“Lu!” panggil Athala dengan tangan yang melambai-lambai.
Tak sadar aku tersenyum membalas, bulan sabit yang tak pernah luntur dari wajahnya selalu berhasil menenangkan batinku.Tanganku tergerak ikut melambai-lambai kearahnya, sontak Athala tertegun dengan pergerakan tanganku. Laki-laki itu bergeming ditempat masih dengan pandangan menatapku.Mungkin karena Athala sangat jarang mendapatiku membalas sapaannya, bahkan ikut melambaikan tangan seperti ini.
Tampak tak mengindahkan wajah bingungnya, aku mulai melangkah mendekatinya. Senyuman manis pada wajahku masih tercetak jelas, mengundang tatapan Athala semakin dalam.Aku mendudukan tubuhku di sampingnya, duduk menyerong seperti yang dilakukan Athala biasanya.“Ada apa, Tha?” tanyaku bingung karena tak kunjung mendapat respon dari laki-laki itu. Terlihat Athala tersentak dari lamunannya, laki-laki itu mengerjap beberapa kali dengan pandangan masih menatapku.
Setelahnya kekehan keluar dari mulutnya, Athala berdeham seiring dengan dahiku yang menyirit bingung atas tanggapannya.“Biasanya tak seperti ini, Lu,” ujarnya tak jelas.
Aku terkekeh entah karena apa, masih dengan dahi yang menyirit dengan ekspresi wajah bertanya ada apa.“Tidak seperti apa sih, Tha?” tanyaku bingung.Athala tak langsung menjawab pertanyaanku, laki-laki itu kembali menampakan wajah tenang dan senyuman tipisnya.Embusan napas kasar yang terdengar kian membuatku menyiritkan dahi bingung karenannya.
“Tak biasanya kau membalas sapaanku,” ujarnya dengan segaris senyuman.Perlahan kerutan pada dahiku enyah, mengerti akan arah bicara Athala sekarang. Senyuman pada wajahku juga kini padam, tergantikan raut wajah bersalah yang mungkin sangat kentara dimatanya.Terbukti karena Athala malah menatapku bingung diantara raut wajah menyedihkannya.
“Tak perli merasa bersalah, ratu pikiran,” ujarnya dengan berujung gurauan receh. Aku terkekeh kecil menanggapinya. Bahkan saat situasi yang sedikit serius tadi ia masih bisa membuat kekehanku muncul.“Maaf ya, Tha. Sudah membuatmu jatuh tanpa berniat menggapaimu,” uajarku tulus dengan kepala yang menunduk.
Athala bergeming, semakin membuatku merasa bersalah atasnya.Aku bukan gadis bodoh yang tak mengerti perasaan menggelitik yang kerap terjadi pada manusia sebayaku. Aku tahu Athala menyimpan rasa, aku tahu itu.Yang tidak kutahu adalah perasaanku sendiri yang tak pernah bisa memahaminya.
“Tidak apa-apa, nanti pasti ada waktunya,” ujarnya yang semakin membuatku tidak enak.
Athala itu rupawan, tetapi mengapa berniat jatuh padaku dalam waktu yang lama? Bukankah di dunia nyatanya pasti banyak lawan jenis yang juga menyukainya?Ada bagian dari diriku yang berdesir tatkala telapak tangan kanannya bertenger mulus pada kepalaku. Athala mengusap kepala bagian belakangku dengan lembut, senyuman pada wajahnya yang terlihat familiar dalam netraku semakin membuatku tenggelam pada pandangannya.
Gerakan tangan Athala yang naik turun berhasil membuatku nyaman, terlebih larut dalam bola matanya semakin membuatku bimbang akan perasaanku sendiri.
Lu, mengapa dirimu senang sekali menggantungkan perasaan seseorang? Tidakkah kau merasa kasihan?“Tidak perlu berpikir terlalu dalam, Lu. Jangan seperti itu,” ucap Athala. Aku mengerjap beberapa kali, menyadarkan raga dan pikiranku kembali pada dunia milik kami berdua ini.
Aku berdeham, memalingkan wajah sembari memikirkan jawaban yang pas untuk menjawab perkataannya barusan.“Lu,” tegurnya yang kembali melihatku berpikir keras.
“Ya?” jawabku dengan raut wajah cengo, kedua alisku kembali terangkat, mengundang tatapan Athala yang semakin menatapku intens.“Jangan berpikir terlalu keras,” ulangnya.Aku mengangguk beberapa kali, mengiyakan perkataanya yang Athala katakan dua kali.
“Aku hanya tidak bisa memahami diriku sendiri, Tha,” ujarku memberi tahu.Athala kembali menggerakan tangan kananya yang masih berada pada belakang kepalaku. Mengelusnya lembut setelah senyuman kembali terbit pada wajahnya.“Tidak apa-apa, itu hal yang wajar,” jawabnya menenangkanku.
Aku langsung menatapnya dengan pandangan protes, tidak terima saat Athala menganggap hal ini adalah hal yang wajar.“Tidak, Tha. Ini tidak wajar. Aku tak bisa memahami diriku sendiri tetapi aku bisa memahami diri orang lain,” ungkapku panjang lebar dengan nada bicara yang naik satu oktaf.Kekehan keluar dari mulutnya, tangannya kini terlepas dari kepalaku, beralih menuju dahi dan menyentilnya pelan.
“Awh...,” rintihku dengan tangan mengusap dahi yang bari saja disentilnya. Aku menatapnya dengan bibir maju beberapa centi, semakin tidak terima.“Apa maksud perkatanmu? Memahami diri orang lain? Siapa yang benar-benar kamu pahami, Lu?” tanyanya beruntun.Aku langsung tergagap, menyadari perkataanku barusan benar-benar membuka kartu jebakan.
Tanganku yang sebelumnya mengusap pelan dahiku sendiri kini beralih menggaruk pipiku yang sebenarnya tak gatal, kebiasaan manusia saat dilanda kegugupan.“T-tidak ada, lupakan perkataan ngawur itu,” ujarku tergagap setelah kami hening beberapa saat.
Athala tetap menatapku tanpa kembali bersuara, mendapati itu kedua tanganku saling bertaut, memilinnya karena merasa gugup. Berharap rasa menyebalkan ini pudar walau terdengar tidak masuk akal.“Apa terdengar lucu bila kutebak manusia yang bisa dipahamimu itu aku, Lu?”***
“Aish... ini menyebalkan,” gerutuku sembari mengacak-acak rambut dengan gerakan kasar.
Kedua kakiku yang menggantung ikut bergerak-gerak bebas.Embusan napas keluar, aku kembali bangkit setelah mendapati jam beker di atas nakas menunjukan pukul 19.48 WIB. Memaksakan tubuhku bangkit menuju kamar mandi untuk sekedar membersihkan diri. Aku meringis mengingat nenek sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar mandi.Kembali berjalan menuju pintu kamar berniat mengecek keadaan nenek lebih dulu.
Tangan kananku terulur membuka pintu kamar nenek, bunyi pintu terbuka karena sudah terlalu usang masuk ke dalam indra pendengaranku.Aku menatap nenek yang tertidur di atas ranjangnya dengan damai. Senyumanku terbit, mulai berjalan perlahan agar tak menimbulkan sepatah bunyi apapun yang bisa saja mengganggu istirahat nenek.Tanganku meraih remot pendingin ruangan, mengatur suhunya agar lebih nyaman dirasakan tubuh renta nenek. Setelahnya aku bergerak mendekat pada ranjang, meraih selimut yang merosot dan membenarkannya hingga menutupi dadanya. Bau kamar nenek yang khas akan minyak wangi turun-temurunnya selalu menbuatku tenag. Mataku terpejam, menghirup aroma menanangkan ini dengan rakus, kemudian kembali mengembuskannya perlahan.
Netraku kembali menatap nenek dengan lembut, “Selamat beristirahat, nek,” ucapku pelan. Takut membangunkan nenek.
Aku kembali berjalan keluar dari kamar luas itu, menutup pintunya hati-hati sama seperti sebelumnya.Mengurungkan niatku kembali menuju kamarku sendiri dan memilih menuju dapur untuk sekadar menyesap air mineral.Tubuhku duduk di kursi dekat pantry, kini tangan kananku memegang cangkir bening yang kuambil dari dalam lemari dan berisi air mineral yang baru kuisi dari dispenser.
Aku kembali termenung diantara cahaya remang-remang dapur, memang tanganku tak berniat menyalakan lampu. Biarkan saja seperti seharusnya.Athala, air mineral, dan cahaya remang-remang. Sesuatu yang lengkap untuk memulai hanyut dalam awang-awang.
“Kan sudah nenek beritahu, Lu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak penting,” nasehat nenek. Tanggannya sesekali meraih sapu tangan basah yang baru saja beliau letakan di dahiku.Mataku mengerjap, setelahnya terkekeh dengan pandangan penuh sayang pada nenek.“Tidak, nek. Hanya demam biasa,” ujarku menenangkannya.Nenek mengembuskan napasnya, beliau kembali meletakan handuk kecil yang barus saja diperas dalam sebuah baskom berukuran sedang yang diletakannya pada nakas samping ranjang tidurku.“Ini pasti karena kamu terlalu banyak memaksakan ortakmu,” ujar nenek lagi yang kembali mengundang kekehan keluar dari mulutku.“Yeah, mungkin karena akhir-akhir ini Lu sering memikirkan pelajaran di sekolah,” ujarku memperjelas.“Jangan terus menerus seperti itu,” nasehat nenek dengan pandangan khawatirnya.Aku mengangguk sembari membenarkan letak posisi berbaringku. Tanganku meraih tangan kanan nenek yang sebelumnya bertum
“Kan sudah pernah kubertitahu, Lu. Merindukanmu tak pernah bisa kulewatkan,” ujar Athala yang semakin membuatku jatuh ke dalam pesona bola mata coklatnya.Ia tersenyum, kemudian menatapku dengan padangan seperti biasanya dengan reaksi tubuhku yang berbeda. Tak tersadrar aku merenung, mengosongkan pikiran."Ada apa Lu? Apa aku salah bicara lagi?” tanyanya menyadari perubahan raut wajahku dengan kedua alis yang terangkat.Aku mengerjapkan mataku, menatap ke arah lain selain menatap wajah Athala yang selalu berhasil meluluhkanku.“Tidak, aku hanya masih bingung akan dunia menyebalkan ini,” ujarku mmebela diri sendiri.Atahala terkekeh kecil menanggapiku, laki-laki itu bangkit dari duduknya, menepuk kedua tangannya yang sebelumnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar beranjak dari rerumputan hijau yang juga kupijaki ini.Aku masih memalingkan wajahku ke arah lain, menolak menatapnya sebelum ia memanggil namaku seperti
Bel pulang sekolah berbunyi, terpaksa membuatku menghentikan gerakan tangan kanan yang sedang menggambar sebuah seketsa wajah. Mataku mengedar, menatap teman-teman sekelas yang tampak membereskan barang-barangnya.“Baiklah, Ibu akhiri pelajaran hari ini. Selamat sore!” ujar Bu Lisa dengan senyuman lebarnya.“Sore, bu,” seru teman-teman kelasku secara bersamaan.Satu persatu dari mereka bergegas pulang, beranjak dari kursi duduk yang berjam-jam menopang badan menuju pintu keluar dengan diiringi tawa penuh lega.Aku mendengus, sedikit iri kala melihat gadis-gadis seumuranku yang lain mudah mendapatkan teman.Merasa hal itu tak perlu kupikirkan sekarang, aku memilih ikut bergegas menuju pintu keluar setelah membereskan barang-barangku sendiri. Hanya senyuman tipis yang kutunjukan tatkala Hana, Dwi, dan Sanda yang hari ini bertugas piket menatapku dengan tatapan penasarannya. Apa aku semisterius itu?Sepertinya
Byur...Bunyi air kolam renang terdengar bersamaan dengan terjunnya diriku dan beberapa teman kelas. Joo juga ada di antara kami.Aku mulai berenang dengan gaya yang dimintai pembina hari ini, sesekali melirik pada Joo yang berenang tepat di sampingku, samar-samar kulihat di balik kacamata renangnya jika pandangan laki-laki itu lurus ke depan dengan raut wajah yang tak bisa kudeskripsikan. Sebenarnya ada apa dengan Joo?“Andalusia!” seruan Pak Yudi selaku pembina pelatihan renang hari ini membuatku kembali pada dunia nyata. Mataku mengedar, ternyata kedua kakiku kini menapak pada lantai kolam renang di dasar sana, bahkan aku baru menyadari bila kolam ini hanya sebatas dadaku.Bak orang lingling yang tak mengerti apa-apa, aku hanya bisa menyengir lebar tatkala Pak Yudi menatapku dengan tatapan elangnya.Joo tampak ikut menghentikan laju berenangnya, laki-laki itu berdiri tak jauh dari diriku dengan kedua tangan yang berk
Aku tersenyum menatap selebaran kertas dalam genggaman tangan, mengamati lebih lekat tulisan menggunakan bolpoin berwarna merah. Nilai yang semputna untuk ujian minggu ini.Helaan napas lega keluar dari mulutku, kemudian menekuk kertas tadi menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam tas.Mataku mengedar, menatap keadaan kelas yang mulai tercipta keheningan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hal itu sama sekali tidak membuatku beranjak dan bergegas keluar dari gedung besar ini.Namun mengingat nenek, sontak aku langsung bangkit. Besok akhir pekan, dan aku tidak akan ada kesibukan lain selain berlatih berenang.Tas gendong berwarna mocca yang kupakai sekolah sejal kelas sepuluh kini sudah bertenger manis di bahuku. Aku beranjak setelah merapikan rambut yang hari ini kukuncir kuda.Langkah kakiku keluar dari kelas, berjalan disepanjang koridor yang hanya dilintasi beberapa siswa saja. Mataku kini meliri
Weekend minggu ini tidak terlihat buruk, itu menurut pengelihatan ku kali ini.Satu persatu anak tangga kupijaki dengan satu tangan berpegangan pada besi sebagai penopang.Kedua bola mataku mengedar, mencari keberadaan nenek yang belum tampak dalam pandangan.Senyumku langsung merekah tatkala mendapati wanita paruh baya itu duduk di kursi makan dengan susu dan bubur di atas meja yang selalu menjadi hidangan seperti hari-hari sebelumnya."Selamat lagi, nek," sapaku dengan nada riang. Tanganku memegang kedua bahu rimpuhnya dari belakang.Nenek tampak tak kaget atau menanggapi dengan reaksi tersentak, mungkin karena sudah terlalu biasa akan perilaku diriku kala pagi hari."Pagi, Lu. Sarapan dulu," balas nenek. Ia menarik kursi di sampingnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.Aku mengangguk walau nenek tak akan melihatnya, mendudukan tubuhku di sana masih dengan senyuman yang tercetak jelas pada wajah.En
Merasa menyesal juga tak ada gunannya, tepat saat aku mendudukan tubuhku pada bangku kecil tak jauh dari kolam renang, pukul 17.17 WIB yang pertama kali kuabaikan merenggutku ke dalam dunia pikiran.Aku mendengus dalam dunia nyata, kurang mengenakan bila terjebak dalam dunia pikiran dengan keadaan belum berganti pakaian ganti.Kembali bada dunia pikiran, aku kembali melangkah menuju bangku yang biasanya diduduki aku dan Athala. Setelah mendudukan tubuhku di sana, mataku kembali mengedar. Mencari sososk tegap yang biasanya datang duluan.“Kau sampai lebih dulu ternyata,” ujar Athala yang muncul dibalik pohon rindang dengan ukuran yang cukup besar.Aku tersenyum mendapatinya, menepuk ruang kosong di sampingku, memintanya untuk turut menumpukan tubuhnya di benda berwarna putih ini.Athala berjalan ke arahku dengan senyuman manis yang tercetak jelas dalam wajah tampannya, hah?Aku menggaruk-garuk tengkuk y
Aku tersentak tatkala kembali pada dunia asliku. Mataku mengedar dengan napas yang sedikit tidak beraturan. Beberapa bulir keringat pada dahiku mengalir dan sangat mengganggu suasana, ini sudah biasa dirasa bila di dunia pikiran aku melakukan hal-hal seperti berlari atau banyak menggunakan kaki."Astaga Lu, kau sadar juga akhirnya," ucap laki-laki sebayaku. Dia Joo, tubuh alestis yang sebelumnya tampak dalam kolam renang, kini ia angkat dan berlari kecil menuju tempatku. Air yang berasal dari kolam renang yang ia selami beberapa waktu lalu tumpah-tumpah dan bercecer disepanjang keramik yang sebelumnya tampak kering. Aku kembali mengerjapkan mata dan sedikit tersentak tatkala mendapati laki-laki duduk di sampingku dengan tangan yang memegangi kacamata renangnya. "Kau ini sebenarnya mengapa sih?" tanyanya dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Aku mengangkat alis, memikirkan jawaban yang pas