Bus yang tumpangi berhenti melaju, aku membuka mata dan mengedarkan pandangan. Tangan kananku terulur melepas earphone yang setia terpasang pada telingaku sepanjang perjalanan dari sekolah.
Aku beranjak dan mengantre keluar dari bus.
Tak seperti orang-orang kebanyakan yang turun dan kembali melanjutkan langkah kaki, aku memilih untuk duduk di halte ini lebih dulu.Bukan halte yang biasanya kusinggahi, halte ini dekat dengan rumah pohon.Setelah mendudukan tubuhku di kursi besi panjang yang paling ujung, mataku kembali mengedar. Ah, aku baru ingat. Hujan di perjalan tadi berhasil membuat genangan air dipinggir jalan. Aku menghirup udara sore ini, euforia disekitarku meningkat. Hujan selalu membuatku ingat pada Athala.Bunyi deringan ponsel dalam tas sekolah terpaksa membuatku berhenti menikmati suasana.
Menggerogoh tas bagian depan dan mengambil benda pipih itu setelah melepaskan sambungan kabel earphone yang sebelumnya masih tertancap.Nenek, nama itu yang tertera di sana. Aku tersenyum mendapatinya, tanganku llangsung menekan ikon berwarna hijau pertanda mengangkat panggilan itu."Halo, nek. Ada apa?" tanyaku. Kedua bola mataku kembali mengedar menatap jalanan di depan sana yang masih saja ramai.
"Lu, kamu kok belum pulang?" tanya nenek di seberang sana dengan nada khawatirnya.Aku langsung melihat jam pada arloji dipergelangan tanganku.Setelahnya mendesah lelah.
"Ada apa, Lu?" tanya nenek. Aku kembali terfokus pada wanita renta itu, seepetinya nenek mendengar helaan napasku barusan."Tidak apa-apa, nek. Lu sepertinya akan pulang petang, jadi nenek jangan menungguku ya. Langsung istirahat saja," jelasku lanjang lebar. Tak ingin bila nenek melupakan kesehatannya yang minggu-minggu ini memburuk karena terlau lelah.Kali ini nenek yang menghela napas, aku mendengarnya walau samar-samar.
"Jangan pulang malam-malam ya, Lu. Nenek takut terjadi sesuatu," ujarnya.Aku menganggukkan kepala walau mengerti nenek tak akan melihatnya. Tersnyum manis menatap jalanan dengan kaki yang diayun-ayunkan."Iya, nek. Lu akan menjaga diri. Sudah dulu ya, nenek harus beristirahat sekarang."Tut...
Aku memutus sambungan telepon setelah mendapat setuju dari nenek, bulan sabit terbit di wajahku tatkala menatap layar ponsel.Nenek memang yang paling mengerti diriku. Dulu, sewaktu ayah bermain tangan, hanya nenek yang bisa kuandalkan.Lu, sudah, tidak baik terus-menerus memperburuk nama ayahmu sendiri.Setelah mengembuskan napas dengan mata terpejam, kini aku memilih beranjak.Berjalan berlawanan arah dengan jalan rumah pulang untuk menuju suatu tempat yang kuanggap rumah kedua.Biskah kalian menebaknya?***
Terlihat ujung-ujung anak tangga yang kupijaki sudah mulai berlumut. Memaksaku berhati-hati bila tak mau tetjatuh dari atas sini.
Rumah pohon, rumah kedua yang kumaksudkan.Setelah berhasil menapaki belasan anak tangga, kini tubuhku berhasil masuk ke dalam rumah pohon lusuh ini dengan mulusnya.Aku kembali tersenyum, tak ada yang berubah. Rumah pohon ini dibuat oleh paman, dulu beliau membuatnya lantaran sering melihatku termenung dan selalu menggambar rumah pohon.
Paman membuatkan rumah pohon ini sebagai hadiah ulang tahun saat aku menginjak kelas tujuh SMP.Aku mendudukan tubuhku di salah satu bantal berwarna coklat yang baru kuambil dari dalam lemari kecil.
Memang, sebelum terakhir kali kemari, aku selalu membereskan semua Barang-barang berharga dan meletakannya pada lemari itu. Bila bertanya mengapa, hanya satu jawabannya. Tidak ingin jika semua itu hilang atau sirna tiba-tiba. Barang-barang dalam lemari itu lebih berharga dari apapun.Memangnya apa, sih isinya? Mingkin kalian juga heran dan ingin bertanya seperti itu. Namun, kali ini aku tidak ingin membagi rahasia yang ada di dalam lemari itu.
Karena bila kukatakan pada kalian sekarang, namanya bukan rahasia lagi bukan?Netraku kembali menatap arloji pada pergelangan tangan, embusan napas kasar keluar. Pukul 17.05 WIB, tandanya sebentar lagi aku terjebak dalam pikiranku sendiri bersama Athala.
Mengulang pertanyaan yang sama, apa yang sedang laki-laki itu lakukan ya di dunia nyatanya?***
Sontak hal itu langsung membuat mataku kembali mendelik menanggapinya.
"Tha!" seruku memperingatinya.Kekehan keluar dari mulutnya, mungkin tanggapan atas seruanku barusan?Aku menatapnya jengkel dengan alis yang menyatu.Lagi-lagi balasan tak terduga seeprti ini yang selalu dilakukannya. Tangan kanannya terangkat menuju hidungku, menjapitnya hingga aku meringis kesakitan."Tha, sakit!" seruku lagi. Tanganku ikut terangkat dan memukul-mukulkannya pada tangan Athala.
"Untukmu yang tadi memutar bola mata malas padaku," ujarnya.Ia masih tertawa diatas rintihan sakitku. Sial, dia menyebalkan.Aku merasa cubitan kencang itu mulai mengendur, tangan kkananku kini yang terangkat dan mengusap-usap hidungku sendiri dengan mata yang tak teralihkan dari Athala."Bagaimana? Terasa sakit tidak?" tanyanya dengan diiringi sebuah kekehan.Aku melotot mendengar pertanyaannya barusan, "Kau kira aku mati dan tidak bisa merasakan rasa sakit?" sewotku.Athala kini kembali tertawa, lesung pipinya tampak menakjubkan dari samping sini.
Tak sadar aku menghentikan usapan tanganku padah hidung, memilih menatapnya intens dan ikut tersenyum atas kebahagiaannya itu. Athala memang sempurna bila dilihat dari sudut mana saja."Lu, kamu tersenyum padaku barusan," ujar Athala memberi tahu.
Aku tertegun, mengerjapkan mata beberapa kali dan berdeham singkat."Tidak tuh," belaku pada diri sendiri dengan muka berpaling dan menatap objek lain."Kau menang kali ini," ujarnya mengalah.
Mendengar penuturannya tadi, aku kembali menoleh ke arahnya dengan tatapan sinis, "Memang benar begitu, aku tidak tersenyum padamu. Kau salah lihat mungkin," ujarku masih membela diri."Iya, iya, kau tidak tersenyum ke arahku," finalnya.Tangan Athala teulur menuju rambut tergeraiku. Mengusapnya pelan beberapa kali dengan senyuman dan lesung pipit yang memanjakan pandangan. Ah, sial. Mengapa ego dan gengsiku besar sekali?
"Lu, ada apa? Apa aku salah berbicara?" tanyanya dengan raut wajah kebingungan.Aku kembali mengerjap, tubuhku yang tiba-tiba bangkit membuat gerakan tangan Athala pada rambutku langsung terhenti.
Bisakah aku menyesalinya sekarang? Mengapa rasanya ada yang hilang saat tak kembali merasakan usapan?Aku mendengus, menatapnya dengan bibir yang maju beberapa centi.Kulihat Athala balik menatapku dengan kedua alis yang terangkat. Kepalanya mendonggak, menatapku dengan pandangan jahil dan bertanya sekaligus lengkap dengan senyumannya.
Aku langsung membuang pandangan, selalu merasa luluh dan ingin merengek bila Athala menampakan ekspresi seperti itu"Ratu pikiran, aku ingin tahu Bagaimana keadaan jantung kecilmu. Semakin tenang atau semakn menggila karena keberadaanku sekarang?"
“Sebentar lagi latihan dimulai, Lu,” ucap Joo. Aku mengangaguk dan tersenyum tipis menanggapinya. “Aku ganti baju dulu.”Melihat Joo mengangguk, lantas aku kembali berjalan menuju ruang ganti. Embusan napas kasar keluar dari mulutku, rasanya menyebalkan bila hari libur seperti ini harus keluar rumah.“Andalusia, long time no see,” ujar seseorang saat aku selesai mengganti pakaian. Aku menoleh ke arah kamar mandi, memiringkan kepala dan mengeluarkan kekehan kecil dari mulutku. “Hello, jadi kau lawan mainku nanti?” tanyaku walau sudah mengetahui jawabannya. Lawan bicaraku ikut terkekeh, ia melipat kedua tangannya di depan dada, “Ah, aku baru ingat bila kita selalu menjadi musuh,” sindirnya.Aku ikut bersendekap dada, kedua rambutku yang belum sempat kugulung bergerak seirama dengan gerakan kepalaku yang kini tegak. “Aku tak pernah menganggapmu sebagai musuh Lee, kau hanya bangkai yang menolak busuk di hadapanku,” ujarku menusuk.
“Harusnya kamu belajar dari Lee, dia bisa menjadi apa saja tanpa harus bekerja terlalu keras sepertimu!” seru ayah dengan tangan menunjuk Lee yang diam di ambang pintu kamarku.Saat itu, Lee dan aku belum bermusuhan seperti sekarang ini.“Ayah, kami berbeda. Lee bukan orang indonesia asli,” ujarku membela diri.Namun bukan tanggapan baik yang kudapatkan, ayah malah menampar pipi kiriku dengan sangat kencang, aku terduduk di karpet kamar dengan kedua tangan memegangi pipi kiri yang berdenyut sakit.Netraku melirik pada Lee, gadis itu sama terkejutnya denganku. Merasa iba akan tatapannya yang takut, aku menyuruh Lee untuk keluar dari kamarku melalui kontak mata. Lee yang mengerti pun langsung keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya lebih dulu.“Ayah, aku berjanji semester depan akan jauh lebih baik lagi,” ujarku memelas. Tanganku tergerak memegangi kedua kakinya, memeluknya masih den
“Lu!” panggil Athala dengan tangan yang melambai-lambai.Tak sadar aku tersenyum membalas, bulan sabit yang tak pernah luntur dari wajahnya selalu berhasil menenangkan batinku.Tanganku tergerak ikut melambai-lambai kearahnya, sontak Athala tertegun dengan pergerakan tanganku. Laki-laki itu bergeming ditempat masih dengan pandangan menatapku.Mungkin karena Athala sangat jarang mendapatiku membalas sapaannya, bahkan ikut melambaikan tangan seperti ini.Tampak tak mengindahkan wajah bingungnya, aku mulai melangkah mendekatinya. Senyuman manis pada wajahku masih tercetak jelas, mengundang tatapan Athala semakin dalam.Aku mendudukan tubuhku di sampingnya, duduk menyerong seperti yang dilakukan Athala biasanya.“Ada apa, Tha?” tanyaku bingung karena tak kunjung mendapat respon dari laki-laki itu. Terlihat Athala tersentak dari lamunannya, laki-laki itu mengerjap beberapa kali dengan pandangan masih menatapku.Setelahnya kekehan k
“Kan sudah nenek beritahu, Lu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting,” nasehat nenek. Tanggannya sesekali meraih sapu tangan basah yang baru saja beliau letakan di dahiku.Mataku mengerjap, setelahnya terkekeh dengan pandangan penuh sayang pada nenek.“Tidak, nek. Hanya demam biasa,” ujarku menenangkannya.Nenek mengembuskan napasnya, beliau kembali meletakan handuk kecil yang barus saja diperas dalam sebuah baskom berukuran sedang yang diletakannya pada nakas samping ranjang tidurku.“Ini pasti karena kamu terlalu banyak memaksakan ortakmu,” ujar nenek lagi yang kembali mengundang kekehan keluar dari mulutku.“Yeah, mungkin karena akhir-akhir ini Lu sering memikirkan pelajaran di sekolah,” ujarku memperjelas.“Jangan terus menerus seperti itu,” nasehat nenek dengan pandangan khawatirnya.Aku mengangguk sembari membenarkan letak posisi berbaringku. Tanganku meraih tangan kanan nenek yang sebelumnya bertum
“Kan sudah pernah kubertitahu, Lu. Merindukanmu tak pernah bisa kulewatkan,” ujar Athala yang semakin membuatku jatuh ke dalam pesona bola mata coklatnya.Ia tersenyum, kemudian menatapku dengan padangan seperti biasanya dengan reaksi tubuhku yang berbeda. Tak tersadrar aku merenung, mengosongkan pikiran."Ada apa Lu? Apa aku salah bicara lagi?” tanyanya menyadari perubahan raut wajahku dengan kedua alis yang terangkat.Aku mengerjapkan mataku, menatap ke arah lain selain menatap wajah Athala yang selalu berhasil meluluhkanku.“Tidak, aku hanya masih bingung akan dunia menyebalkan ini,” ujarku mmebela diri sendiri.Atahala terkekeh kecil menanggapiku, laki-laki itu bangkit dari duduknya, menepuk kedua tangannya yang sebelumnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar beranjak dari rerumputan hijau yang juga kupijaki ini.Aku masih memalingkan wajahku ke arah lain, menolak menatapnya sebelum ia memanggil namaku seperti
Bel pulang sekolah berbunyi, terpaksa membuatku menghentikan gerakan tangan kanan yang sedang menggambar sebuah seketsa wajah. Mataku mengedar, menatap teman-teman sekelas yang tampak membereskan barang-barangnya.“Baiklah, Ibu akhiri pelajaran hari ini. Selamat sore!” ujar Bu Lisa dengan senyuman lebarnya.“Sore, bu,” seru teman-teman kelasku secara bersamaan.Satu persatu dari mereka bergegas pulang, beranjak dari kursi duduk yang berjam-jam menopang badan menuju pintu keluar dengan diiringi tawa penuh lega.Aku mendengus, sedikit iri kala melihat gadis-gadis seumuranku yang lain mudah mendapatkan teman.Merasa hal itu tak perlu kupikirkan sekarang, aku memilih ikut bergegas menuju pintu keluar setelah membereskan barang-barangku sendiri. Hanya senyuman tipis yang kutunjukan tatkala Hana, Dwi, dan Sanda yang hari ini bertugas piket menatapku dengan tatapan penasarannya. Apa aku semisterius itu?Sepertinya
Byur...Bunyi air kolam renang terdengar bersamaan dengan terjunnya diriku dan beberapa teman kelas. Joo juga ada di antara kami.Aku mulai berenang dengan gaya yang dimintai pembina hari ini, sesekali melirik pada Joo yang berenang tepat di sampingku, samar-samar kulihat di balik kacamata renangnya jika pandangan laki-laki itu lurus ke depan dengan raut wajah yang tak bisa kudeskripsikan. Sebenarnya ada apa dengan Joo?“Andalusia!” seruan Pak Yudi selaku pembina pelatihan renang hari ini membuatku kembali pada dunia nyata. Mataku mengedar, ternyata kedua kakiku kini menapak pada lantai kolam renang di dasar sana, bahkan aku baru menyadari bila kolam ini hanya sebatas dadaku.Bak orang lingling yang tak mengerti apa-apa, aku hanya bisa menyengir lebar tatkala Pak Yudi menatapku dengan tatapan elangnya.Joo tampak ikut menghentikan laju berenangnya, laki-laki itu berdiri tak jauh dari diriku dengan kedua tangan yang berk
Aku tersenyum menatap selebaran kertas dalam genggaman tangan, mengamati lebih lekat tulisan menggunakan bolpoin berwarna merah. Nilai yang semputna untuk ujian minggu ini.Helaan napas lega keluar dari mulutku, kemudian menekuk kertas tadi menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam tas.Mataku mengedar, menatap keadaan kelas yang mulai tercipta keheningan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hal itu sama sekali tidak membuatku beranjak dan bergegas keluar dari gedung besar ini.Namun mengingat nenek, sontak aku langsung bangkit. Besok akhir pekan, dan aku tidak akan ada kesibukan lain selain berlatih berenang.Tas gendong berwarna mocca yang kupakai sekolah sejal kelas sepuluh kini sudah bertenger manis di bahuku. Aku beranjak setelah merapikan rambut yang hari ini kukuncir kuda.Langkah kakiku keluar dari kelas, berjalan disepanjang koridor yang hanya dilintasi beberapa siswa saja. Mataku kini meliri