Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.
Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneranDua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
"Lu, menepi dulu!" perintah seorang laki-laki dengan rambut yang masih basah padaku yang sedang berenang bolak-balik di kolam renang itu. Mendengar namaku dipanggil, aku segera menuju tepi kolam dan membuka kacamata renang."Ada apa, Joo?" tanyaku padanya dengan kedua alis yang terangkat. Bukannya menjawab, Joo malah tersenyum. Ia mengulurkan tangan kirinya seolah memintaku untuk duduk di pinggir kolam renang sepertinya.Tak perlu banyak waktu untuk memahaminya, aku menerima uluran tangan itu dan mengangkat tubuhku sendiri dari dalam air dengan bantuan tangan kiri yang menekan lantai."Ada apa?" ulangku dengan nada tak niat sama sekali. Mataku mengedar, mencari teman-teman kelas yang hilang dalam pandangan. "Teman-teman kelasmu pindah ke kolam yang tidak terlalu dalam," jelas Joo yang ternyata mengerti akan kebingingan yang tampak dari wajahku. Aku terkekeh, "Kenapa dengan kolam ini?""Salahkan saja dir
Mataku membola tatkala mendapati nenek berdiri di halaman samping untuk menjemur pakaian. Dengan langkah yang tergesa-gesa menuruni tangga dengan pandangan tak teralihkan dari objek di depan sana, aku membuka pintu halaman samping sedikit kencang.Sontak hal itu langsung membuat nenek kaget dan menoleh ke belakang, tepatnya menatapku dengan kedua alis yang terangkat diantara kulit keriput diwajahnya. "Lu, ada apa?" tanyanya bingung. Kulihat gerakan kedua tangannya yang hendak menjapit sebuah baju terhenti.Aku terkekeh setelah menegakan badan, menggaruk leher bagian belakangku yang sebenarnya tidak gatal. "Nek, tidak perlu repot menjemur baju. Lu saja yang melanjutkannya." Aku langsung mengambil alih penjepit baju dan bak ukuran sedang yang masih berisi tumpukan baju yang sudah dikeringkan mesin cuci."Kamu berangkat sekolah saja, Lu," tolak nenek pelan. Aku menggeleng tidak setuju dengan perkataannya barusan.
Bus yang tumpangi berhenti melaju, aku membuka mata dan mengedarkan pandangan. Tangan kananku terulur melepas earphone yang setia terpasang pada telingaku sepanjang perjalanan dari sekolah.Aku beranjak dan mengantre keluar dari bus. Tak seperti orang-orang kebanyakan yang turun dan kembali melanjutkan langkah kaki, aku memilih untuk duduk di halte ini lebih dulu. Bukan halte yang biasanya kusinggahi, halte ini dekat dengan rumah pohon. Setelah mendudukan tubuhku di kursi besi panjang yang paling ujung, mataku kembali mengedar. Ah, aku baru ingat. Hujan di perjalan tadi berhasil membuat genangan air dipinggir jalan. Aku menghirup udara sore ini, euforia disekitarku meningkat. Hujan selalu membuatku ingat pada Athala.Bunyi deringan ponsel dalam tas sekolah terpaksa membuatku berhenti menikmati suasana. Menggerogoh tas bagian depan dan mengambil benda pipih itu setelah melepaskan sambungan kabel earphone yang sebelumn
“Sebentar lagi latihan dimulai, Lu,” ucap Joo. Aku mengangaguk dan tersenyum tipis menanggapinya. “Aku ganti baju dulu.”Melihat Joo mengangguk, lantas aku kembali berjalan menuju ruang ganti. Embusan napas kasar keluar dari mulutku, rasanya menyebalkan bila hari libur seperti ini harus keluar rumah.“Andalusia, long time no see,” ujar seseorang saat aku selesai mengganti pakaian. Aku menoleh ke arah kamar mandi, memiringkan kepala dan mengeluarkan kekehan kecil dari mulutku. “Hello, jadi kau lawan mainku nanti?” tanyaku walau sudah mengetahui jawabannya. Lawan bicaraku ikut terkekeh, ia melipat kedua tangannya di depan dada, “Ah, aku baru ingat bila kita selalu menjadi musuh,” sindirnya.Aku ikut bersendekap dada, kedua rambutku yang belum sempat kugulung bergerak seirama dengan gerakan kepalaku yang kini tegak. “Aku tak pernah menganggapmu sebagai musuh Lee, kau hanya bangkai yang menolak busuk di hadapanku,” ujarku menusuk.