Beranda / Romansa / When The Lights Fade / Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

Share

Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

Penulis: Planets
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 05:36:13

Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah.

Ternyata aku salah besar.

Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.

Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara.

Aku membuka salah satu postingan yang viral.

“Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?”

Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun.

Seseorang telah menggali masa laluku.

Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini.

Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku.

Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya, seolah-olah benar-benar peduli.

Aku menatapnya lalu tertawa sinis. “Bukankah kau bilang akan menjadikanku bintang besar? Tapi kenapa rasanya justru aku sedang dibakar hidup-hidup?”

Tanpa menunggu izinku, Nathan melangkah masuk ke dalam apartemen. “Dengar, ini hanya tahap awal. Orang-orang selalu mencari alasan untuk menjatuhkanmu. Yang penting adalah bagaimana caramu merespons mereka.”

Aku menyilangkan tangan di depan dada. “Dan bagaimana seharusnya aku merespons?”

Nathan duduk santai di sofa, menyandarkan tubuhnya dengan rileks. “Biarkan tim PR kita yang mengurus semuanya. Mereka akan mengalihkan perhatian publik ke berita lain. Kau cukup diam dan fokus melakukan pekerjaanmu.”

Aku menatapnya lama. “Jadi aku harus pura-pura tidak peduli?”

Dia tersenyum tipis. “Bukan berpura-pura. Kau harus benar-benar tidak peduli.”

Kata-katanya membuat dadaku sesak.

Aku bisa saja menutup mata, mengikuti arus, membiarkan diriku dibentuk seperti yang mereka inginkan.

Tapi kalau aku melakukannya, apa lagi yang akan tersisa dari diriku?

Sebelum aku sempat menjawab, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Adrian Storm: “Kita perlu bicara. Sekarang.”

Aku mengangkat kepala, menatap Nathan.

“Aku harus pergi,” kataku.

Nathan mengamati ekspresiku sesaat, lalu mengangguk pelan. “Hati-hati dengan Storm, Elara. Dia selalu tahu cara menghancurkan sesuatu yang sedang dibangun.”

Aku tidak menjawab.

Jauh di dalam hati, aku mulai ragu tentang apa yang sedang terjadi padaku—entah sedang dibangun atau justru perlahan dihancurkan. Aku memilih diam, membiarkan perasaan itu bergelung dalam dadaku.

lalu mengambil tas dan segera beranjak pergi. Begitu keluar, kulihat mobil adrian sudah terparkir di tepi jalan, seakan memang sengaja menungguku.

"Halo, adrian. Kau datang di waktu yang tepat," kataku sambil membuka pintu mobil.

Tapi dia tidak menanggapi ucapanku, malah terus sibuk menatap layar ponselnya, seolah aku tidak ada di sana.

Dari dalam mobil Adrian, aku hanya mampu memandangi lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas cepat di luar sana, seakan-akan setiap cahaya itu sedang mengejek kebimbanganku yang semakin dalam.

Dia belum mengatakan apa-apa sejak aku masuk, hanya menyetir dengan rahang terkatup dan jemarinya mengetuk-ngetuk gelisah di kemudi.

Setelah beberapa menit terjebak dalam keheningan yang menyesakkan, akhirnya aku membuka suara.

“Kalau kau hanya mau diam, buat apa kau memintaku datang?”

Adrian menghela napas, tak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada jalan, seperti sedang bertarung dengan pikirannya sendiri.

“Kau tidak seharusnya menandatangani kontrak itu,” katanya akhirnya.

Aku tertawa kecil, sinis. “Terima kasih peringatannya. Sayangnya kau terlambat beberapa minggu.”

Dia menoleh sekilas, ekspresinya tajam. “Aku serius, Elara. Nathan Cross bukan hanya produser ambisius. Dia berbahaya.”

Aku menyilangkan tangan di dada. “Lalu kenapa kau tidak bilang dari awal? Kenapa kau baru sekarang tiba-tiba mencoba menyelamatkanku?”

Genggamannya di setir semakin erat. “Karena dulu aku pernah seperti dirimu.”

Aku terdiam.

“Aku pernah menandatangani kontrak dengan Nathan bertahun-tahun lalu,” Adrian melanjutkan, suaranya lebih pelan sekarang. “Dan itu adalah keputusan terburuk sepanjang hidupku.”

Mobil berhenti di sebuah area parkir kosong. Adrian mematikan mesin, kemudian menoleh ke arahku.

“Kau pikir kenapa aku jatuh? Kenapa aku tiba-tiba menghilang dari industri musik?”

Aku menelan ludah, mulai sadar ke mana arah pembicaraan ini.

“Nathan,” bisikku lirih.

Adrian mengangguk perlahan. “Dia tidak hanya mengendalikan artisnya, Elara. Dia menghancurkan mereka begitu mereka tidak lagi menguntungkan.”

Aku merasakan udara dalam mobil seolah semakin tipis, sulit untuk bernapas.

“Apa yang dia lakukan padamu?” tanyaku, hampir takut mendengar jawabannya.

Adrian menatap lurus ke depan, matanya dipenuhi bayangan masa lalu yang kelam.

“Dia membuatku percaya bahwa aku membutuhkan dia lebih dari dia membutuhkan aku. Dia memberiku segalanya—panggung, ketenaran, uang. Tapi setiap kali aku mencoba melakukan sesuatu dengan caraku sendiri, dia menariknya dariku perlahan-lahan. Aku mulai kehilangan kendali, kehilangan diriku sendiri. Dan saat aku cukup lemah, dia membuangku begitu saja seperti sampah.”

Aku merasakan darahku membeku.

Adrian menoleh padaku, ekspresinya lebih serius daripada yang pernah kulihat sebelumnya.

“Kau pikir ini hanya tentang musik, Elara? Ini tentang kendali. Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan ketika kau akhirnya sadar, semuanya mungkin sudah terlambat.”

Aku ingin menyangkal. Ingin percaya bahwa aku berbeda, bahwa aku mampu bertahan dan melewati ini. Namun jauh di lubuk hati, aku tahu dia benar.

Nathan sudah mulai menarikku lebih dalam ke permainannya.

Dan aku baru menyadarinya sekarang.

n

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06

Bab terbaru

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status