Home / Romansa / When The Lights Fade / Bab 6: Tidak ada jalan keluar

Share

Bab 6: Tidak ada jalan keluar

Author: Planets
last update Last Updated: 2025-03-07 05:44:32

Aku tak bisa tidur malam itu.

Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.

“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”

Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.

Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”

Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.

Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.

Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”

Dadaku terasa sesak.

Aku tahu jawabannya.

Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.

Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.

“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”

Tanganku gemetar saat membuka lampiran tambahan. Aku terpaku menatap angka yang tertulis di sana.

Lima miliar rupiah.

Aku menahan napas, merasa seperti tenggelam dalam kenyataan yang pahit. Itu bukan jumlah yang mampu kubayar, bahkan seumur hidup sekalipun.

Nathan memang tidak mengikatku dengan rantai besi. Dia mengikatku dengan sesuatu yang jauh lebih kuat—utang yang mustahil aku lunasi.

Aku terjebak.

Aku mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri dan berpikir jernih.

Jika aku tak bisa keluar, maka aku hanya punya satu pilihan tersisa: bertahan.

Namun, jika aku harus bertahan, aku tidak akan diam begitu saja.

Aku akan memainkan permainan ini.

Tapi kali ini, dengan caraku sendiri.

Aku menatap kontrak itu dalam waktu yang lama, membiarkan angka-angka dan kata-kata di dalamnya mengendap di pikiranku.

Akhirnya aku mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat.

Elara: “Aku ingin bertemu.”

Balasan Nathan datang lebih cepat dari yang kuduga.

Nathan: “Bagus. Kantorku, jam 10 pagi.”

Aku menatap balasan singkat itu sesaat, lalu tersenyum kecil.

Kali ini bukan kau yang menentukan pertemuan ini, Nathan. Kali ini, aku yang memegang kendali.

Keesokan paginya, aku sudah duduk di hadapan Nathan di kantornya yang terasa terlalu dingin untuk ukuran pagi hari. Dia tersenyum ramah, seolah-olah kami sedang berada dalam pertemuan biasa.

“Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, Elara?” tanyanya santai.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. “Aku ingin lebih banyak kendali atas musikku sendiri.”

Nathan tertawa pelan, seakan aku baru saja melontarkan candaan. “Elara, kau belum mengerti juga, ya? Musikmu sekarang sudah sempurna. Kau tak perlu mengubah apa pun.”

Aku tetap mempertahankan ekspresi datar. “Aku ingin kontrol yang lebih besar terhadap apa yang kunyanyikan.”

Nathan menatapku tajam, senyumnya kini perlahan menghilang. “Kau sudah punya kendali, hanya saja kendali itu harus tetap dalam batas yang sudah kami tentukan. Kami tahu yang terbaik untukmu.”

Aku menarik napas panjang, merasakan amarah mulai membara dalam diriku. Tapi kali ini aku tak akan membiarkan emosiku terlihat.

Aku mengubah posisi dudukku, bersandar dengan sikap lebih tenang. “Baiklah,” kataku akhirnya. “Kalau begitu, setidaknya biarkan aku menulis satu lagu untuk album berikutnya.”

Nathan mengerutkan kening sesaat, lalu tersenyum tipis, merasa telah menang lagi. “Baik, aku izinkan. Satu lagu, Elara.”

Aku mengangguk pelan, berpura-pura puas dengan jawabannya.

Dia pikir aku menerima permainannya begitu saja.

Tapi dia salah besar.

Aku tidak hanya akan menulis sebuah lagu. Aku akan menyampaikan pesan tersembunyi di dalamnya.

Jika aku tak bisa keluar dari permainan ini, maka aku akan mengubah aturan mainnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

    Last Updated : 2025-03-07
  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

    Last Updated : 2025-03-04
  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

    Last Updated : 2025-03-05
  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

    Last Updated : 2025-03-06
  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

    Last Updated : 2025-03-07

Latest chapter

  • When The Lights Fade   Bab 8: Harga kebebasan

    Aku menatap layar ponselku, melihat jumlah views di YouTube terus melonjak tajam. 5 juta. 7 juta. 10 juta. Dalam waktu kurang dari 24 jam, penampilanku tadi malam sudah menjadi berita utama di mana-mana. “Elara Vienne Langgar Skrip di Siaran Langsung—Apa yang Sebenarnya Terjadi?” “Lirik Berani: Apakah Elara Memberontak Terhadap Labelnya Sendiri?” “Cross Entertainment Belum Memberikan Pernyataan Resmi.” Aku seharusnya senang. Aku seharusnya merasa menang. Namun aku tahu lebih baik daripada siapa pun, kemenangan ini memiliki harga yang sangat mahal. Ponselku bergetar. Nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang, aku mengangkatnya. “Elara.” Suara Nathan. Dingin, tanpa emosi. Aku menggenggam ponsel lebih erat. “Kalau kau mau mengomeliku, simpan saja energimu.” Nathan tertawa pelan di seberang sana. Tapi kali ini, tawanya terdengar kosong, sama sekali tanpa kehangatan. “Kau pikir ini lucu?” suaranya terdengar rendah, mengancam. “Kau kira bisa mempermalukanku di depan publik tanpa

  • When The Lights Fade   Bab 7: Lagu rahasia

    Aku duduk di depan piano di studio kecil apartemenku, jari-jariku melayang di atas tuts tanpa menekan satu nada pun.Nathan berpikir dia sudah menang. Dia yakin aku akan terus membuat lagu-lagu yang sesuai dengan citra yang telah dibentuknya untukku.Tapi aku punya rencana lain.Aku meraih pena, menulis lirik di buku catatanku. Kata demi kata mengalir bebas—bukan tentang cinta yang klise atau impian kosong, melainkan tentang kebebasan yang direnggut, suara yang dibungkam, tentang seseorang yang mencoba keluar dari sangkar emas.Sebuah lagu protes yang tersembunyi di balik melodi lembut.Aku menyebutnya "Cage of Gold".---Dua minggu kemudian, aku duduk di dalam studio rekaman Cross Entertainment, dipisahkan oleh kaca tebal dari tim produksi. Nathan duduk di ruang kontrol, memperhatikanku dengan ekspresi puas.Dia yakin aku sudah menerima keadaan.Aku menutup mata, mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai menyanyikan lagu itu."They gave me wings, but told me not to fly...They built me

  • When The Lights Fade   Bab 6: Tidak ada jalan keluar

    Aku tak bisa tidur malam itu.Kata-kata Adrian terus bergema di pikiranku.“Nathan tidak akan pernah membiarkanmu menjadi dirimu sendiri. Dan begitu kau menyadarinya, mungkin semua sudah terlambat.”Aku menatap langit-langit apartemen yang gelap, mendengarkan suara kota yang tetap hidup meski malam sudah larut. Dengan gelisah, aku meraih ponsel dan mengetik pesan.Elara: “Bagaimana jika aku ingin keluar?”Aku menatap layar, menunggu jawaban Adrian.Beberapa menit berlalu sebelum balasannya muncul.Adrian: “Pertanyaanmu salah, Elara. Yang seharusnya kau tanyakan adalah: apakah kau masih bisa keluar?”Dadaku terasa sesak.Aku tahu jawabannya.Dengan jantung berdebar, aku membuka email, mencari salinan kontrak yang telah kutandatangani. Kubaca ulang setiap pasalnya, mencari celah, mencari harapan.Dan di sana—tertera jelas sesuatu yang terlewat saat pertama kali kubaca.“Pelanggaran kontrak akan dikenakan penalti finansial sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh label.”Tanganku gemetar sa

  • When The Lights Fade   Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Kupikir setelah wawancara itu, semuanya akan menjadi lebih mudah. Ternyata aku salah besar. Dua hari setelah siaran itu, aku terbangun oleh notifikasi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Twitter dipenuhi tagar baru: #FakeStarElara. Aku membuka salah satu postingan yang viral. “Elara Vienne, penyanyi instan yang muncul tiba-tiba dari entah mana. Siapa sebenarnya dia? Bakat alami atau sekadar produk label besar?” Di bawahnya terpampang jelas foto-foto lamaku—aku bernyanyi di café kecil dengan hoodie lusuh, aku yang terlihat begitu rapuh dan tidak percaya diri. Foto-foto yang tak pernah kuunggah di mana pun. Seseorang telah menggali masa laluku. Aku buru-buru mematikan ponselku, mencoba mengatur napas. Aku tahu dunia ini kejam, tapi aku tak pernah menyangka serangan itu akan datang secepat ini. Ketukan keras di pintu mengalihkan pikiranku. Kubuka pintu itu, dan mendapati Nathan berdiri di sana dengan ekspresi setenang biasanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, s

  • When The Lights Fade   Bab 4: Kesepakatan Yang Berbahaya

    Aku menatap langit Jakarta dari balkon apartemen kecilku, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau. Di bawah sana, kota ini bergerak tanpa peduli,jalan dipenuhi mobil yang melaju tanpa henti, lampu-lampu neon gemerlapan, orang-orang mengejar dan berjuang dengan penuh harapan. Aku baru saja kembali dari pertemuan dengan Nathan Cross. Sekarang hanya ada dua pilihan di depanku: melangkah ke dalam api atau tetap di sini dan membiarkan dunia terus berlalu tanpa aku. Ponselku bergetar di saku. Aku tahu siapa yang menelepon tanpa harus melihat layar. Adrian Storm. Kubiar nada deringnya berhenti, lalu masuk ke dalam apartemen. Map hitam pemberian Nathan masih tergeletak di meja, seolah menungguku menandatanganinya. Di dalamnya tertulis janji-janji indah: album pertama, promosi besar, tur nasional. Nama Elara Vienne akan dikenal semua orang. Namun, ada harga yang harus dibayar. Aku meraih pulpen, bersiap menandatangani. Tiba-tiba, pintu apartemen diketuk keras. Aku menatap

  • When The Lights Fade   Bab 3: Langkah pertama menuju jurang

    Jakarta masih berdenyut hidup ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo Cross Entertainment terpampang gagah di pintu utamanya. Langkahku terasa berat. Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa ini hanya sebuah pertemuan biasa, tapi ada sesuatu yang terus mengusikku. Mungkin karena jauh di lubuk hati aku tahu, begitu melangkah masuk ke ruangan itu, aku tak akan lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tak menarik perhatianku. Seorang resepsionis mengantarku ke lantai atas, menuju sebuah ruangan yang lebih mirip markas kekuasaan daripada kantor seorang produser musik. Dinding kaca besar memperlihatkan panorama sore Jakarta, deretan gedung tinggi yang berkilauan disapu cahaya keemasan matahari. Di sisi lain, rak-rak penuh penghargaan dan foto-foto bintang terkenal memenuhi ruangan, seakan memberi peringatan diam-diam: Mereka inilah yang berhasil—apakah kau ingin menjadi salah satunya? Di tengah ruangan, Nathan Cross berdiri dengan se

  • When The Lights Fade   Bab 2: Perjanjian Dengan Iblis

    Jakarta selalu penuh kejutan. Baru kemarin aku cuma penyanyi café yang nggak jelas arahnya, dan sekarang aku duduk di meja yang sama dengan Nathan Cross dan Adrian Storm. Aku tahu siapa Nathan. Semua orang di industri ini tahu. Dia bukan sekadar produser—dia pencipta bintang. Tapi kalau ada satu hal yang aku pelajari dari hidup ini, itu adalah tidak ada kesuksesan yang gratis. Selalu ada harga. Selalu. Nathan menatapku, senyumnya terlalu santai untuk seseorang yang punya kekuatan sebesar itu. "Elara, aku sudah dengar suaramu." Nada suaranya lembut, seperti seseorang yang baru saja menemukan berlian di tengah lumpur. "Kau punya sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang bisa aku bentuk jadi lebih besar." Aku menyandarkan punggung ke kursi, berusaha tetap terlihat tenang. "Dan kau mau menawarkan apa?" Dia menyilangkan tangan di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Kontrak. Aku bisa tempatkan kau di bawah label besar. Lagu-lagumu akan masuk ke radio, kau akan tampil di acara-aca

  • When The Lights Fade   Bab 1:Lagu Di Tengah Malam

    Jakarta, tengah malam. Kota ini nggak pernah benar-benar tidur, tapi buat orang-orang kayak aku, malam lebih terasa seperti tempat bersembunyi ketimbang sesuatu yang layak dirayakan. Aku berdiri di atas panggung kecil di sebuah kafe di Kemang, tangan menggenggam mikrofon yang terasa dingin di kulitku. Lampu gantung yang redup menciptakan bayangan samar di dinding bata merah, sementara aroma kopi dan asap rokok bercampur jadi satu. Obrolan pelan mengalir di antara meja-meja, suara gelak tawa terdengar sesekali, tapi aku nggak peduli. Begitu aku mulai bernyanyi, semuanya menghilang. "Aku bernyanyi untuk siapa? Mereka bilang aku punya cahaya, Tapi mengapa aku merasa redup?" Suara gitarku mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirku. Suara itu... mungkin bukan suara terbaik di dunia. Aku tahu aku bukan penyanyi dengan teknik sempurna, bukan suara yang bisa menang di ajang pencarian bakat. Tapi aku nggak peduli soal itu. Suaraku adalah luka yang terbuka—mentah, jujur, dan p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status