“Sebentar lagi latihan dimulai, Lu,” ucap Joo. Aku mengangaguk dan tersenyum tipis menanggapinya.
“Aku ganti baju dulu.”Melihat Joo mengangguk, lantas aku kembali berjalan menuju ruang ganti. Embusan napas kasar keluar dari mulutku, rasanya menyebalkan bila hari libur seperti ini harus keluar rumah.“Andalusia, long time no see,” ujar seseorang saat aku selesai mengganti pakaian. Aku menoleh ke arah kamar mandi, memiringkan kepala dan mengeluarkan kekehan kecil dari mulutku. “Hello, jadi kau lawan mainku nanti?” tanyaku walau sudah mengetahui jawabannya.
Lawan bicaraku ikut terkekeh, ia melipat kedua tangannya di depan dada, “Ah, aku baru ingat bila kita selalu menjadi musuh,” sindirnya.Aku ikut bersendekap dada, kedua rambutku yang belum sempat kugulung bergerak seirama dengan gerakan kepalaku yang kini tegak.
“Aku tak pernah menganggapmu sebagai musuh Lee, kau hanya bangkai yang menolak busuk di hadapanku,” ujarku menusuk.Berjalan keluar dari ruang ganti dengan pandangan muak dengan tangan menenteng kecamata renang yang sempat kuambil dari loker.Dia Lee, pantaskah kusebut sebagai mantan sahabat?
Tak ingin membuat kegaduhan lebih dalam, aku langsung mengganti ekspresi wajah tenang dihadapan Joo, laki-laki sebayaku itu salah satu akar masalah dari permusuhan aku dan Lee.Lee menyukai Joo, dan Joo malah menyatakan perasaannya padaku saat Lee bercerita ingin mengungkapkan perasaannya pada Joo. Terdengar gila, tetapi memang itu yang terjadi. Ingat kan? Segala sesuatu yang ada dihidupku selalu terdengar gila alias tidak masuk akal.
“Sudah?” tanya Joo, senyuman laki-laki itu tak pernah pudar dari tempatnya.
Aku mengangguk, menggerak-gerakan tangan dan seluruh badanku sebagai pemanasan sebelum memulai latihan.Namun kekehan remeh kembali keluar dari mulutku tatkala mendapati gadis lain mencebur dalam kolam di hadapanku tanpa bicara.Aku menoleh pada Joo yang kini mendelik tidak suka, aku menahan tangan kanannya tatkala ia hendak menegur paksa gadis muda yang kini berenang menuju kolam ujung sana.“Dia tidak sopan, Lu,” ujarnya tidak terima, wajahnya memerah padam hanya karena hal sepele seperti ini.
Aku tersenyum, ini salah satu sifat Joo yang paling tidak kusuka, ia tak pernah bisa mengendalikan amarahnya walau dengan lawan jenisnya sekalipaun.“Kau tidak penasaran siapa gadis lancang itu?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Senyum miringku terbit tatkala Joo ikut mengangkat alisnya menunggu jawabanku.
“Siapa?” tanyanya.Aku lebih dulu melepas tangannya, kembali melakukan pemanasan sebelum menjawab pertanyaan Joo. Netraku kembali menangkap gadis itu kembali berenang kearahku.“Lihat saja, kau pasti kaget melihatnya,” ujarku masih dengan tatapan terfokus pada gadis yang sedikit lagi sampai pada tepian kolam.Sesuai dengan tebakanku, Lee berhenti tepat di depan Joo dengan senyumannya. Gadis itu melepas kacamata renangnya dan mengulurkan tangannya berharap Joo mau menariknya.
Kini mataku menoleh pada Joo, sudah kubilang ia pasti kaget dengan keberadaan Lee yang tiba-tiba.“Lee,” panggil Joo dnegan nada melirih.
Aku menatap dua manusia itu dengan tatapan jengah, bergegas terjun ke dalam kolam tanpa menghiraukan jawaban Lee selanjutnya.***
Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya, kemudian menguraikan pelukan dan berdiri. Tangan kananku menggapai tangan Petra dan membawanya berjalan kembali menuju Panti Asuhan.
“Teman-teman, Kak Lu datang!” seru Perta pada teman-temannya yang sedang bermain di depan Panti Asuhan dan belum menyadari kehadiranku.Sontak anak-anak kecil itu mencari sumber suara, derap langkah kaki mereka terdengar, sedangkan aku tersenyum lebar melihatnya.
“KAK LU!” seru mereka bersamaan.Anak-anak Panti Asuhan yang berjumlah belasan anak menyerbu badan mungilku, memeluku erat dengan pandangan senang.
Aku membalas pelukan mereka dengan hangat, ah, tidak ada yang lebih indah selain berbaur bersama mereka.“Ayo masuk, Bunda di mana?” tanyaku setelah mereka menguraikan pelukan.
Mereka menganggauk dan kembali pada tempatnya, bermain bersama dengan ruat wajah bahagianya.“Bunda ada di dapur buat makan siang,” ujar Petra.
Aku tersenyum, mengusap rambut hitam tergerainya, “Ya sudah, kakak ke Bunda dulu, ya.”Anggukan Perta dan kepergian anak kecil itu masih tertangkap dalam netraku.Satu menit setelahnya, aku masuk ke dalam Panti Asuhan ini lebih dalam, menuju dapur dan menemui bunda tentunya.
Senyumanku terbit tatkala melihat paruh baya dengan clemek sedang mengaduk-aduk sebuah panci yang kutebak berisi sup, kesukaan anak-anak Panti ini.“Permisi, paket,” gurauku dengan kekehan.
Kulihat bunda terkisap, wanita paruh baya berusia hampir setengah abad itu membalikan badannya, senyuman lebar yang ditunjukan untukku langsung kubalas rentangan tangan.Tampak mengerti, bunda langsung mematikan kompor dan berjalan kecil memelukku.
“Ya Tuhan, Lu, Bunda merindukanmu,” lirih Bunda dengan tangan mengusap rambut tergeraiku.Aku terkekeh, “Lu juga bunda,” balasku.Kami menguraikan pelukan, bunda menuntunku duduk pada meja makan panjang yang biasa digunakan anak-anak panti makan.
“Mengapa sekarang jarang mampir?” tanya bunda dengan nada protesnya.Aku kembali terkekeh, “Akhir-akhir ini Lu banyak kegiatan di sekolah, bunda. Maaf ya,” tuturku.Bunda menganggauk menanggapiku, “Sudah makan?” tanyanya.
Aku mengangguk, memang sebelum menuju panti ini aku memutuskan untuk mampir makan ke warung kecil dulu. Jika ditanya mengapa, ini alasannya. Bunda selalu berbaik hati padaku, dan aku tidak ingin lebih lanjut merepotkannya. Makanan untuk anak-anak panti saja kadang pas-pasan, bahkan kadang untuk bunda sendiri hanya mendapatkan kuah.“Harusnya makan di sini saja, Lu. Bersama bunda juga,” tuturnya.
Aku menanggapinya denga menggaruk kepala bagian belakangku yang sedikit gatal.“Ya sudah bunda, apa yang belum disiapkan? Biar Lu bantu!”***
Aku mengembuskan napas kasar, berjalan kecil menuju bangku panjang yang terbuat dari bambu dan mendudukan tubuhku di sana. Kedua kaki kecilku mengayun-ayun pasti.
Mataku mengedar, mencari Athala di mana pun yang asal terasa mungkin.Biasanya laki-laki itu lebih dulu duduk di bangku ini dan memintaku untuk ikut duduk di sampingnya.
“Terbak siapa ini,” ujar seseorang. Aku tertegun sebentar, kedua telapak tangannya menutupi kedua mataku. Embusan napasnya terdengar sangat dekat dengan telinga kiriku membuatku menahan napas.“Tha!” seruku dengan nada kesal.
Namun hal itu tak membuat Athala melepaskan telapak tangannya.“Iya ratu, ada apa?” tanyanya dengan nada mengejek.Sial, ia memang sangat menyebalkan.“Singkirkan tanganmu itu!” seruku lagi.Athala melepaskan kedua tangannya, terkekeh dan ikut duduk di sampingku.
Aku menatapnya kesal, kemudian membenarkan rambutku yang sedikit berantakan karena gerakan tangannya beberapa detik lalu.“Ah, datang lebih dulu atau tidak sama saja ternyata ya,” ujarnya dengan senyuman tipis.
Aku menatapnya bingung, kedua alisku terangkat, “Mengapa memangnya?”“Lu, kupikir kau akan berteriak mencariku saat aku tidak ada. Namun tanpa kehadiranku pun kau terlihat baik-baik saja.”“Harusnya kamu belajar dari Lee, dia bisa menjadi apa saja tanpa harus bekerja terlalu keras sepertimu!” seru ayah dengan tangan menunjuk Lee yang diam di ambang pintu kamarku.Saat itu, Lee dan aku belum bermusuhan seperti sekarang ini.“Ayah, kami berbeda. Lee bukan orang indonesia asli,” ujarku membela diri.Namun bukan tanggapan baik yang kudapatkan, ayah malah menampar pipi kiriku dengan sangat kencang, aku terduduk di karpet kamar dengan kedua tangan memegangi pipi kiri yang berdenyut sakit.Netraku melirik pada Lee, gadis itu sama terkejutnya denganku. Merasa iba akan tatapannya yang takut, aku menyuruh Lee untuk keluar dari kamarku melalui kontak mata. Lee yang mengerti pun langsung keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya lebih dulu.“Ayah, aku berjanji semester depan akan jauh lebih baik lagi,” ujarku memelas. Tanganku tergerak memegangi kedua kakinya, memeluknya masih den
“Lu!” panggil Athala dengan tangan yang melambai-lambai.Tak sadar aku tersenyum membalas, bulan sabit yang tak pernah luntur dari wajahnya selalu berhasil menenangkan batinku.Tanganku tergerak ikut melambai-lambai kearahnya, sontak Athala tertegun dengan pergerakan tanganku. Laki-laki itu bergeming ditempat masih dengan pandangan menatapku.Mungkin karena Athala sangat jarang mendapatiku membalas sapaannya, bahkan ikut melambaikan tangan seperti ini.Tampak tak mengindahkan wajah bingungnya, aku mulai melangkah mendekatinya. Senyuman manis pada wajahku masih tercetak jelas, mengundang tatapan Athala semakin dalam.Aku mendudukan tubuhku di sampingnya, duduk menyerong seperti yang dilakukan Athala biasanya.“Ada apa, Tha?” tanyaku bingung karena tak kunjung mendapat respon dari laki-laki itu. Terlihat Athala tersentak dari lamunannya, laki-laki itu mengerjap beberapa kali dengan pandangan masih menatapku.Setelahnya kekehan k
“Kan sudah nenek beritahu, Lu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting,” nasehat nenek. Tanggannya sesekali meraih sapu tangan basah yang baru saja beliau letakan di dahiku.Mataku mengerjap, setelahnya terkekeh dengan pandangan penuh sayang pada nenek.“Tidak, nek. Hanya demam biasa,” ujarku menenangkannya.Nenek mengembuskan napasnya, beliau kembali meletakan handuk kecil yang barus saja diperas dalam sebuah baskom berukuran sedang yang diletakannya pada nakas samping ranjang tidurku.“Ini pasti karena kamu terlalu banyak memaksakan ortakmu,” ujar nenek lagi yang kembali mengundang kekehan keluar dari mulutku.“Yeah, mungkin karena akhir-akhir ini Lu sering memikirkan pelajaran di sekolah,” ujarku memperjelas.“Jangan terus menerus seperti itu,” nasehat nenek dengan pandangan khawatirnya.Aku mengangguk sembari membenarkan letak posisi berbaringku. Tanganku meraih tangan kanan nenek yang sebelumnya bertum
“Kan sudah pernah kubertitahu, Lu. Merindukanmu tak pernah bisa kulewatkan,” ujar Athala yang semakin membuatku jatuh ke dalam pesona bola mata coklatnya.Ia tersenyum, kemudian menatapku dengan padangan seperti biasanya dengan reaksi tubuhku yang berbeda. Tak tersadrar aku merenung, mengosongkan pikiran."Ada apa Lu? Apa aku salah bicara lagi?” tanyanya menyadari perubahan raut wajahku dengan kedua alis yang terangkat.Aku mengerjapkan mataku, menatap ke arah lain selain menatap wajah Athala yang selalu berhasil meluluhkanku.“Tidak, aku hanya masih bingung akan dunia menyebalkan ini,” ujarku mmebela diri sendiri.Atahala terkekeh kecil menanggapiku, laki-laki itu bangkit dari duduknya, menepuk kedua tangannya yang sebelumnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar beranjak dari rerumputan hijau yang juga kupijaki ini.Aku masih memalingkan wajahku ke arah lain, menolak menatapnya sebelum ia memanggil namaku seperti
Bel pulang sekolah berbunyi, terpaksa membuatku menghentikan gerakan tangan kanan yang sedang menggambar sebuah seketsa wajah. Mataku mengedar, menatap teman-teman sekelas yang tampak membereskan barang-barangnya.“Baiklah, Ibu akhiri pelajaran hari ini. Selamat sore!” ujar Bu Lisa dengan senyuman lebarnya.“Sore, bu,” seru teman-teman kelasku secara bersamaan.Satu persatu dari mereka bergegas pulang, beranjak dari kursi duduk yang berjam-jam menopang badan menuju pintu keluar dengan diiringi tawa penuh lega.Aku mendengus, sedikit iri kala melihat gadis-gadis seumuranku yang lain mudah mendapatkan teman.Merasa hal itu tak perlu kupikirkan sekarang, aku memilih ikut bergegas menuju pintu keluar setelah membereskan barang-barangku sendiri. Hanya senyuman tipis yang kutunjukan tatkala Hana, Dwi, dan Sanda yang hari ini bertugas piket menatapku dengan tatapan penasarannya. Apa aku semisterius itu?Sepertinya
Byur...Bunyi air kolam renang terdengar bersamaan dengan terjunnya diriku dan beberapa teman kelas. Joo juga ada di antara kami.Aku mulai berenang dengan gaya yang dimintai pembina hari ini, sesekali melirik pada Joo yang berenang tepat di sampingku, samar-samar kulihat di balik kacamata renangnya jika pandangan laki-laki itu lurus ke depan dengan raut wajah yang tak bisa kudeskripsikan. Sebenarnya ada apa dengan Joo?“Andalusia!” seruan Pak Yudi selaku pembina pelatihan renang hari ini membuatku kembali pada dunia nyata. Mataku mengedar, ternyata kedua kakiku kini menapak pada lantai kolam renang di dasar sana, bahkan aku baru menyadari bila kolam ini hanya sebatas dadaku.Bak orang lingling yang tak mengerti apa-apa, aku hanya bisa menyengir lebar tatkala Pak Yudi menatapku dengan tatapan elangnya.Joo tampak ikut menghentikan laju berenangnya, laki-laki itu berdiri tak jauh dari diriku dengan kedua tangan yang berk
Aku tersenyum menatap selebaran kertas dalam genggaman tangan, mengamati lebih lekat tulisan menggunakan bolpoin berwarna merah. Nilai yang semputna untuk ujian minggu ini.Helaan napas lega keluar dari mulutku, kemudian menekuk kertas tadi menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam tas.Mataku mengedar, menatap keadaan kelas yang mulai tercipta keheningan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hal itu sama sekali tidak membuatku beranjak dan bergegas keluar dari gedung besar ini.Namun mengingat nenek, sontak aku langsung bangkit. Besok akhir pekan, dan aku tidak akan ada kesibukan lain selain berlatih berenang.Tas gendong berwarna mocca yang kupakai sekolah sejal kelas sepuluh kini sudah bertenger manis di bahuku. Aku beranjak setelah merapikan rambut yang hari ini kukuncir kuda.Langkah kakiku keluar dari kelas, berjalan disepanjang koridor yang hanya dilintasi beberapa siswa saja. Mataku kini meliri
Weekend minggu ini tidak terlihat buruk, itu menurut pengelihatan ku kali ini.Satu persatu anak tangga kupijaki dengan satu tangan berpegangan pada besi sebagai penopang.Kedua bola mataku mengedar, mencari keberadaan nenek yang belum tampak dalam pandangan.Senyumku langsung merekah tatkala mendapati wanita paruh baya itu duduk di kursi makan dengan susu dan bubur di atas meja yang selalu menjadi hidangan seperti hari-hari sebelumnya."Selamat lagi, nek," sapaku dengan nada riang. Tanganku memegang kedua bahu rimpuhnya dari belakang.Nenek tampak tak kaget atau menanggapi dengan reaksi tersentak, mungkin karena sudah terlalu biasa akan perilaku diriku kala pagi hari."Pagi, Lu. Sarapan dulu," balas nenek. Ia menarik kursi di sampingnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.Aku mengangguk walau nenek tak akan melihatnya, mendudukan tubuhku di sana masih dengan senyuman yang tercetak jelas pada wajah.En