Home / Romansa / When The Lights Fade / Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

Share

Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

Author: Planets
last update Last Updated: 2025-03-06 20:45:14

Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan.

Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku.

Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar.

Adrian Storm.

Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya.

Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang.

Namun, ada harga yang harus dibayar.

Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani.

Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras.

Aku menatap pintu tanpa segera bergerak. Tak lama, suara Adrian terdengar dari luar.

“Buka pintunya, Elara.”

Aku menarik napas berat sebelum melangkah untuk membuka pintu.

Dia berdiri di sana, jaket kulitnya basah oleh gerimis, pandangannya menusuk tajam.

“Kau benar-benar akan melakukannya?” tanyanya langsung.

Aku bersandar di pintu, balas menatapnya. “Aku belum menandatangani apa pun.”

Adrian melirik ke arah meja di belakangku, tempat map hitam terbuka itu tergeletak. Dia menghela napas singkat, lalu masuk tanpa izin.

“Aku tahu kau menginginkan ini, Elara. Aku tahu rasanya menginginkan lebih dari sekadar menyanyi di café tiap malam. Tapi bukan ini jalannya.”

Aku menyilangkan lengan. “Lalu jalannya apa, Adrian? Menunggu keajaiban? Aku tidak punya waktu untuk itu.”

Adrian menatapku dalam-dalam. “Aku bisa membantumu.”

Aku tertawa sinis. “Bagaimana caranya? Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri.”

Ekspresinya berubah. Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu yang berbeda di matanya—lebih dari sekadar kemarahan atau frustrasi. Ada luka yang lebih dalam.

Dia mendekatiku, suaranya melunak. “Setidaknya aku tidak akan menjual jiwaku untuk seseorang seperti Nathan.”

Sesuatu menegang dalam dadaku. “Kau membencinya, ya?” tanyaku pelan.

Adrian menyipitkan mata. “Kau pikir ini hanya soal aku dan dia? Elara, aku pernah berdiri persis di tempatmu sekarang. Aku pernah menghadapi janji-janji indah itu. Aku tahu bagaimana akhirnya.”

Aku terdiam sejenak, tak bisa membantahnya. “Lalu, apa tawaranmu?” tanyaku akhirnya.

Adrian menarik napas dalam sebelum menjawab. “Jalan yang lebih sulit, lebih lambat. Tapi setidaknya, jalan itu tetap milikmu.”

Aku menghela napas panjang, meraih map hitam di meja, lalu menutupnya perlahan.

“Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Adrian mengangguk singkat, lalu melangkah ke pintu. Sebelum keluar, dia menoleh lagi padaku.

“Jangan biarkan mereka mengendalikanmu, Elara.”

Kemudian dia pergi.

Aku berdiri terpaku di tengah ruangan, kontrak itu masih di genggamanku, dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa takut.

Bukan takut gagal.

Tapi takut mengambil keputusan yang salah.

Aku menatap map hitam itu untuk terakhir kalinya.

Sudah dua hari sejak kedatangan Adrian ke apartemenku, sejak kata-katanya terus berputar-putar di kepalaku seperti lagu yang tak bisa kuhentikan.

“Jangan biarkan mereka mengendalikanmu.”

Namun, apa yang lebih buruk—dikendalikan orang lain atau tak pernah maju selangkah pun?

Aku menandatangani kontrak itu pagi ini.

Kini, aku berdiri di studio rekaman terbesar di Jakarta, dikelilingi orang-orang asing: produser, teknisi, asisten—semua bergerak seperti mesin yang sudah berjalan lama sebelum kehadiranku.

Di balik kaca studio, Nathan duduk dengan ekspresi puas.

“Santai saja, Elara,” ucapnya lewat interkom. “Ini baru sesi pertama. Kita akan menemukan versi terbaik suaramu.”

Aku mengangguk pelan, menarik napas dalam sebelum memakai headphone dan berdiri di depan mikrofon.

Musik pun mulai dimainkan, melodinya langsung kukenali. Tapi ini bukan lagu ciptaanku.

Liriknya muncul di layar di depanku, dan aku mulai bernyanyi sesuai instruksi mereka.

“Aku menemukan cahaya di dalam gelap, Tapi apakah ini benar-benar milikku?”

Suaraku terdengar sempurna, namun asing bagiku.

Nathan mengangkat tangan, menghentikan rekaman.

“Coba lebih lembut di bagian chorus,” katanya. “Kami mau kesan polos, rentan.”

Aku mengerutkan kening. “Tapi menurutku lagu ini akan lebih kuat kalau dibawakan tegas.”

Nathan tersenyum. “Percayalah padaku, aku tahu apa yang terbaik untukmu.”

Aku menelan rasa protesku.

Lagu itu kunyanyikan ulang sesuai kemauan mereka.

Begitu sesi selesai, aku keluar studio sambil melepas headphone. Nathan berdiri di hadapanku dengan senyum puas.

“Bagus sekali,” pujinya. “Lagu ini akan menjadi hit pertamamu.”

Aku tersenyum samar, tapi di dalam hati ada sesuatu yang terasa tidak benar.

Bukan karena lagunya buruk.

Tapi karena untuk pertama kalinya, suara yang keluar dari mulutku tak lagi terasa seperti milikku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

    Last Updated : 2025-03-04
  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

    Last Updated : 2025-03-05
  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

    Last Updated : 2025-03-06

Latest chapter

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status