Home / Romansa / When The Lights Fade / Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

Share

Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

Author: Planets
last update Last Updated: 2025-03-05 22:21:06

Jakarta selalu penuh kejutan.

Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm.

Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu.

Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar."

Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?"

Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-acara besar. Dalam setahun, semua orang akan mengenal namamu."

Sebelum aku sempat merespons, suara tawa kecil terdengar dari seberang meja.

"Klasik."

Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, gelas birnya berputar pelan di tangannya. Mata abu-abu gelapnya menatap Nathan dengan sesuatu yang nyaris seperti… jijik.

Nathan menoleh, ekspresinya masih terkendali, tapi aku melihat rahangnya sedikit mengeras. "Ada masalah, Storm?"

Adrian mengangkat bahu. "Masalahnya, aku sudah melihat skenario ini berkali-kali. Kau mengemasnya dengan kata-kata manis, menjual mimpi, dan mereka percaya. Tapi pada akhirnya?" Dia meneguk birnya pelan, lalu menatap langsung ke mata Nathan. "Kau menghabisi mereka satu per satu."

Udara di antara mereka berubah. Dingin. Padat. Seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar gesekan bisnis di antara mereka.

Nathan mengulas senyum tipis, tapi kali ini ada sesuatu yang tajam di dalamnya. "Jangan bicara seolah kau lebih baik dariku," katanya pelan. "Kau cuma pecundang yang bersembunyi di balik botol itu."

Adrian mengangkat gelasnya sedikit. "Setidaknya aku nggak menjual mimpi kosong."

Aku diam, memperhatikan mereka berdua dengan saksama. Ini bukan sekadar persaingan. Ini sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum aku pahami.

Aku menarik napas panjang dan kembali menatap Nathan. "Jadi, kau mau aku menandatangani sesuatu sekarang?"

Nathan tersenyum lagi. "Nggak perlu buru-buru. Aku ingin kau berpikir dulu. Tapi aku harap kau membuat keputusan yang cerdas."

Dia berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan yang terlalu terukur, lalu menatapku sekali lagi. "Jangan buang bakatmu, Elara. Aku akan menunggumu."

Dan dengan itu, dia pergi.

Aku menatap meja kosong di depanku sebelum mengalihkan pandangan ke Adrian.

"Kau mau bilang aku harus menolak?"

Dia menatapku lama sebelum akhirnya menghembuskan napas pendek. "Aku cuma mau bilang, pastikan kau tahu konsekuensinya sebelum tanda tangan." Matanya gelap, lebih serius dari sebelumnya. "Di dunia ini, tidak ada yang gratis."

Aku menyandarkan kepala ke kursi, menatap langit-langit café yang penuh bercak asap rokok.

"Aku sudah tahu itu dari awal."

Dan sejak malam ini, aku sadar…

Begitu kau masuk ke permainan ini, tidak ada jalan keluar tanpa kehilangan sesuatu.

Jakarta, dini hari.

Kartu nama itu terasa lebih berat dari seharusnya.

Hitam pekat dengan huruf emas mengkilap. Nathan Cross. Tidak ada nomor telepon, hanya alamat email dan logo label rekamannya—logo yang sudah jadi impian banyak penyanyi.

Aku bisa merobeknya sekarang juga. Bisa pura-pura lupa bahwa pertemuan tadi malam terjadi. Bisa tetap bernyanyi di café kecil, menikmati hidup tanpa harus memikirkan kontrak, sorotan kamera, atau omong kosong tentang ketenaran.

Tapi aku tahu aku nggak akan melakukannya.

Ada suara kecil di dalam kepalaku yang terus berbisik: Bagaimana kalau ini satu-satunya kesempatanmu?

Aku menghela napas, menyandarkan kepala ke kursi di apartemen sempitku. Di luar, Jakarta masih hidup,klakson mobil, suara motor melaju di aspal basah, gemuruh hujan yang mulai turun.

Ponselku bergetar. Nama Adrian Storm muncul di layar. Aku menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat.

"Kau memikirkannya." Suaranya muncul tanpa basa-basi.

"Tentu saja," jawabku. "Aku bukan idiot."

Di seberang sana, Adrian tertawa kecil. "Masalahnya bukan soal idiot atau tidak. Masalahnya, apakah kau cukup pintar untuk tahu apa yang sedang kau hadapi."

Aku berdiri, berjalan ke jendela, menatap hujan yang perlahan mengaburkan cahaya lampu jalan. "Katakan padaku, Storm. Apa sebenarnya yang terjadi antara kau dan Nathan?"

Adrian diam beberapa detik sebelum akhirnya bicara.

"Dulu aku juga punya tawaran seperti yang dia berikan padamu," suaranya terdengar lebih dalam, lebih berat. "Aku menandatanganinya. Aku pikir itu awal dari sesuatu yang besar. Dan dalam beberapa tahun, aku memang berada di puncak."

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang dingin merayap di punggungku sebelum dia melanjutkan.

"Tapi di industri ini, tidak ada yang gratis, Elara. Setiap hal yang mereka berikan, ada harga yang harus dibayar."

Aku menggigit bibir. "Dan apa harga yang kau bayar?"

Sunyi.

Adrian menarik napas panjang.

"Semuanya."

Satu kata yang terasa lebih berat dari yang seharusnya.

Aku membenci jawaban itu. Itu bukan jawaban yang bisa aku pahami. Itu bukan jawaban yang memberiku kejelasan, hanya lebih banyak pertanyaan. Tapi sebelum aku sempat menuntut lebih, Adrian berbicara lagi.

"Kalau kau mau menerima tawaran Nathan, aku nggak akan menghentikanmu. Tapi pastikan kau tahu apa yang kau masuki."

Aku menutup mata. Aku tahu Adrian mungkin benar. Tapi aku juga tahu, dia bukan aku.

Aku menatap kartu nama di meja.

Besok, aku akan menghubungi Nathan.

Aku akan membuat perjanjian dengan iblis.

Dan aku harus memastikan aku tidak terbakar di dalamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

    Last Updated : 2025-03-04

Latest chapter

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status