Akbar berusaha menahan beberapa pukulan hook dan jab kanan kiri Tria yang sedang mengamuk. Tria ini memang bukan perempuan biasa. Walaupun tubuhnya kecil, tapi tenaganya luar biasa. Terlihat sekali gerakan bela dirinya ini sudah terlatih lama. Setiap gerakannya konstan, bertenaga dan tepat sasaran. Kalau saja ia hanya laki-laki biasa tanpa menguasai teknik bela diri, pasti saat ini wajahnya sudah remuk tak berbentuk. Untungnya ia memang sudah terbiasa dengan yang namanya ilmu bela diri. Papanya sudah mendaftarkannya mengikuti pelatihan bela diri sejak ia mulai bisa berjalan. Ia, Tian, Tama dan Raphael Arthawra Al Rasyid satu club bela diri sedari mereka kecil. Hanya Tria yang beda club. Dia lebih suka satu club dengan Altan dan Bintang, dua sahabat oroknya yang berlatih di Green Hill Muay Thay Club. Asuhan Om Saka, pamannya sendiri. Saat ini dengan mudah ia menahan dua lengan Tria dan menempelkannya pada dada kekarnya.
"Harap lo ingat-ingat pelajaran hari ini. Pertama, gue ini laki-laki normal, bukan gay. Lo udah merasakan sendiri betapa lakinya gue 'kan? Kedua, otak itu bisa lumpuh karena situasi yang tidak terkendali. Contohnya ya kejadian hari ini. Untuk ke depannya, jangan coba-coba mengata-ngatai gue gay lagi, kalo lo nggak mau merasakan betapa "lakinya" gue. Gue bahkan bisa membuat perut lo mlendung tiap tahun kalau gue mau. Paham lo?!"
Akbar melepaskan kedua tangan Tria dan menghampiri mobilnya yang terparkir di sudut jalan. Ia tadi baru saja keluar dari gang rumah Benny yang memang tidak bisa dilalui oleh mobil. Makanya ia memarkir mobilnya di ujung jalan. Siapa sangka saat akan pulang dan menyeberang ke arah mobilnya di parkir, ia malah nyaris ditabrak oleh si preman pasar.
Tria sama sekali tidak menyahuti kata-kata Akbar lagi. Dia tahu kalau ia tidak akan menang jika ia kembali memaksakan diri menghajar Akbar. Ayahnya selalu mengatakan jangan suka memaksakan diri. Jika kita tahu bahwa musuh kita itu lebih kuat, maka mundurlah dengan elegant. Mati hanya karena mempertahankan kekeras kepalaan itu konyol. Alih-alih mempertahankan harga diri, malah berakhir dengan "bunuh diri".
Suara deruman mobil Akbar yang menjauh menyadarkannya dari monolognya sendiri. Akhirnya si gay pervert itu pergi juga. Tria mengibas-ngibaskan kepalanya. Mencoba mengusir bayangan Akbar yang tadi menciumnya dengan ganas. Pipinya memanas. Dengan pacarnya saja ia hanya membolehkan pipinya untuk dicium. Tapi si gay sialan itu malah mencuri ciuman pertamanya. Katanya saja gay, tapi ciumannya ganas pake banget. Berarti selama ini kabar yang mengatakan bahwa Akbar adalah seorang gay hanyalah isapan jempol belaka. Gay itu seharusnya kan tidak bisa bernafsu terhadap lawan jenisnya. Atau jangan-jangan Akbar tadi mengganggapnya sebagai seorang laki-laki tampan? Kan ia memang lebih sering disebut tampan dari pada cantik? Kepalanya makin pusing saja memikirkannya. Auk ah gelap!
Tria baru saja memasang safety beltnya saat ponsel khususnya berbunyi. Ketika melirik nama pemanggilnya, ia berdecak kesal. Karina Winardi! Mau apalagi si pelakor satu ini. Tetapi ia tetap mengangkat teleponnya. Ia tidak mau Karin berpikir kalau ia adalah seorang pecundang. Apalagi memberi kesan kalau saat ini ia tengah menangis merana gundah gulana karena pacarnya direbut orang. Never!
"Ada apa, Rin? Mau mengabarkan kalo lo udah sukses ngerebut pacar orang, atau kabar akhirnya lo batal jadi bini orang?" Ia menjawab santai panggilan telepon dari Karina. Entah mengapa sekarang ia sudah kehilangan rasa sedihnya. Saat ini rasa-rasanya ia malah mensyukuri kejadian di hari ini. Setidaknya ia tidak jadi mempunyai kakak ipar yang berkelakuan seperti iblis dan juga pacar yang mirip dengan demit.
"Nggak dua-duanya, Tri. Gue cuma mau bilang kalo gue itu puas banget udah berhasil nunjukin kalo pacar lo itu sebenernya nggak cinta sama lo. Tapi sama gue. Gimana rasanya ngeliat pacar sendiri ena ena sama gue? Nyesek, gagal jantung atau pengen bunuh diri? Penasaran gue. Lo anjing-anjingin pastinya ya? Secara lo kan preman pasar!
"Gue anjing-anjingin? Ya kagak lah! Gila aja gue nyamain si Rapha sama anjing. Anjing itu kan setia. Kasian anjingnya kali. Ntar dia merasa terhina kalo disamain sama orang-orang tukang selingkuh kayak lo lo pada. Beda level, coeg! Lagian lo nggak usah bangga karena udah berhasil ngerebut pacar orang. Beban lo itu berat lho, Rin. Nggak gampang miara penghianat. Lagian ngapain juga lo nelpon gue? Mau nunjukin betapa busuknya lo? Gue kadang heran ngeliat manusia-manusia nggak ngotak kayak lo. Nggak sayang apa lo punya otak tapi kagak pernah dipake? Udah ya, gue tutup dulu teleponnya. Kelamaan ngomong sama lo bikin gue engap. Sampah semua sih omongan lo!" Tria menutup telepon Karin begitu saja. Eneg kelamaan berbicara dengan orang stress. Lebih baik ia menjernihkan pikirannya. Ikut adu balap liar misalnya. Saat ide cemerlang itu singgah di kepalanya, ia segera memutar balik arah mobil menuju tempat nongkrong favoritnya.
Tria tiba di arena balap liar dengan sambutan tepuk tangan heboh para joki-joki yang sedang mangkal. Sudah cukup lama juga ia tidak ke tempat ini. Raphael tidak suka melihatnya mengikuti bali alias balap liar. Raphael lupa, bahwa melalui arena inilah ia bisa mendapatkannya sebagai pacar. Raphael mengalahkannya di tempat ini setahun yang lalu. Dan konsekuensinya adalah ia harus menjadi pacarnya.
"Wohoooo... akhirnya ratu bali kita turun gunung juga. Dengaren amat Tri, lo tetiba aja mau nongkrong lagi di mari. Gandengan lo mane?" Ricard si biang taruhan menepuk bahu Tria yang baru saja keluar dari mobil dengan gembira. Sumber pundi-pundi uangnya sudah datang.
"Udah metong dia gue racunin pake oli kotor." Jawaban tidak terduga Tria membuat ngakak Ricard dan beberapa joki yang kebetulan berdekatan dengannya. Ia rindu suasana ini. Suara mesin motor yang digeber-geber. Tawa riuh yang kadang diselingi dengan obrolan seputar mesin motor, bahkan obrolan-obrolan nakal beberapa kelompok joki yang suka berpetualang dengan para cabe-cabean pemuja mereka. Ia bukan manusia sok suci. Ia tidak suka menghakimi orang lain. Ia berprinsip, selama lo kagak nyenggol gue, gue mah asik-asik aja. My life my rule. Dosa mah ditanggung masing-masing. Tidak usah menyinyiri hidup orang lain selama kita masih doyan ghibah sana sini.
"Lo mau terima panjar nggak, Tri?" Ricard menepuk bahu Tria. Mengajak untuk bertanding. Ada beberapa joki baru yang potensial hari ini. Di dalam mobil mewah yang terparkir di ujung arena, ada seorang anak pejabat yang sangat gemar mengikuti bali seperti ini. Taruhannya pasti bisa melar tinggi. Alamat untung gede dia!
"Ck! Lo nggak liat apa kalo gue nggak bawa motor? Gue jadi team hore aja di mari." Sahut Tria seraya membuka jaket bikers penuh stud-nya. Saat ini ia hanya menggunakan kaos oblong putih dan ripped jeansnya.
"Ah kalo itu mah gampang. Lo pake aja motor gue. Gimana?" Ricard masih berupaya membujuk Tria.
"Spek mesinnya apa? 58-an standard atau 58-an bebas?" Tria merasa tidak ada salahnya juga ia main sekali-sekali. Ia ingin melepas semua rasa suntuknya hari ini.
"Kita main yang 58-an standard aja? Oke? Kalo lo nggak yakin, ntar gue suruh yang lain lepas baut aja. Biar kita bisa sama-sama ngecek speknya. Gue juga nggak suka ada yang main curang dan pake selundupan." Ricard kembali berusaha untuk meyakinkan Tria.
"Kita main berapa tiang? Gue mau kita mainnya cengli dan gue sendiri yang ngecek scrutineering regulasi mesinnya. Kalo lo lo semua setuju sama syarat-syarat gue, ayo kita main." Keputusan Tria mengundang siulan heboh joki-joki lainnya. Beberapa orang bandar taruhan bahkan bertepuk tangan dengan gembira.
"Gue pasti megang lo, Tri." Denis, Pascal dan Wilmar mengangkat tangan kanan mereka masing-masing dengan optimis.
"Ntar kalo lo udah masuk garis finish, tunjukin gaya superman andalan lo ya, Tri? Mau gua masukin ke I* gue." Pascal nyengir saat merequest permintaan khusus pada Tria. Superman adalah posisi balapan sambil tiduran di atas motor.
"Bentar gue tanya orang yang mau nantang lo du-- nah ini orangnya udah nongol." Tria melihat Ricard bertepuk tangan saat seorang pria bertubuh tinggi besar berjalan menghampirinya.
"Nah Tri, ini Bratasena Pangestu. Gue yakin lo pasti sering ngeliat bokapnya di teve. Gue nggak perlu ngejelasin lagi kan?" Richard kini berpaling pada sang pemuda.
"Sen, ini yang harus lo kalahin. Nah lo bedua silahkan saling kenalan dulu, biar enak ntar lo bedua mainnya. Oh ya Sen, Tria adalah hantunya arena ini. Pokoknya dia ini nggak ada obatnya." Seperti biasa si makelar ini mempromosikan joki-nya.
"Tolong lo pake dulu jaket lo, Joki. Kalo lo cuma pake kaos tipis begini bisa nggak fokus mata gue nanti. Mau gue anggurin sayang, mau gue liatin ntar lo bilang gue kegatelan." Tria melongo sesaat mendengar betapa vulgarnya setiap kata-kata yang diucapkan si anak mentri.
Lo jual gue, gue borong deh.
"Lo yang ngaceng, kenapa mesti gue yang repot? Segala baju gue lo urusin. Otak lo noh yang dibenerin." Tria berdecih sinis. Ia bukanlah kaum feminisme yang ektrim ataupun seorang aktifis perempuan. Ia juga tahu sampai di mana batasan cara berpakaiannya. Ia hanya tidak suka dengan kaum laki-laki yang selalu saja bersikap otoriter dan menghakimi orang lain hanya karena ia tidak mampu menahan nafsunya sendiri. Lagi pula ia bukannya memakai tank top atau lingerine. Dia hanya mengenakan kaus oblong yang ukurannya bahkan sengaja ia lebihkan satu size agar tidak terlihat ketat. Manusia ini saja yang ngeres otaknya.
"Lo galak bener sih, Cantik. Gue demen yang begini ini nih. Pasti lo liar banget dalam segala hal. Bikin gue tambah napsu aja. Tapi gue harap saat lo jadi menantu menteri nanti, lo bisa berkebaya anggun ya, Cantik. Buat bokap dan nyokap gue bangga. Kalo gue sih sebenernya lebih seneng kalo lo nggak usah make apa-apa."
Sena mengedipkan sebelah matanya dengan gaya mesum. Tria menjinjitkan alisnya. Ia risih. Sena seperti sedang menggerayangi dirinya hanya melalui tatapan matanya. Laki-laki modelan begini pasti otaknya selalu ketinggalan di selangkangannya. Kalau saja ia tidak mendengar sendiri berondongan kata-kata vulgar dari salah seorang anak mentri negeri ini, ia pasti tidak akan percaya. Bratasena Pangestu yang nota bene adalah anak orang besar negeri ini, ternyata kelakuannya bejat juga kalau di luar layar kaca. A man is a man. Whatever the species, males never change, do they?
"Lo lupa kita juga punya mantan mentri kelautan dan perikanan yang gahar abis? Merokok, tatoo-an tapi juga bisa anggun saat berkebaya. Satu hal yang harus lo tau, perempuan zaman sekarang itu nggak cuma bisa ngangkang doang, tapi juga bisa lebih berprestasi dari kaum lo. Ayolah, sekarang udah tahun 2020, jangan lo pikir perempuan cuma alat untuk ngangetin lo di ranjang. Gue bahkan bisa bikin lo gosong di sana. So, tolong jaga lidah lo. Jangan asal ngecot doang. Sampah!" Balas Tria ganas. Ini laki sebiji mulutnya najis banget.
"Oh... berarti lo bersedia jadi mantu mentri dong? Makanya lo ngasih perbandingan ada mantan mentri yang gahar kayak lo, Cantik." Sena mengedipkan sebelah matanya. Tria memutar bola matanya. Bener-bener ya ini manusia sebiji!
"Wadoohhhh... belum apa-apa udah panas aja lo bedua. Ya udah, nggak perlu acara kenalan lagi dah. Ribet ntar urusannya kebawa-bawa waktu main. Ya udah kita main 6 tiang. Yang mau pegang Tria atau pegang Sena silahkan pasang di sini. Yang cuma naninu harap menjauh. Herman ayo mulai brodol. Kalian berdua harap segera bersiap-siap." Ricard mulai meneriakkan perintah.
Tria berjalan kembali ke arah mobilnya dan mengambil jaket. Saat-saat akan main begini, adrenalinnya selalu terpacu deras. Ia seperti mendapatkan pelampiasan untuk segala macam permasalahan hidupnya.
"Lo beneran udah putus dari Rapha, Tri?" Ricard sepertinya masih sangat penasaran dengan kisah cintanya. Ia mengangguk.
"Kenapa?" Tanya Ricard lagi.
"Dia ketangkul sama gue tadi pas lagi mau ena ena sama calon kakak ipar gue." Tria nyengir. Dia sudah lupa rasa sakit hatinya. Perasaannya yang sedih tadi sudah hilang semua. Jangan-jangan hatinya ini made in china. Makanya perasaannya gampang rusak. Hahaha.
"Ck! Makanya gue nggak mau nikah sama laki seberapa gantengnya pun mereka. Cukup gue pacarin dan gue emek-emek aja." Gantian sekarang si gay sejati, Ricard yang nyengir.
"Hans gimana kabarnya, Card?" Tria menanyakan kabar adik Ricard yang sakit kanker darah.
"Ya begitulah, Tri. Harus bolak balik kemo. Makanya gue harus rajin-rajin cari duit buat ngerawat dia. Cuma dia satu-satunya keluarga yang gue punya, Tri." Sahut Ricard sendu. Dibalik penampilan Ricard yang gahar dan seram, sesungguhnya ia adalah seorang penyayang yang lembut hati. Kisah kelam masa kecilnya yang kerap kali mendapatkan pelecehan seksual akhirnya merubah orientasi seksualnya. Setiap orang mempunyai permasalahan sendiri bukan? Dunia ini kejam, Man!
"Kalo lo mau gue bisa bantu biaya--"
"Nggak usah Tri. Gue bukan tukang minta-minta. Permintaan gue cuma satu, lo harus menang kali ini. Gue megang lo soalnya. Itu saja udah cukup buat gue. Ayo gaspol kan, Tri!" Ricard memberi semangat.
"Ahsiapppp... " Tria memberikan jawaban lucu untuk sekedar mencairkan suasana sedih yang sempat tercipta.
Tria dan Sena saat ini sedang bersiap-siap main. Sistem start kali ini bukan memakai aba-aba 123. Melainkan hanya dengan sistem geberan yang mengandalkan feeling joki. Tria mulai memancing emosi Sena dengan melakukan blayer dengan grip dan gas yang ditekan hingga RPM tertinggi. Ia tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Sena karena mereka berdua kini telah memakai helm full face. Kali ini ia harus menang. Ada titipan doa dari Ricard untuk biaya kemoterapi Hans, adiknya.
Gue harus menang, walaupun gue harus melewati panasnya api neraka, akan gue terjang demi Hans dan Ricard!

Naratria Abiyaksa

Adzan Akbar Dewangga
NOTES.
Joki adalah pelaku balap atau rider balap liar.
Satu tiang adalah tanda jarak yang berpatokan pada tiang listrik atau tiang lampu yang ada di jalan. Di mana persatu tiang memiliki jarak sekitar 20-50 meter yang dapat dibuat patokan hitung panjang trek.
Lepas baut adalah Liat spek mesin dengan cara bongkar mesin.
Melar adalah Pasangan taruhan bisa dinaikan sesuai kemampuan masing-masing bengkel.
58-an standard adalah spek mesin hanya menggunkan piston 58 mm sedangkan part pendukung lainnya standar.
Pegang adalah pilihan atau berpihak.
Selundupan adalah motor pinjaman untuk di pertandingkan yang tidak mau dikasih tahu nama bengkelnya.
Naninu adalah seseorang yang 'belagu' bergaya sok bos racing tapi enggak punya duit.
Brodol adalah waktunya totalan untuk taruhan dan bikin motor kencang.
Geberan adalah start yang tidak ada hitungan atau aba-aba terlebih dahulu dan hanya pakai feeling joki.
Blayer adalah memancing emosi lawan dengan grip gas ditekan hingga RPM tinggi.
Nggak ada obatnya adalah tidak pernah kalah saat balapan dan tidak ada lawan. Namun, dihaluskan bahasanya menjadi nggak ada obatnya.
Tria melaju kencang berkejar-kejaran dengan Sena. Anak mentri ini ternyata pemain juga sepertinya. Jarak mereka berdua saling bayang membayangi. Tinggal dua tiang lagi. Tria akan mengambil resiko. Ia tidak mau membuat Ricard cuma kondangan saja. Ia harus menang bagaimanapun caranya. Tria melaju tenang saat Sena semakin dekat di samping kanannya. Ketika jarak tinggal satu tiang, ia langsung menggas habis motornya dan melaju kencang dalam posisi ampar-amparan. Tepuk tangan riuh menyambutnya yang duluan masuk dengan jarak sekebon dengan Sena. Ia melakukan selebrasi kemenangan dengan cara digantung dan atraksi superman. Aksinya ini disambut dengan tepuk tangan meriah dan cuitan riuh para pemegangnya. "Lo emang gila, Tri. Sampe sekarang lo emang nggak ada obatnya. Gue sungkem dah liat kedigjayaan lo. Mana masuknya sekebon lagi. Pasti tengsin berat tuh si Sena nggak lo kasih muka." Ricard memyambutnya dengan gembira. Ia hanya tertawa dan saling bertoss ria dengan Ri
"Tri... Tria... bangun Tri!" Tria merasa tubuhnya terguncang-guncang saat mengikuti ajang balap liar di medan yang berat. Sesaat kemuadian ia merasa terlempar ke laut lepas karena mulutnya mencecap rasa asin yang seketika membuat matanya terbuka. Ya salam, ternyata ia sedang bermimpi. Parahnya lagi, ibunya membangunkannya dengan cara menyiramkan segelas air ke wajahnya. Bukan itu saja, ibunya juga mencekoki mulutnya dengan garam dapur! Ia tengah dibangunkan paksa rupanya sodara-sodara. Bukannya sedang mengikuti ajang bali, apalagi terlempar ke laut lepas."Ahelah Bu, cara banguninnya B aja kali. Nggak usah pake cara ekstrem disembur-sembur air kayak mbah dukun segala. Basah 'kan Tria jadinya? Lagian ini kan hari minggu. Biarkan Tria berkencan sedikit lebih lama dengan bantal dan guling dulu kenapa sih?"Tria mengucek-ngucek matanya yang basah dengan gerakan malas-malasan. Namun tak urung ia bangkit juga dan berjalan ke kamar mandi sambil mel
"Jadi bagaimana, Tri? Apakah kamu menerima lamaran Sena ini?" Ayahnya menanyakan keputusannya atas lamaran Sena. Ruang tamu mendadak hening. Ia duduk di sebelah kakaknya. Kedua orang tuanya duduk saling bersebelahan di hadapannya. Disamping kanan dan kirinya duduk kedua orang tua Sena dan juga Sena sendiri. Semua pandangan kini tertuju padanya. Sudah pasti mereka semua penasaran akan jawaban yang akan diberikan olehnya.Tria terdiam. Ia memandang wajah kedua orang tua Sena dengan perasaan tidak enak. Siapa pun yang ada dalam posisi mereka, pasti amat sangat malu apabila lamaran mereka ditolak mentah-mentah. Istimewa Pak Bratayudha adalah orang besar negeri ini. Pasti akan ada konsekuensi yang akan diterima oleh keluarganya nanti, sebagai akibat dari rasa malu dan sakit hati sang mentri. Ia benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit."Apakah kamu tahu Tri, kalau kita berdua menikah maka semua bisnis ayah dan kakakmu akan semakin berke
"Noh liat si Tria makannya banyak beut kayak kuli. Apa ada ya orang yang patah hati tapi makannya selahap ini?" Decih Altan saat melihat Tria makan seperti orang yang sudah berhari-hari tidak melihat makanan.Tria nyengir saat melihat dua sahabat oroknya, Altan dan Bintang mendatanginya. Saat ini ia berada di cafe tempat nongkrong mereka SMA dulu. Seminggu telah berlalu sejak berita perselingkuhan Rapha dan Karin viral di dunia maya. Pada saat kejadian itu Altan tengah magang di luar kota sebagai syarat akhir tugas skripsinya. Sedangkan Bintang tengah diboyong Tian ke Surabaya. Tian terkadang suka membawa Bintang menemaninya bekerja kalau harus keluar kota dalam jangka waktu yang cukup lama. Makanya saat inilah mereka berdua baru bisa bertemu dengan Tria. Mereka bermaksud untuk membesarkan hati dan menghiburnya. Tetapi saat melihat kelakuan sahabat orok mereka ini, mereka berdua merasa sudah salah kaprah. Rugi sekali mereka khawatir berhari-hari sementara yang d
"Gue liat lo terobsesi banget ya sama gue, Bar? Minggu lalu lo ngaku-ngaku kalo udah buntingin gue. Terus lo juga berani-beraninya ngelamar gue. Udah gue tolak, sekarang lo masih usaha aja pengen ngekepin gue. Lo ini sebenernya pengen melakukan topik pengalihan issue atau bagaimana? Coba deh lo jelasin sama gue?" Tria melipat kedua tangannya ke dadanya. Memandang Akbar dengan tatapan skeptis. Sementara para nak muay farang yang tadi mengekorinya, memperhatikan perdebatannya dengan Akbar. Mungkin dalam benak mereka, Akbarlah coach di sini."Jangan menjawab pertanyaan gue dengan pertanyaan. Gue cuma mau lo jawab aja tantangan gue. Lo berani atau nggak? Kalo lo takut bilang aja. Manusiawi kok kalau manusia itu takut terhadap sesuatu. Apalagi kalau sesuatu itu ia yakini tidak dapat dihadapinya." Sahut Akbar santai.Wajah Tria memerah. Akbar secara tidak langsung ingin mengatakan kalau ia tidak yakin dapat mengalahkannya. Makanya ia takut.
"Ha--hallo Bi, gue bisa minta tolong kagak?" Tria berinisiatif untuk meminta kerjasama Bintang dalam membuat alasan atas ketidak pulangannya malam ini ke rumah. Saat ini ia ada di apartemen Akbar dan sang empunya apartemen sedang membersihkan diri di kamar mandi. Makanya ia bisa menelepon Bintang dengan bebas."Ck! Lo mau minta tolong apaan, Tri? Kalo bisa gue tolong, pasti lo gue tolongin lah. Sopan amat cara minta tolongnya. Pake nanya-nanya lagi. Ada apa sih emangnya? Serius amat, tapi kok suara lo lesu banget. Belum makan malem lo?""Iya belum. Gini, gue minta tolong ntar kalo nyokap, bokap atau kakak gue nelepon lo, lo bilang aja, iya gue nginep di rumah lo karena jabang bayi lo ngidam pengen barbeque. Gue minta tolongggg banget ya, Bi?" Dengan amat sangat terpaksa ia mengajak Bintang untuk berkonspirasi membohongi keluarganya. Kedua orang tuanya pasti curiga kalau dia tidak pulang ke rumah."Perasaan tadi siang ada
Tria merasa banyak sekali suara burung-burung yang sedang bercuitan di kepalanya. Hadeh ini burung siapa sih sekalinya bercuit berjamaah? Tapi tunggu... tunggu... sejak kapan kamarnya ada burung? Ia mengedip-ngedipkan matanya, sedikit silau oleh tirai yang sepertinya baru saja disibakkan. Hidung tajamnya mengendus-endus aroma parfum pria yang samar-samar ia kenali aromanya. Aroma parfum ini sepertinya berbahan dasar cengkeh dan musk. Ia seperti baru saja menghirup aroma parfum ini dari tubuh... Akbar! Astaghfirullahaladzim Allahuakbar, jangan-jangan dia ada di... di..."Selamat pagi, Tri. Sudah jam tujuh pagi lho ini. Ayo bangun dan sarapan. Nggak baik anak perawan bangun siang-siang. Eh sorry, lo kan udah nggak perawan lagi sekarang. Gue ulangi ya, nggak baik anak perempuan bangun siang-siang." Suara bariton Akbar membuat nyawanya yang masih separuh sadar langsung terkumpul semua. Ia ada di ranjang Akbar dalam keadaan acak-acakan. Bukan hanya dirinya yang lecek
"Anda ini siapa? Apakah kantor ini mempekerjakan karyawati dari rombongan sirkus musiman? Anda sepertinya sangat ahli melompat dan memanjat-manjat. Hanya kurang back sound ah uh ah, payung serta pisang saja sepertinya."Ia dengan cepat membalikkan posisinya dalam posisi siap sempurna.Pandangannya bertemu dengan tatapan tajam pria berahang persegi khas daerah Sumatera. Pasti ini auditor yang telah membuatnya ngos-ngosan mengangkut file-file lama yang bejibun. Hah, dikira ia takut apa? Apa pun ceritanya ia ini kan anak boss, sementara si tukang audit ini hanya orang gajian ayahnya. Si auditor ini bilang apa tadi? Karyawati dari sirkus musiman? Kurang suara ah uh ah payung dan pisang? Eh sianying,ia berani mengatai anak bossnya sendiri monyet!"Anda ini siapa? Mengapa Anda mengata-ngatai saya monyet?" Walaupun kesal Tria masih berusaha bersikap sopan. Bagaimana pun ini di kantor. Lain cerita kalau laki-laki ini menca
"Bang, Tri hamil lagi," Tria memberikan test pack pada Akbar dengan raut wajah lesu. Maira baru berusia tiga bulan dan ia sudah hamil lagi. Apa kata dunia coba? Rasanya baru kemarin ia merasakan sakitnya melahirkan, dan beberapa bulan lagi ia akan kembali merasakan sakit yang sama. Lama-lama ia merasa mirip dengan si Cikur. Kucingnya Bik Sari yang anaknya juga banyak."Alhamdullilah."Akbar mengucap doa syukur karena telah diberikan kepercayaan kembali olehAllahuntuk mengasuh seorang anak. Baginya tidak masalah seberapa anak yang dititipkanAllahpadanya. Selama ia mampu mendidik dan membesarkan mereka, ia akan menerima seberapa di kasihnya saja. Anak adalah rezeki."Kenapa kamu murung begitu sih, sayang? Kamu tidak bahagia diberi kepercayaan oleh Allah untuk dititipi seorang anak lagi?" Akbar menghampiri istrinya yang terduduk lemas di sofa kamar. Sepertinya is
Tria membaringkan tubuh lelahnya yang berbalut bath rope di atas ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Hari ini adalah hari pernikahan ulangnya dengan Akbar. Dari pagi buta tadi ia sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dimulai dari make up, hingga persiapan mental dan spiritualnya dalam memulai hidup baru lagi sebagai sepasang suami istri dengan Akbar. Dan semua itu benar-benar menguras energinya. Ia dan Akbar memang tidak ingin menggelar acara pernikahan besar-besaran. Toh mereka hanya akan melaksanakan ijab nikah ulang. Lain dengan saat pernikahan mereka yang pertama kali pada enam tahun yang lalu. Waktu itu pernikahan mereka sangat megah, sakral dan meriah. Maklum saja pernikahan pertama kalinya.Para tamu undangan yang sebagian besar adalah keluarga dan kerabat dekat sudah membubarkan diri semua. Sebelum membubarkan diri mereka terus saja meledeknya dan Akbar dengan candaan-candaan berbau mesum. Papa Dewa mala
Hari ini adalah hari ulang tahun mama mertuanya. Sedari pagi hari Azka sudah ribut ingin memberikan hadiah istimewa untuk oma tercintanya. Ia bahkan dengan rela memecahkan celengan ayamnya untuk memberikan hadiah yang spesial dari uangnya sendiri. Saat putranya bingung ingin memberikan hadiah apa karena uangnya tidak banyak, ia mengusulkan untuk membuat kue ulang tahun saja.Jadilah siang hari ini mereka sibuk berjibaku di dapur membuat cake yang bagus untuk mama mertuanya. Kemarin ia sudah resmi resign dari hotel dan akan segera kembali bekerja pada perusahaan ayahnya mulai senin depan. Jadi ia mempunyai waktu seminggu penuh untuk beristirahat dan leyeh-leyeh di rumah bersama dengan putra dan juga keluarga angkatnya. Mulai minggu depan ia dan Azka akan tinggal bersama dengan Akbar di rumah kedua orang tuanya setelah mereka berdua kembali menikah ulang. Ia tahu walaupun tidak ada ucapan talak, cerai atau pun pegat dari Akbar, tetapi mereka berdua telah ber
"Bagaimana Dama? Kamu ini kan ratu drama. Mau merasakan bagimana rasanya jantung kamu kayak dicubit-cubit gemes gitu?" Tria menatap santai Dama yang seketika terdiam. Raut wajahnya serba salah. Inilah sifat manusia yang sebenar-benarnya. Giliran salah, dengan mudahnya berucap maaf. Tapi bila keadaannya dibalik, langsung diam seribu bahasa. Tria berdiri dari tempat duduknya. Hari ini ia ingin membuang semua kesakitan, ketakutan dan hantu masa lalu yang terus membayangi hidupnya selama enam tahun ini. Mumpung hantunya memang sedang ada di sini. Tria menghampiri tempat duduk Michael dan duduk tepat di sisinya. Ia kemudian memandangi Michael dengan mesra. Napas Mike terlihat tersangkut-sangkut di lehernya. Dama tidak bisa bersuara tetapi ia memandangi perbuatan Tria dengan tatapan marah dan tidak rela.Rasa sakit hati tingkat pertama, batin Tria. See?Baru juga berandai-andai si Dama ini sudah terlihat seperti iklan orang yang sedang sakit asma
Semenjak tempat persembunyiannya ketahuan, kehidupan Tria yang selama enam tahun ini tenang, seketika riuh rendah. Dimulai dari kedatangan kedua orang tuanya beserta Tama dan Liz. Kedua mertuanya dan tentu saja sahabat oroknya Bintang dan Altan. Bintang nyaris mencekik lehernya karena kesal ditinggal kabur begitu saja selama enam tahun lamanya. Altan bahkan ingin menanamkan chips di tubuhnya agar ia bisa melacak jejaknya kalau-kalau suatu hari ia akan kabur lagi. Untuk pertama kali selama enam tahun hidup merananya, Tria tertawa. Dua sahabat oroknya emang gokil abis.Banyak orang yang mengata-ngatainya bodoh, terlalu idealis, hanya karena masalah kecil sampai kabur sebegitu lamanya. Ia tidak menyalahkan pemikiran mereka. Mereka bisa berkata seperti itu karena mereka belum mengalaminya sendiri. Apakah ia menyalahkan orang-orang yang menyebutnya bodoh dan lebay itu? Tidak sama sekali. Kondisi batin tiap orang itu berbeda-beda. Mereka yang mengatakannya bodoh
Tria mendorong troley berisi kebutuhan untuk membersihkan kamar para tamu-tamu hotel saat suara bergetar sarat kerinduan memanggil lirih namanya. Tria sontak menoleh spontan.Adzan Akbar Dewangga dan Azka, putra kesayangannya! Bagaimana putranya bisa bersama dengan Akbar!Tanpa banyak bicara lagi, Tria meninggalkan begitu saja troleynya dan bermaksud untuk segera berlalu secepat mungkin dari tempat ini. Ia belum sanggup untuk bertatap mata kembali dengan suami pembohongnya. Suami. Bibir Tria terasa kebas saat menyebut kata suami."Room maid Rara. Apa seperti ini sikap seorang karyawan hotel bila sedang bertugas? Meninggalkan tamu begitu saja? Apakah seperti ini juga hasil briefing yang setiap pagi ditekankan oleh Bu Sari terhadap para bawahannya dalam house keeping departement? Tidak memberi salam pada tamu dan meninggalkan troley begitu saja di koridor? Begitu room maid Rara?" Langkah Tria terhenti.
"Iya, Nak. Itu photo Ayah dan Bunda sewaktu menikah dulu. Kamu sudah sebesar ini sekarang ya, Nak?Alhamdullilah ya, Allah. Alhamdullilah. Alhamdullilah. Alhamdullilah." Akbar terus menerus mengucap syukur seraya memeluk erat putranya yang juga balas memeluk tak kalah erat. Akbar merasa kalau tangan kecil putranya sampai gemetaran. Mereka berdua menangis keras di sudut jalan. Suara sedu sedan mereka segera saja menarik minat pengguna jalan lainnya. Akbar dengan cepat menggendong putranya masuk ke dalam mobil. Ia tidak ingin menjadi tonton gratis dan akhirnya viral di dunia maya."Sini, Nak. Duduk dipangkuan ayah. Ayah masih rindu." Akbar mengangkat tubuh putranya ke atas pangkuan. Ia masih tidak percaya kalau putranya telah ia temukan. Eh salah, putranya lah yang menemukannya. Putranya ini begitu cerdas dan tampan. Tria telah merawatnya dengan baik."Kata Om Thomas, Azka tidak boleh lagi duduk dipangku depan di bawah stir mobil. Azka sudah be
"Ka--kabar baik Se--Pak Sena." Tria menjawab tergagap pertanyaan Sena seraya terus mundur-mundur karena Sena terus maju mendekati tempatnya berdiri."Bapak tamu kamar ini ya? Saya--saya melihat kalau kamar ini sudah vacant clean, Pak Sena. Door entrance, skirting, desk table, chairs, window frame, coffee table, bed side table, wardrobe, semua sudah dalam keadaan clean. Bahkan wall, furnitures, paintings, lamps, floor, linen, dan ceiling pun dalam keadaan vacant clean. Saya tidak mengerti di mana letak ketidakrapiannya. Saya bahkan sudah double check dengan--""Kalau saya bilang tidak rapi ya tidak rapi, kan saya tamunya." Jawab Sena santai sambil terus maju. Tria sampai terduduk di ujung ranjang karena tidak bisa mundur lagi."Tapi ini sudah rapi semua Pak. Tidak ada lagi yang harus saya kerjakan di-- astaga! Apa yang Bapak lakukan?" Tria kaget saat Sena menariknya berdiri, dan meraih ujung duvet cover secara
Enam tahun kemudian."Azkaaa... cepetan dong pakai sepatunya. Bunda sudah terlambat ini. Nanti kalau gaji Bunda dipotong kita nggak bisa beli puzzle lagi lho."Seorang wanita muda yang terlihat kerepotan membawa dua bungkus plastik besar yang berisi makanan, meneriaki seorang bocah TK yang terlihat buru-buru memakai sepatunya. Si wanita muda menyerahkan bungkusannya kepada seorang pria gagah berkaca mata yang menunggu ibu dan anak itu di atas sepeda motornya. Si pemuda gagah menerima bungkusan makanan dan menyusunnya rapi agar tidak tumpah atau terbalik-balik isinya. Ketika si ibu kembali berteriak memperingatkan putranya sekali lagi, si pemuda tersenyum geli. Ibu dan anak ini selalu saja ribut setiap pagi."Azka sudah siap kok ini, Nda. Ya sudah kalau kita nggak bisa beli puzzle lagi, kita beli lego aja kali, Nda. Gitu aja kok repot." Si anak TK balas berteriak seraya berlari-lari kecil menyusul om dan bundanya ya