Home / Romansa / When The Lights Fade / Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

Share

When The Lights Fade
When The Lights Fade
Author: Planets

Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

Author: Planets
last update Last Updated: 2025-03-04 18:50:43

Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan.

Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli.

Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang.

"Aku bernyanyi untuk siapa?

Mereka bilang aku punya cahaya,

Tapi mengapa aku merasa redup?"

Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu.

Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan penuh dengan sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak bisa jelaskan.

Aku menutup mata. Aku nggak ingin melihat mereka yang mendengar. Aku hanya ingin larut dalam musikku sendiri, membiarkan perasaan mengalir seperti arus air yang tenang, tapi dalam.

Ketika lagu itu berakhir, aku menghembuskan napas pelan. Ruangan terasa sunyi sesaat sebelum terdengar tepuk tangan kecil, singkat tapi tulus. Aku membuka mata, sedikit menunduk sebagai tanda terima kasih sebelum turun dari panggung.

Aku berjalan menuju bar, mengambil segelas air putih, lalu duduk di kursi dekat jendela. Kaca di hadapanku memantulkan bayanganku sendiri—rambut yang agak berantakan, raut wajah yang kelelahan, dan mata yang selalu terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak tahu apa.

Aku baru saja akan meneguk air putihku ketika sebuah suara menghentikanku.

"Kau nggak seharusnya nyanyi di tempat sekecil ini."

Aku menoleh.

Di sudut ruangan, seorang pria duduk dengan santai, botol bir di tangannya terangkat sedikit, seolah bersulang ke arahku. Jaket kulitnya terlihat usang, rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresinya nyaris tak terbaca. Tapi matanya… matanya penuh sesuatu yang sulit dijelaskan.

Aku mengernyit. Siapa orang ini?

"Maaf?"

"Suaramu lebih besar dari kafe ini," katanya, suaranya dalam dan sedikit berat. "Tapi kalau kau nggak hati-hati, dunia ini bisa menghancurkanmu sebelum kau tahu cara bertahan."

Aku menatapnya lebih lama. Aku sudah cukup sering bertemu pelanggan yang mabuk dan bicara omong kosong, tapi pria ini terasa berbeda. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya terdengar… berbahaya.

"Dan siapa yang bisa mengajarkan caranya?" tanyaku, mencoba menantang balik.

Dia menyeringai tipis, lalu meneguk birnya sebelum menjawab.

"Adrian Storm."

Aku mengerutkan kening. Nama itu terdengar asing, tapi anehnya terasa familiar.

Aku bukan tipe orang yang obsesif dengan dunia musik, tapi aku cukup sering membaca cerita-cerita di internet—tentang musisi yang pernah bersinar lalu jatuh dalam kehancuran. Adrian Storm. Nama itu… seakan pernah muncul dalam satu atau dua kontroversi. Tapi aku nggak bisa mengingatnya dengan jelas.

"Jadi... harusnya aku tahu siapa kau?" Aku menaikkan satu alis, menatapnya penuh skeptis.

Dia tertawa kecil, tapi tawanya terasa kosong.

"Tidak harus," katanya, mengangkat bahu. "Tapi aku tahu siapa kau. Dan aku tahu kau bisa jadi sesuatu yang lebih."

Aku menghela napas pelan. Sudah berapa kali aku mendengar kata-kata seperti ini?

Orang-orang mabuk yang bilang aku berbakat. Pelanggan yang menyarankan aku ikut ajang pencarian bakat. Orang-orang yang memberikan kartu nama dengan janji manis, tapi kosong.

"Kau salah paham, Pak... Storm, ya?" Aku menyandarkan punggung ke kursi, menatapnya tanpa minat. "Aku nggak mengejar ketenaran. Aku cuma suka nyanyi."

Dia menggeleng pelan, ekspresinya tetap tajam.

"Itu yang mereka semua katakan di awal," jawabnya, nadanya penuh keyakinan. "Sampai suatu hari kau sadar, bahwa sekadar 'suka nyanyi' tidak cukup untuk bertahan di dunia ini."

Aku mengepalkan tanganku di atas meja. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menusuk. Karena aku tahu... dia benar.

Sebelum aku sempat membalas, suara langkah mendekat.

"Elara, aku ada tawaran buatmu."

Aku menoleh, dan jantungku mencelos seketika.

Nathan Cross.

Nama itu terkenal. Terlalu terkenal. Produser musik yang sedang naik daun, pria yang selalu ada di belakang bintang-bintang baru yang sukses dalam hitungan bulan.

Aku melirik Adrian. Ekspresinya sulit ditebak. Tapi saat mata mereka bertemu, aku merasakan sesuatu berubah di udara.

Ada ketegangan yang sulit dijelaskan.

Aku menelan ludah, merasa seakan baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar menyanyi di kafe kecil ini.

Aku menarik napas dalam.

Aku tidak tahu bahwa malam ini akan mengubah hidupku selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

    Last Updated : 2025-03-05
  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

    Last Updated : 2025-03-07

Latest chapter

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status