hitam duduk berdua di tepi sungai. Pemandangan langit yang dipenuhi dengan taburan bintang berkelap-kelip indah di gelapnya malam, daun yang berguguran jatuh tertiup angin yang berhembus lembut.Pemandangan bagaikan surga yang tidak nyata namun tampak di lihat oleh mata."Wayne," panggil lelaki berambut hitam segelap malam di langit."Ya?" jawab Wayne si pemuda dengan rambut coklat terang."Aku tidak tahu bagaimana kedepannya, tapi ku harap semua akan baik-baik saja, namun firasatku mengatakan semuanya tidak baik-baik saja, apa yang harusku lakukan?""Hei, tenangkan dirimu, ada aku sebagai temanmu, nanti aku bantu doa jika bahaya akan datang, tenang saja," begitulah kata-kata penghiburan Wayne kepada sahabatnya itu."Ka ... kamu hanya bantu doa?!" tanya Eruza terkejut, buyar sudah suasana canggung di antara mereka.
Sinar ungu mulai melesat ke arah serigala yang paling besar di antara lainnya, serigala itu mati dengan sangat menggenaskan.Gerombolan Serigala Perak mengetahui jika pemimpin mereka mati, lalu serigala itu mulai melarikan diri menjauh dari kawasan itu.Keenam lelaki yang sudah mati-matian melawan Serigala Perak langsung terduduk lelah."Kerja bagus semuanya," kata Eruza menyemangati mereka.Setelah mengumpulkan cukup tenaga semuanya membersihkan diri. Azareel menyiram bekas-bekas darah serigala perak agar tidak memicu binatang iblis yang lainnya."Ngomong-ngomong apa yang sudah kau lakukan Wayne?" tanya Eruza kepada temannya itu."Aku hanya membunuh pemimpinnya," kata Wayne terus terang kemudian dia teringat kejadian Nelson mencium pipi kanannya."Oh! Oh! Oh! Aku punya berita bagus untuk Leo!" kata Wayne bersemangat, di wajahnya yang tampan terlihat sen
"Terus kalian menyesal gitu?!" seru Azareel, suasana hatinya sudah tidak bagus ditambah lagi teman-temannya yang sudah menyerah sebelum memulai."Tidak ada pilihan lain selain menjalankan tugas kita," sambung Azareel."Maksudmu apa hah! Kita semua bisa saja mati di tengah-tengah hutan ini!" kata Tanner sambil berdiri.Azareelpun ikut berdiri, terlihat jelas air muka marah dikedua wajah lelaki itu."Kan kalian yang ingin ke sini! Tidak ada paksaan!" seru Azareel seolah-olah menantang Tanner. Jarak mereka kini sangat dekat untuk seseorang yang sedang berselisih pendapat."Itu semua gara-gara kamu yang memancing!" seru Tanner sambil mendorong bahu Azareel.Dan terjadilah aksi berkelahi di antara mereka berdua, teman-teman yang lainnya pun berinisiatif untuk menghalangi mereka agar tidak menjadi perkelahian yang mebahayakan nyawa."Hei! Kalian tenang lah! Aku tidak memi
"Tolong aku!" teriak Azareel.Semua mata langsung tertuju ke sumber suara."Aza!" Teriak Eruza. Jantungnya hampir berhenti berdetak melihat Azareel yang kini terlilit akar. Dia bertanggung jawab atas keselamatan mereka semua, jadi dia tidak tahan untuk tidak menolong Aza yang kini hampir di remukkan.Eruza berlari ke arah Azareel dengan tergesa-gesa raut wajahnya sangat menyeramkan, dia mulai menebas akar pohon yang menghalanginya di setiap jalannya.Bilah besi itu menebas ke segala arah untuk menghindari akar, dia harus cepat jika terlambat mungkin saja Azareel akan pecah menjadi tumpukan daging oleh akar itu.Ini bukan sesuatu yang di anggap remeh, ini masalah kehidupan seseorang. Di mata Eruza dia melihat Azareel yang mulai kehilangan nafasnya. Badan lelaki itu mulai memerah seakan ingin meledak.Melihat aksi Eruza, yang lainnya pun ikut menyelamatkan Azareel dari bahaya, k
"Aza ... ku mohon sadarlah," ucap Eruza di samping Aza yang belum sadarkan diri dua hari ini. ⚛⚛⚛Waktu berlalu dengan cepat tak terasa sudah satu bulan dari kejadian itu."Kak Uza, aku dapat rusa!" teriak Reymond bersemangat."Kerja bagus Rey! Kita akan makan besar malam ini, benar kan Za?" tanya Eruza kepada pemuda di sebelahnya. Pemuda itu terlihat imut dan sedikit pucat."Iya, aku tidak sabar untuk malam ini," kata Azareel sambil tersenyum tipis.Dia baru saja pulih beberapa hari yang lalu, lelaki itu merasa tidak enak kepada teman-temannya karena dia mengganggu perjalanan ini. Jika saja dia tidak lengah mungkin kami akan mencapai kota di pinggir hutan ini."Sudahlah, janga memasang ekspresi begitu," kata Tanner sambil mengambil tempat du
Suara daging yang bertemu dengan besi panas memenuhi area sekitarnya. Suasana gelapnya malam yang bertabur bintang menemani sang rembulan di atas langit. Semilir angin berhembus dengan lembut membawa aroma khas daging panggang."Ah aku sudah lapar," kata Reymond sambil mengelus perutnya yang rata."Mohon bersabarlah, sebentar lagi dagingnya masak," kata Darrel. Lelaki itu sibuk membolak-balikkan daging di atas wajan panas."Berbequenya sudah hampir selesai di panggang," kata Leonard sambil membalikkan berbeque di hadapannya.Azareel memandangi berbeque yang di panggang Leonard dari waktu ke waktu. Lelaki itu tampak linglung ketika melihat berbeque yang mengeluarkan bunyi berdesis ketika Leonard menambahkan bumbu perasa."Aza ... apa yang kamu pikirkan?" tanya Eruza sambil mendudukkan bokongnya di sebelah Aza."Jika diingat-ingat di pasar tadi tidak ada yang menjual berbeque,"
"Bagaimana jika kita juga jualan obat?" kata Azareel dengan mata berbinar."Tapi jualan obatnya akan susah jika kita tidak menggunakan toko atau kios, lebih baik kita kumpulkan uang untuk membeli toko atau rumah?" kata Wayne, lelaki itu tampaknya sedang membayangkan sesuatu."Benar juga ... bearti sekarang apa yang harus kita lakukan?" kata Nelson yang sedang menggosok punggungnya dengan susah payah."Pertama-tama kita akan berburu, kemudian menyiapkan bumbu, datang ke Desa Hela, sebelum itu kita harus buat gerobak untuk jualan," kata Azareel sambil mengelus-elus dagunya yabg bersih, matanya seperti menerawang langit."Ok seperti itu saja, aku akan naik terlebih dahulu untuk menyiapkan sarapan kita," kata Darrel yang dari tadi hanya diam, lelaki itu memang cukup pendiam namun dia sangat memperhatikan semuanya layaknya seorang ibu, padahal dia hanyalah lelaki remaja yang baru saja menginjak usia dewasa.
Eruza menghampiri Wayne yang sedang melihat ke sumber suara."Ya.""Aku harap tidak terjadi apa-apa dengan teman-teman yang lainnya," kata Wayne lagi, wajah tampan itu sedikit berkerut karena mengkhawatirkan teman-temannya."Semoga saja," kata Eruza sambil menatap langit yang bersinang terang.Di waktu yang sama di tempat yang berbeda."Kamu dengar Rel?" kata Tanner yang sedang memetik tanaman herbal, tidak jauh darinya Darrel berdiri memperhatikan daerah sekitar, namun badannya condong ke arah sumber suara."Mungkinkah itu suara binatang yang sekarat? Atau binatang yang sedang marah?" tanya Darrel kepada Tanner, pandangannya tetap tertuju ke arah sumber suara."Aku berharap kemungkinan yang kedua," jawab Tanner, lelaki berambut panjang itu masih memetik tanaman herbal, atas usul Aza dia mulai mengumpulkan obat dan meramunya. Bertepatan dengan jurusan Tanner di kuli