"Bar, kamu ini kapan menikahnya sih, Nak? Mama sudah kepingin sekali menggendong cucu dari kamu. Michellia saja anaknya sudah mau dua. Masa kamu kalah sama adikmu? Umur kamu sudah tiga puluh tahun, lho."
Oryza Sativa Dewangga menegur putranya yang sedang duduk santai menonton televisi. Sebagai seorang ibu, ia resah karena putranya ini sama sekali tidak menunjukkan niat ingin menikah. Padahal usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga.
"Mama kadang heran, papamu itu Don Juan sejati. Pacarnya tersebar merata di seluruh penjuru kota. Di setiap tikungan kompleks saja ada. Lah kamu, umur segini pacarannya cuma satu kali. Itu pun pada masa kuliah bertahun-tahun yang lalu. Perempuan di dunia ini tidak semuanya sama seperti Diandra, Nak. Nggak semuanya materialiatis seperti si Dian itu. Atau kamu mama jodohin saja ya?"
Ory yang duduk di seberang sofa mendekati putranya. Ia berusaha memudahkan jalan putranya untuk berumah tangga dengan cara menjodohkannya. Ia mempunyai banyak sahabat yang memiliki anak gadis cantik-cantik dengan akhlak yang baik-baik pula. Siapa tahu kelak ia bisa berbesanan dengan salah seorang dari sahabat-sahabat baiknya. Insya Allah.
Akbar pada masa kuliahnya dulu pernah berpacaran dengan Diandra Sasmita, teman sekampusnya selama hampir tiga tahun. Saat memasuki tahun ke tiga itulah, Diandra tiba-tiba saja meminta putus dari Akbar. Kabar terakhir Diandra menikah dengan seorang duda seusia ayahnya karena faktor harta. Semenjak kejadian itu Akbar menutup diri dari masalah asmara. Ia tidak bergeming walau didekati oleh wanita secantik apapun. Akbar seperti mati rasa. Ia dan suaminya sudah capek menasehati Akbar agar mau kembali membuka diri. Tetapi hasilnya tetap nihil. Akbar tetap teguh dengan pendiriannya.
"Menikah itu gampang kok, Ma. Yang susah itu cari jodohnya. Lagi pula menikah itu bukan masalah secepat-cepatnya Ma, tetapi setepat-tepatnya. Nikah kok main cepet-cepetan. Memangnya lomba lari?" Akbar menjawab santai pertanyaan ibunya sambil membuka laptop yang ada di samping sofa. Pekerjaannya menggunung sementara waktu satu hari dua puluh empat jam itu seakan-akan tidak cukup untuknya. Dan seperti biasa ia segera tenggelam dalam kesibukannya sendiri.
"Kalau kamu memang kesulitan mencari jodoh, Mama saja yang mengaturnya untuk kamu mau, Nak?" Akbar menghela nafas panjang. Kalau mamanya sudah mulai menambahkan kata Nak dalam kalimatnya, itu artinya ada permintaan yang tidak terbantahkan oleh wanita yang telah melahirkannya ke dunia tiga puluh tahun yang lalu ini.
"Ya sudah, Mama atur saja. Tetapi ingat, Mama tidak boleh memaksa kalau Akbar tidak sreg dengannya ya, Ma? Karena pernikahan itu kan sifatnya komitmen. Seumur hidup lagi. Jadi tidak mungkin Akbar menikah kalau Akbar merasa tidak cocok dengannya. Oke, Ma?" Akbar merasa sekali-sekali menyenangkan hati mamanya kan tidak salah? Masalah dia mau atau tidak menikah dengan wanita pilihan mamanya, itu kan bisa diatur. Yang penting telinganya selamat dulu dari nyanyian siang malam mamanya tentang jodohnya yang selalu tidak pernah terlihat hilalnya.
"Kamu itu sukanya wanita yang seperti apa, Nak?" Ory gembira sekali. Di kepala cantiknya sudah tersusun nama-nama kandidat wanita yang akan menjadi calon menantunya. Tinggal Akbar saja yang memilih salah satu di antara mereka.
"Akbar tidak ada type khusus, asal wanita itu bukan si Tria. Tidak lucu juga saat nanti Akbar minta dibikinin kopi atau sarapan pagi, kopinya malah diaduk pakai pisau dan nasi gorengnya dimasak dengan pedang alih-alih spatula. Akbar paling tidak suka wanita yang menyalahi kodratnya."
Akbar teringat dengan sosok gahar adik perempuan Tama, Naratria Abiyaksa yang sebenarnya dulu sempat ditaksirnya. Hanya saja selain Tria sudah memilih laki-laki lain, dandanan Tria juga kerap membuatnya sakit mata. Semakin dewasa Tria, penampilannya semakin gahar saja. Ia ilfeel melihatnya. Ngomong-ngomong soal Tama, setengah jam lalu sahabatnya itu baru saja curhat soal batalnya pernikahannya. Ternyata pacarnya berselingkuh dengan Raphael, pacar Tria, adik kandungnya. Double jack pot banget sakitnya kan? Itulah perempuan dengan segala keabsurbannya. Diberikan laki-laki yang baik, malah memilih bad boy. Apabila sudah tersakiti, baru lah mereka berkoar-koar mengatakan bahwa semua laki-laki sama saja. Aneh bukan?
"Lho kenapa dengan Tria, Bar? Anak Om Aksa dan Tante Lia itu kan cantik sekali?" Ory mengerutkan keningnya. Akbar sepertinya antipati sekali terhadap Tria. Padahal Tria itu anak yang baik dan cantik. Mirip sekali dengan ibunya. Termasuk juga hobbynya yang menggemari balap mobil dan ilmu bela diri.
"Cantik? Iya. Baik? Mungkin saja. Tapi Akbar sangat tidak suka melihat ketomboyannya. Tria itu tidak pernah sekalipun memakai rok kan, Ma? Sikapnya juga tidak ada manis-manisnya. Tria itu kasar seperti preman pasar. Akbar ilfeel dengan type wanita yang seperti itu. Akbar sampai merasa kalah gagah dari Tria."
Kalimat Akbar membuat Ory tertawa geli. Tria ia memang tomboy sampai ke partikel syarafnya. Tapi mau bagaimana lagi, si Lia juga seperti itu penampakannya. Tidak heran kalau putrinya menuruni sifatnya.
"Ya sudah. Kalau kamu tidak suka dengan yang type tomboy begitu, Mama akan mencari wanita yang lemah lembut seperti putri keraton. Duh Mama jadi tidak sabar ingin mengendong cucu dari kamu, Bar!" Mata Ory berbinar-binar saat membayangkan ia akan mendapatkan cucu-cucu yang lucu dari Akbar.
"Astaga Mama... Mama... jodohnya saja belum kelihatan hilalnya, ini Mama malah sudah membayangkan menggendong cucu segala." Akbar menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh Akbar keluar sebentar ya, Ma? Akbar mau ke rumah Benny. Ada beberapa berkas yang ketinggalan di rumahnya. Mungkin Akbar pulang agak malam. Soalnya Akbar harus membahas masalah pekerjaan di sana." Akbar meraih kunci mobil di meja buffet dan menyalami mamanya.
"Akbar berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Hati-hati di jalan, Bar. Ini sudah malam." Akbar menjawab pertanyaan mamanya dengan menunjukkan jempolnya. Akhirnya ia selamat dari topik perjodohan yang memusingkan kepalanya.
==================================
Tria mengendarai HONDA NSX GT3-nya dengan kecepatan maksimal. Ia galau dan depresi berat. Ia masih sulit mempercayai kalau Raphael sanggup menghianatinya seperti ini. Hatinya remuk saat memergoki Rahpael tengah bercumbu mesra dengan calon kakak iparnya sendiri, Karina Winardi. Padahal kurang dari sebulan lagi kakaknya, akan menikahinya.
Bayangan yang ia saksikan di apartemen tadi tidak bisa lepas dari kepalanya. Pemandangan saat Rapha dan Karina yang buru-buru mengenakan pakaian saat terciduk kembali mengait emosinya. Ia memukul stir mobil berkali-kali. Mencoba melampiaskan emosi yang tak kunjung reda. Tetapi bayangan itu tidak bisa hilang juga. Ia dan Raphael sudah berpacaran hampir setahun lamanya. Ia sudah terbiasa dengan kebersamaan mereka yang semakin hari sepertinya semakin serius. Raphael juga telah memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya.
Yang membuatnya berbesar hati adalah kedua orang tua Raphael tidak pernah mempersoalkan penampilan tomboynya. Mereka berdua wellcome-wellcome saja. Bu Miranti, ibu Rapha bahkan sudah sering menyinggung-nyinggung kapan ia bersedia dilamar. Bayangkan, seperti apa hancurnya perasaannya tadi saat melihat peristiwa yang setitik debu pun tidak pernah diduganya. Sebenarnya ia tadi hanya ingin mengambil bindernya yang tertinggal di apartemen Raphael. Ia memang sudah tahu password apartemen Rapha yang merupakan gabungan dari tanggal lahirnya sendiri. Makanya ia pun masuk ke dalam kamar begitu saja. Dulu Rapha mengatakan itu adalah sebagai tanda cintanya kepada dirinya. Cinta? Cinta taik kucing. Cuihh!
Walaupun tadi ia shock, untungnya ia masih sempat merekam aktifitas kedua penghianat menjijikkan itu walau hanya beberapa menit. Tetapi setidaknya ia sudah memiliki bukti. Saat itu juga ia mengirimkan video menjijikkan itu pada kakaknya.
Ia tahu kakaknya pasti mengamuk saat melihat video yang ia kirimkan. Karena ia melihat Karina tiba-tiba saja menerima panggilan telepon dan menghiba-hiba memohon maaf pada kakaknya. Ia yang tidak ingin melihat drama receh itu lebih lama lagi, segera meninggalkan apartemen. Ia menulikan telinganya dari Raphael yang terus saja berusaha meminta maaf dengan suara terbata-bata.
"Gue minta maaf Tri, gue khilaf. Gue terbawa suasana. Beri gue kesempatan untuk memperbaiki kesalahan gue, Tri. Gue berjanji nggak akan mengulanginya lagi." Raphael yang terus mengekori langkahnya di sepanjang lorong apartemen mulai berprilaku sama seperti Karin tadi. Menghiba-hiba memohon maaf. Seperti inilah kelakuan para pecundang. Mati-matian mencari alasan dan terus saja menyalahkan keadaan. Sampah!
"Lo bilang apa tadi Raph? Khilaf? Lo kira gue anak SD yang bisa lo kibulin mentah-mentah? Desahan uh ah oh yes oh no gitu lo bilang khilaf? Kalo mau ngibul all out dong, Raph. Jangan nanggung! Jadi keliatan banget kan gobloknya? Denger ya Raph, mulai hari ini kita putus! Dan inget, lo jangan deket-deket gue lagi kalo lo nggak kepengen junior lo gue bikin sate!"
Dan ia pun meninggalkan Raphael begitu saja. Mantan pacarnya itu masih terus memanggil-manggilnya walaupun ia telah masuk ke dalam lift. Saat Raphael menyusul dan bermaksud ikut masuk ke dalam lift, ia memberinya satu hook kanan sekuat tenaga. Rapha meringis kesakitan seraya memegangi hidungnya yang sepertinya patah. Emang enak!
Mulai saat ini, ia memutuskan bahwa ia tidak akan pernah lagi memberikan hatinya pada laki-laki mana pun juga di muka bumi ini. Laki-laki itu semua tidak ada yang setia dan tidak ada yang bisa dipercaya?
Lo inget-inget kata-kata gue ini ya, preman pasar. Jangan terlalu terpesona dengan laki-laki ganteng. Karena laki-laki ganteng itu kalo nggak gay ya brengsek, termasuk gue!
Ternyata sahabat oroknya itu seratus persen benar. Raphael sudah terbukti tadi bukan gay, tapi brengsek! Ponselnya bergetar. Saat melihat nama Raphael yang tertera di sana, seketika membuat emosinya kembali terkait. Dengan tangan kanan menahan stir mobil dan tangan kiri meraih ponsel, ia langsung saja melemparkan ponsel itu keluar melalui kaca mobilnya. Masih tidak puas juga, ia mundur lagi dan menggilas ponsel itu berkali-kali sampai remuk tak berbentuk. Barulah ia merasa puas. Setelah berhenti sejenak untuk menenangkan adrenalinnya yang up and down, ia kembali melanjutkan perjalanannya. Baru beberapa menit berkendara, gantian ponsel khususnya yang bergetar. Ia memang selalu menggunakan dua ponsel. Satu untuk umum dan satunya lagi khusus untuk orang-orang terdekatnya saja. Saat melihat nama Raphael yang meneleponnya. Ia membiarkannya saja. Kalau bosan, pasti si Rapha akan bosan sendiri.
Tetapi alam sepertinya mengujinya lagi. Seseorang tiba-tiba saja menyeberang jalan tanpa aba-aba. Ia kaget dan seketika menginjak rem dengan mendadak. Suara decitan ban yang di rem mendadak menggema cukup keras di malam yang semakin larut. Nyaris saja! Tria menarik nafas panjang seraya berkali-kali mengumankan kata alhamdullilah dalam hati. Setelah perasaannya sedikit tenang, ia membuka pintu mobil dan bersiap-siap untuk memaki orang hampir saja membuatnya masuk penjara tersebut.
"Hei brengsek! Lo mau mati?! Kalo lo emang pengen banget mati, noh lo terjun sana dari apertemen tingkat 20! Jangan malah bunuh diri dengan cara nabrakin badan lo yang segede gaban itu ke mobil gue dong, sialan!"
Tria memaki-maki seorang laki-laki yang nyelonong begitu saja saat menyeberang jalan dan nyaris saja tertabrak olehnya. Gelapnya jalan tanpa lampu penerangan membuatnya tidak bisa mengenali sosok pria yang nyaris diratakannya dengan aspal tersebut.
"Ck... ck... ck... Entah salah dan dosa apalah yang sudah diperbuat oleh Om Aksa dan Tante Lia sampai mereka mendapatkan putri dajjal kayak lo, Tri. Gue turut berduka cita atas matinya hati nurani lo ya? Udah lo yang salah, eh malah lo yang nyolot. Emang ya kebodohan lo itu ternyata tidak terbatas ?"
Tria mengenali suara tajam dan dingin itu, bahkan tanpa si empunya suara memperlihatkan wajahnya itu.
Adzan Akbar Dewangga!
Akbar menatap sinis wajah murka Tria yang kini semakin tampak seram saja di matanya. Gadis ini memang seperti preman saja kelakuannya. Lihat saja celana jeansnya yang sudah sobek-sobek dan tidak layak pakai. Belum lagi jaket kulitnya yang penuh dengan paku. Penampilan Tria ini sudah menyerupai seekor landak saja. Entah dari segi manalah penampilan yang seperti ini bisa disebut keren. Akbar sampai ngeri sendiri melihat gaharnya penampakan wujud putri teman baik mamanya ini.
"Lo bilang gue apa? Putri dajjal? Lah terus sebutan untuk lo sendiri itu apa? Pangeran gay penyuka batangan? Gitu? Dasar "pemain anggar" syaiton lo! Salah apalah Om Dewa yang laki abis dan Tante Ory yang cakep parah dapet anak laki "belok" kayak lo ini? Kesian, kesian, kesian!" Gantian Tria yang kini mencemooh anak teman baik ibunya ini. Banyak orang mengatakan bahwa Akbar yang laki abis ini gay, karena sama sekali tidak doyan perempuan. Secantik dan seseksi apapun perempuan itu, tidak ada yang pernah berhasil menaklukan hati si beruang kutub ini. Deket-deket dengan manusia ini bakalan kedinginan coeg! Kagak ada anget-angetnya sedikit pun! Sumvah, ane kagak bohong!
"Lo kesian sama ortu gue? Yang perlu dikasihanin di sini sebenarnya itu lo, Tri. Pacar lo main kuda-kudaan sama calon kakak ipar lo kan? Lo nggak usah ngelak, ini kakak lo baru aja curhat sama gue. Jadi yang seharusnya dikasihanin di sini itu siapa? Coba pikir pake otak lo yang cuma segede otak ayam itu?!"
Tria terpaku. Ada rasa malu, terhina dan tidak terima yang hadir secara bersamaan di hatinya. Ia sedih dan malu. Tanpa bisa ia tahan, air matanya mengalir begitu saja. Untuk pertama kalinya ia menangis di hadapan orang lain.
Akbar tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka kalau si preman pasar ini bisa tiba-tiba menangis sampai sesenggukan seperti ini. Tria terlihat menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang bergetar. Dadanya berombak-ombak menahan sedu sedan. Akbar menjadi tidak tega juga melihat keadaan Tria yang terpuruk seperti ini. Ia sudah kelewatan sepertinya.
"Sudahlah Tri. Untuk apa lo tangisin laki-laki nggak bermutu seperti si Raphael itu. Masih banyak laki-laki baik lainnya yang menunggu lo temuin. Lo tinggal tunggu waktu yang tepat aja."
Akbar maju dua langkah. Memeluk tubuh mungil Tria yang entah mengapa terasa begitu pas dalam pelukannya. Harum Tria juga unik. Ia tidak beraroma seperti bunga seperti umumnya para wanita. Tria beraroma buah. Ada rasa segar yang menguar dari tubuh hangatnya. Seperti campuran antara apple dan melon. Rasanya Tria ini begitu enak untuk di "makan".
"Emangnya di dunia ini masih ada laki-laki yang baik, Bar?" Tria balas memeluk erat tubuh Akbar dan diam-diam juga menghirup aroma pinus dan tembakau yang samar-samar menguar dari tubuhnya. Ia menganggap Akbar seperti Tama saat ini. Kakaknya itu selalu memeluknya di kala ia sedang bersedih. Aroma Akbar ini jantan sekali. Sayang sekali ia ini doyannya "pisang" dan bukan "apel".
"Ck! Ya ada dong, Tri. Contoh kongkritnya ya gue."
"Ah lo kan bukan laki, Bar. Lo itu gay, pecinta "batangan". Bukan pecinta perempuan. Lagi pu-"
Hemmmptttt!!!'
Tria kaget saat Akbar melumat ganas mulutnya dan mengobrak-abrik rasa manis bibirnya. Tria yang tidak mempunyai pengalaman dicium sepanas ini terbuai dan menggigil bersamaan. Tanpa sadar, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran berputar-putar yang membuainya dalam panasnya hasrat. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasannya. Perlahan bibir mereka berpisah. Tria masih mematung. Ia seperti tidak mempercayai apa yang baru saja mereka berdua lakukan.
"Setelah semua yang gue lakukan ini, apa lo masih menganggap kalo gue ini gay, Tri?" Akbar berbisik dengan suara serak dan parau di telinga Tria.
"Gue-gue..."
Tria yang masih shock tidak sanggup berkata-kata. Setelah ingatannya terkumpul semua barulah ia bereaksi keras.
"Dasar bajingan pervert! Gue matiin lo sekarang!" Tria mengamuk.
Akbar berusaha menahan beberapa pukulan hook dan jab kanan kiri Tria yang sedang mengamuk. Tria ini memang bukan perempuan biasa. Walaupun tubuhnya kecil, tapi tenaganya luar biasa. Terlihat sekali gerakan bela dirinya ini sudah terlatih lama. Setiap gerakannya konstan, bertenaga dan tepat sasaran. Kalau saja ia hanya laki-laki biasa tanpa menguasai teknik bela diri, pasti saat ini wajahnya sudah remuk tak berbentuk. Untungnya ia memang sudah terbiasa dengan yang namanya ilmu bela diri. Papanya sudah mendaftarkannya mengikuti pelatihan bela diri sejak ia mulai bisa berjalan. Ia, Tian, Tama dan Raphael Arthawra Al Rasyid satu club bela diri sedari mereka kecil. Hanya Tria yang beda club. Dia lebih suka satu club dengan Altan dan Bintang, dua sahabat oroknya yang berlatih di Green Hill Muay Thay Club. Asuhan Om Saka, pamannya sendiri. Saat ini dengan mudah ia menahan dua lengan Tria dan menempelkannya pada dada kekarnya."Harap lo ingat-ingat pelajaran hari ini. P
Tria melaju kencang berkejar-kejaran dengan Sena. Anak mentri ini ternyata pemain juga sepertinya. Jarak mereka berdua saling bayang membayangi. Tinggal dua tiang lagi. Tria akan mengambil resiko. Ia tidak mau membuat Ricard cuma kondangan saja. Ia harus menang bagaimanapun caranya. Tria melaju tenang saat Sena semakin dekat di samping kanannya. Ketika jarak tinggal satu tiang, ia langsung menggas habis motornya dan melaju kencang dalam posisi ampar-amparan. Tepuk tangan riuh menyambutnya yang duluan masuk dengan jarak sekebon dengan Sena. Ia melakukan selebrasi kemenangan dengan cara digantung dan atraksi superman. Aksinya ini disambut dengan tepuk tangan meriah dan cuitan riuh para pemegangnya. "Lo emang gila, Tri. Sampe sekarang lo emang nggak ada obatnya. Gue sungkem dah liat kedigjayaan lo. Mana masuknya sekebon lagi. Pasti tengsin berat tuh si Sena nggak lo kasih muka." Ricard memyambutnya dengan gembira. Ia hanya tertawa dan saling bertoss ria dengan Ri
"Tri... Tria... bangun Tri!" Tria merasa tubuhnya terguncang-guncang saat mengikuti ajang balap liar di medan yang berat. Sesaat kemuadian ia merasa terlempar ke laut lepas karena mulutnya mencecap rasa asin yang seketika membuat matanya terbuka. Ya salam, ternyata ia sedang bermimpi. Parahnya lagi, ibunya membangunkannya dengan cara menyiramkan segelas air ke wajahnya. Bukan itu saja, ibunya juga mencekoki mulutnya dengan garam dapur! Ia tengah dibangunkan paksa rupanya sodara-sodara. Bukannya sedang mengikuti ajang bali, apalagi terlempar ke laut lepas."Ahelah Bu, cara banguninnya B aja kali. Nggak usah pake cara ekstrem disembur-sembur air kayak mbah dukun segala. Basah 'kan Tria jadinya? Lagian ini kan hari minggu. Biarkan Tria berkencan sedikit lebih lama dengan bantal dan guling dulu kenapa sih?"Tria mengucek-ngucek matanya yang basah dengan gerakan malas-malasan. Namun tak urung ia bangkit juga dan berjalan ke kamar mandi sambil mel
"Jadi bagaimana, Tri? Apakah kamu menerima lamaran Sena ini?" Ayahnya menanyakan keputusannya atas lamaran Sena. Ruang tamu mendadak hening. Ia duduk di sebelah kakaknya. Kedua orang tuanya duduk saling bersebelahan di hadapannya. Disamping kanan dan kirinya duduk kedua orang tua Sena dan juga Sena sendiri. Semua pandangan kini tertuju padanya. Sudah pasti mereka semua penasaran akan jawaban yang akan diberikan olehnya.Tria terdiam. Ia memandang wajah kedua orang tua Sena dengan perasaan tidak enak. Siapa pun yang ada dalam posisi mereka, pasti amat sangat malu apabila lamaran mereka ditolak mentah-mentah. Istimewa Pak Bratayudha adalah orang besar negeri ini. Pasti akan ada konsekuensi yang akan diterima oleh keluarganya nanti, sebagai akibat dari rasa malu dan sakit hati sang mentri. Ia benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit."Apakah kamu tahu Tri, kalau kita berdua menikah maka semua bisnis ayah dan kakakmu akan semakin berke
"Noh liat si Tria makannya banyak beut kayak kuli. Apa ada ya orang yang patah hati tapi makannya selahap ini?" Decih Altan saat melihat Tria makan seperti orang yang sudah berhari-hari tidak melihat makanan.Tria nyengir saat melihat dua sahabat oroknya, Altan dan Bintang mendatanginya. Saat ini ia berada di cafe tempat nongkrong mereka SMA dulu. Seminggu telah berlalu sejak berita perselingkuhan Rapha dan Karin viral di dunia maya. Pada saat kejadian itu Altan tengah magang di luar kota sebagai syarat akhir tugas skripsinya. Sedangkan Bintang tengah diboyong Tian ke Surabaya. Tian terkadang suka membawa Bintang menemaninya bekerja kalau harus keluar kota dalam jangka waktu yang cukup lama. Makanya saat inilah mereka berdua baru bisa bertemu dengan Tria. Mereka bermaksud untuk membesarkan hati dan menghiburnya. Tetapi saat melihat kelakuan sahabat orok mereka ini, mereka berdua merasa sudah salah kaprah. Rugi sekali mereka khawatir berhari-hari sementara yang d
"Gue liat lo terobsesi banget ya sama gue, Bar? Minggu lalu lo ngaku-ngaku kalo udah buntingin gue. Terus lo juga berani-beraninya ngelamar gue. Udah gue tolak, sekarang lo masih usaha aja pengen ngekepin gue. Lo ini sebenernya pengen melakukan topik pengalihan issue atau bagaimana? Coba deh lo jelasin sama gue?" Tria melipat kedua tangannya ke dadanya. Memandang Akbar dengan tatapan skeptis. Sementara para nak muay farang yang tadi mengekorinya, memperhatikan perdebatannya dengan Akbar. Mungkin dalam benak mereka, Akbarlah coach di sini."Jangan menjawab pertanyaan gue dengan pertanyaan. Gue cuma mau lo jawab aja tantangan gue. Lo berani atau nggak? Kalo lo takut bilang aja. Manusiawi kok kalau manusia itu takut terhadap sesuatu. Apalagi kalau sesuatu itu ia yakini tidak dapat dihadapinya." Sahut Akbar santai.Wajah Tria memerah. Akbar secara tidak langsung ingin mengatakan kalau ia tidak yakin dapat mengalahkannya. Makanya ia takut.
"Ha--hallo Bi, gue bisa minta tolong kagak?" Tria berinisiatif untuk meminta kerjasama Bintang dalam membuat alasan atas ketidak pulangannya malam ini ke rumah. Saat ini ia ada di apartemen Akbar dan sang empunya apartemen sedang membersihkan diri di kamar mandi. Makanya ia bisa menelepon Bintang dengan bebas."Ck! Lo mau minta tolong apaan, Tri? Kalo bisa gue tolong, pasti lo gue tolongin lah. Sopan amat cara minta tolongnya. Pake nanya-nanya lagi. Ada apa sih emangnya? Serius amat, tapi kok suara lo lesu banget. Belum makan malem lo?""Iya belum. Gini, gue minta tolong ntar kalo nyokap, bokap atau kakak gue nelepon lo, lo bilang aja, iya gue nginep di rumah lo karena jabang bayi lo ngidam pengen barbeque. Gue minta tolongggg banget ya, Bi?" Dengan amat sangat terpaksa ia mengajak Bintang untuk berkonspirasi membohongi keluarganya. Kedua orang tuanya pasti curiga kalau dia tidak pulang ke rumah."Perasaan tadi siang ada
Tria merasa banyak sekali suara burung-burung yang sedang bercuitan di kepalanya. Hadeh ini burung siapa sih sekalinya bercuit berjamaah? Tapi tunggu... tunggu... sejak kapan kamarnya ada burung? Ia mengedip-ngedipkan matanya, sedikit silau oleh tirai yang sepertinya baru saja disibakkan. Hidung tajamnya mengendus-endus aroma parfum pria yang samar-samar ia kenali aromanya. Aroma parfum ini sepertinya berbahan dasar cengkeh dan musk. Ia seperti baru saja menghirup aroma parfum ini dari tubuh... Akbar! Astaghfirullahaladzim Allahuakbar, jangan-jangan dia ada di... di..."Selamat pagi, Tri. Sudah jam tujuh pagi lho ini. Ayo bangun dan sarapan. Nggak baik anak perawan bangun siang-siang. Eh sorry, lo kan udah nggak perawan lagi sekarang. Gue ulangi ya, nggak baik anak perempuan bangun siang-siang." Suara bariton Akbar membuat nyawanya yang masih separuh sadar langsung terkumpul semua. Ia ada di ranjang Akbar dalam keadaan acak-acakan. Bukan hanya dirinya yang lecek
"Bang, Tri hamil lagi," Tria memberikan test pack pada Akbar dengan raut wajah lesu. Maira baru berusia tiga bulan dan ia sudah hamil lagi. Apa kata dunia coba? Rasanya baru kemarin ia merasakan sakitnya melahirkan, dan beberapa bulan lagi ia akan kembali merasakan sakit yang sama. Lama-lama ia merasa mirip dengan si Cikur. Kucingnya Bik Sari yang anaknya juga banyak."Alhamdullilah."Akbar mengucap doa syukur karena telah diberikan kepercayaan kembali olehAllahuntuk mengasuh seorang anak. Baginya tidak masalah seberapa anak yang dititipkanAllahpadanya. Selama ia mampu mendidik dan membesarkan mereka, ia akan menerima seberapa di kasihnya saja. Anak adalah rezeki."Kenapa kamu murung begitu sih, sayang? Kamu tidak bahagia diberi kepercayaan oleh Allah untuk dititipi seorang anak lagi?" Akbar menghampiri istrinya yang terduduk lemas di sofa kamar. Sepertinya is
Tria membaringkan tubuh lelahnya yang berbalut bath rope di atas ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Hari ini adalah hari pernikahan ulangnya dengan Akbar. Dari pagi buta tadi ia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dimulai dari make up, hingga persiapan mental dan spiritualnya dalam memulai hidup baru lagi sebagai sepasang suami istri dengan Akbar. Dan semua itu benar-benar menguras energinya. Ia dan Akbar memang tidak ingin menggelar acara pernikahan besar-besaran. Toh mereka hanya akan melaksanakan ijab nikah ulang. Lain dengan saat pernikahan mereka yang pertama kali pada enam tahun yang lalu. Waktu itu pernikahan mereka sangat megah, sakral dan meriah. Maklum saja pernikahan pertama kalinya.Para tamu undangan yang sebagian besar adalah keluarga dan kerabat dekat sudah membubarkan diri semua. Sebelum membubarkan diri mereka terus saja meledeknya dan Akbar dengan candaan-candaan berbau mesum. Papa Dewa mala
Hari ini adalah hari ulang tahun mama mertuanya. Sedari pagi hari Azka sudah ribut ingin memberikan hadiah istimewa untuk oma tercintanya. Ia bahkan dengan rela memecahkan celengan ayamnya untuk memberikan hadiah yang spesial dari uangnya sendiri. Saat putranya bingung ingin memberikan hadiah apa karena uangnya tidak banyak, ia mengusulkan untuk membuat kue ulang tahun saja.Jadilah siang hari ini mereka sibuk berjibaku di dapur membuat cake yang bagus untuk mama mertuanya. Kemarin ia sudah resmi resign dari hotel dan akan segera kembali bekerja pada perusahaan ayahnya mulai senin depan. Jadi ia mempunyai waktu seminggu penuh untuk beristirahat dan leyeh-leyeh di rumah bersama dengan putra dan juga keluarga angkatnya. Mulai minggu depan ia dan Azka akan tinggal bersama dengan Akbar di rumah kedua orang tuanya setelah mereka berdua kembali menikah ulang. Ia tahu walaupun tidak ada ucapan talak, cerai atau pun pegat dari Akbar, tetapi mereka berdua telah ber
"Bagaimana Dama? Kamu ini kan ratu drama. Mau merasakan bagimana rasanya jantung kamu kayak dicubit-cubit gemes gitu?" Tria menatap santai Dama yang seketika terdiam. Raut wajahnya serba salah. Inilah sifat manusia yang sebenar-benarnya. Giliran salah, dengan mudahnya berucap maaf. Tapi bila keadaannya dibalik, langsung diam seribu bahasa. Tria berdiri dari tempat duduknya. Hari ini ia ingin membuang semua kesakitan, ketakutan dan hantu masa lalu yang terus membayangi hidupnya selama enam tahun ini. Mumpung hantunya memang sedang ada di sini. Tria menghampiri tempat duduk Michael dan duduk tepat di sisinya. Ia kemudian memandangi Michael dengan mesra. Napas Mike terlihat tersangkut-sangkut di lehernya. Dama tidak bisa bersuara tetapi ia memandangi perbuatan Tria dengan tatapan marah dan tidak rela.Rasa sakit hati tingkat pertama, batin Tria. See?Baru juga berandai-andai si Dama ini sudah terlihat seperti iklan orang yang sedang sakit asma
Semenjak tempat persembunyiannya ketahuan, kehidupan Tria yang selama enam tahun ini tenang, seketika riuh rendah. Dimulai dari kedatangan kedua orang tuanya beserta Tama dan Liz. Kedua mertuanya dan tentu saja sahabat oroknya Bintang dan Altan. Bintang nyaris mencekik lehernya karena kesal ditinggal kabur begitu saja selama enam tahun lamanya. Altan bahkan ingin menanamkan chips di tubuhnya agar ia bisa melacak jejaknya kalau-kalau suatu hari ia akan kabur lagi. Untuk pertama kali selama enam tahun hidup merananya, Tria tertawa. Dua sahabat oroknya emang gokil abis.Banyak orang yang mengata-ngatainya bodoh, terlalu idealis, hanya karena masalah kecil sampai kabur sebegitu lamanya. Ia tidak menyalahkan pemikiran mereka. Mereka bisa berkata seperti itu karena mereka belum mengalaminya sendiri. Apakah ia menyalahkan orang-orang yang menyebutnya bodoh dan lebay itu? Tidak sama sekali. Kondisi batin tiap orang itu berbeda-beda. Mereka yang mengatakannya bodoh
Tria mendorong troley berisi kebutuhan untuk membersihkan kamar para tamu-tamu hotel saat suara bergetar sarat kerinduan memanggil lirih namanya. Tria sontak menoleh spontan.Adzan Akbar Dewangga dan Azka, putra kesayangannya! Bagaimana putranya bisa bersama dengan Akbar!Tanpa banyak bicara lagi, Tria meninggalkan begitu saja troleynya dan bermaksud untuk segera berlalu secepat mungkin dari tempat ini. Ia belum sanggup untuk bertatap mata kembali dengan suami pembohongnya. Suami. Bibir Tria terasa kebas saat menyebut kata suami."Room maid Rara. Apa seperti ini sikap seorang karyawan hotel bila sedang bertugas? Meninggalkan tamu begitu saja? Apakah seperti ini juga hasil briefing yang setiap pagi ditekankan oleh Bu Sari terhadap para bawahannya dalam house keeping departement? Tidak memberi salam pada tamu dan meninggalkan troley begitu saja di koridor? Begitu room maid Rara?" Langkah Tria terhenti.
"Iya, Nak. Itu photo Ayah dan Bunda sewaktu menikah dulu. Kamu sudah sebesar ini sekarang ya, Nak?Alhamdullilah ya, Allah. Alhamdullilah. Alhamdullilah. Alhamdullilah." Akbar terus menerus mengucap syukur seraya memeluk erat putranya yang juga balas memeluk tak kalah erat. Akbar merasa kalau tangan kecil putranya sampai gemetaran. Mereka berdua menangis keras di sudut jalan. Suara sedu sedan mereka segera saja menarik minat pengguna jalan lainnya. Akbar dengan cepat menggendong putranya masuk ke dalam mobil. Ia tidak ingin menjadi tonton gratis dan akhirnya viral di dunia maya."Sini, Nak. Duduk dipangkuan ayah. Ayah masih rindu." Akbar mengangkat tubuh putranya ke atas pangkuan. Ia masih tidak percaya kalau putranya telah ia temukan. Eh salah, putranya lah yang menemukannya. Putranya ini begitu cerdas dan tampan. Tria telah merawatnya dengan baik."Kata Om Thomas, Azka tidak boleh lagi duduk dipangku depan di bawah stir mobil. Azka sudah be
"Ka--kabar baik Se--Pak Sena." Tria menjawab tergagap pertanyaan Sena seraya terus mundur-mundur karena Sena terus maju mendekati tempatnya berdiri."Bapak tamu kamar ini ya? Saya--saya melihat kalau kamar ini sudah vacant clean, Pak Sena. Door entrance, skirting, desk table, chairs, window frame, coffee table, bed side table, wardrobe, semua sudah dalam keadaan clean. Bahkan wall, furnitures, paintings, lamps, floor, linen, dan ceiling pun dalam keadaan vacant clean. Saya tidak mengerti di mana letak ketidakrapiannya. Saya bahkan sudah double check dengan--""Kalau saya bilang tidak rapi ya tidak rapi, kan saya tamunya." Jawab Sena santai sambil terus maju. Tria sampai terduduk di ujung ranjang karena tidak bisa mundur lagi."Tapi ini sudah rapi semua Pak. Tidak ada lagi yang harus saya kerjakan di-- astaga! Apa yang Bapak lakukan?" Tria kaget saat Sena menariknya berdiri, dan meraih ujung duvet cover secara
Enam tahun kemudian."Azkaaa... cepetan dong pakai sepatunya. Bunda sudah terlambat ini. Nanti kalau gaji Bunda dipotong kita nggak bisa beli puzzle lagi lho."Seorang wanita muda yang terlihat kerepotan membawa dua bungkus plastik besar yang berisi makanan, meneriaki seorang bocah TK yang terlihat buru-buru memakai sepatunya. Si wanita muda menyerahkan bungkusannya kepada seorang pria gagah berkaca mata yang menunggu ibu dan anak itu di atas sepeda motornya. Si pemuda gagah menerima bungkusan makanan dan menyusunnya rapi agar tidak tumpah atau terbalik-balik isinya. Ketika si ibu kembali berteriak memperingatkan putranya sekali lagi, si pemuda tersenyum geli. Ibu dan anak ini selalu saja ribut setiap pagi."Azka sudah siap kok ini, Nda. Ya sudah kalau kita nggak bisa beli puzzle lagi, kita beli lego aja kali, Nda. Gitu aja kok repot." Si anak TK balas berteriak seraya berlari-lari kecil menyusul om dan bundanya ya