Merasa menyesal juga tak ada gunannya, tepat saat aku mendudukan tubuhku pada bangku kecil tak jauh dari kolam renang, pukul 17.17 WIB yang pertama kali kuabaikan merenggutku ke dalam dunia pikiran.
Aku mendengus dalam dunia nyata, kurang mengenakan bila terjebak dalam dunia pikiran dengan keadaan belum berganti pakaian ganti.Kembali bada dunia pikiran, aku kembali melangkah menuju bangku yang biasanya diduduki aku dan Athala. Setelah mendudukan tubuhku di sana, mataku kembali mengedar. Mencari sososk tegap yang biasanya datang duluan.
“Kau sampai lebih dulu ternyata,” ujar Athala yang muncul dibalik pohon rindang dengan ukuran yang cukup besar.Aku tersenyum mendapatinya, menepuk ruang kosong di sampingku, memintanya untuk turut menumpukan tubuhnya di benda berwarna putih ini.
Athala berjalan ke arahku dengan senyuman manis yang tercetak jelas dalam wajah tampannya, hah? Aku menggaruk-garuk tengkuk yAku tersentak tatkala kembali pada dunia asliku. Mataku mengedar dengan napas yang sedikit tidak beraturan. Beberapa bulir keringat pada dahiku mengalir dan sangat mengganggu suasana, ini sudah biasa dirasa bila di dunia pikiran aku melakukan hal-hal seperti berlari atau banyak menggunakan kaki."Astaga Lu, kau sadar juga akhirnya," ucap laki-laki sebayaku. Dia Joo, tubuh alestis yang sebelumnya tampak dalam kolam renang, kini ia angkat dan berlari kecil menuju tempatku. Air yang berasal dari kolam renang yang ia selami beberapa waktu lalu tumpah-tumpah dan bercecer disepanjang keramik yang sebelumnya tampak kering. Aku kembali mengerjapkan mata dan sedikit tersentak tatkala mendapati laki-laki duduk di sampingku dengan tangan yang memegangi kacamata renangnya. "Kau ini sebenarnya mengapa sih?" tanyanya dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Aku mengangkat alis, memikirkan jawaban yang pas
Kedua tanganku bertumpu pada meja, sedangkan kepalaku kuletakan di atasnya. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit lalu, tetapi tak ada keniatan sama sekali untuk beranjak dari kursi yang kupijaki sedari pagi ini.Netraku menatap lapangan outdor yang menampilkan anak basket mempersiapkan lomba bulan depan nanti.Sesekali memejam tatakala semilir angin dengan gorden yang beegerak seirama menjadi petunjuknya. Aku menahan napas dengan mata terpejam, setelahnya mengembuskannya perlahan-lahan.Pikiranku kembali terfokus pada Athala, laki-laki yang akhir-akhir ini senang sekali berputar-putar dalam dunia nyata maupun dunia alam bawah sadarku.“Dia itu mahluk seperti apa, sih sebenarnya?” tanyaku pada semilir angin dengan bibir maju beberapa centi.Laki-laki itu selalu membuatku berpikir dua kali, tidakkah merasa kasihan dengan pikiran gadis kecil ini?Semilir angin kembali menerpa wajahku, mataku tetap terpejam. Mengingat Athala selalu membuatku mengan
“Pertandinganmu jam dua siang, Lu,” ujar Joo. Laki-laki itu menyodorkan selebaran jadwal perlombaan berenang hari in.Aku mengangaguk, kemudian kembali meneguk air mineral yang juga di berikan Joo. Mataku mengedar mencari Lee yang katanya akan menjadi lawan bermainku bila masuk final pada perlombaan kali ini.“Kau melihat Lee tidak?” tanyaku pada Joo, wajahku mendonggak menatapnya yang berdiri di sampingku.Joo yang semulanya berdiri tegap kini berkacak pinggang dengan pandangan mengedar.“Entahlah, hilang diitelan bumi semoga,” ujarnya asal.Aku menendang tulang keringnya lumayan kencang, mengundang rintihan keras yang keluar dari mulutnya terdengar hingga para peserta lain menoleh sekilas.“Dua hari belakangan ini bicaramu blak-blakan sekali,” ujarku menyindir.Joo mengendikan bahu, laki-laki itu duduk di sampingku masih dengan mata yang mengedar ke segala penjuru kolam.“Ikut mencari sosok Lee?” tanyaku dengan tatapan mengejek.Joo memutar bol
Siapa dia? Apa aku benar-benar sudah mati? Mengapa dia terus menatapku seolah kami saling mengenal satu sama lain? Dan mengapa wajahnya terasa familiar dinetra.Aku melangkah mendekat ke arah laki-laki berjemeja putih itu, kedua kakiku yang menapak rerumputan basah tanpa alas tak mengganggu fokus netraku.Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat-ingat waajah tak asing itu. Namun bukannya menemukan suatu hal, kepalaku malah berdenyut sakit.“Kau siapa?” tanyaku penasaran. Tangan kananku memegangi kepala bagian belakangku yang masih saja terasa sakit.Namun laki-laki itu bergeming ditempat dengan sorot mata memandangkaua penuh ... kerinduan?Sebenarnya dia siapa?“Kau siapa? Mengapa sepertinya aku pernah melihatmu?” tanyaku mengulang sembari menajamkan pengelihatan.“Manusia harapanmu, Lu,” ujarnya bersuara. Aku tertegun, kedua kakiku berhenti melangkah tatakala mendengar suara bariton itu. Napasku tercekat, rasa menggelitik ini muncul tanpa kuketahui
“Mengapa jadi seperti ini sih, Lu?” tanya nenek dengan pandangan khawatirnya. Tangan kanannya terangkat menuju rambutku, mengusap surai panjang tergerai berantakan itu dengan gerakan pelan penuh sayang.Sedangkan aku hanya bisa menanggapi ucapan nenek dengan segaris senyuman masih dengan kondisi badan yang berbaring, punggungku masih terasa sakit bila banyak digerakan walau tidak sesakit sebelumnya.“Lu tidak apa-apa, nek,” ujarku berharap bisa membuatnya tenang.Embusan napas nenek yang keluar mebuatku kian tersenyum, disaat-saat seperti inilah aku merasa dianggap ada dalam muka bumi.“Bukan hanya masalah itu, kamu tak memberitahukan nenek perihal lomba ini juga,” celetuknya lagi.Aku meringis, melupakan hal sesepele itu yang pada akhirnya membuahkan hasil tidak menyenangkan ini.“Bukan tidak memberitahu, nek. Lomba ini memang dicepatkan tanggalnya, dan hanya lomba kecil,” ujarku memberitahu.
Tak ada yang berarti selain bertemu denganmu, Tha. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akses masuk ke dalam dunia pikiran tertutup begitu saja. Parahnya lagi, untuk tersedot ke depan pintu dunia itu saja tubuhku kini tidak bisa.Aku rasa memang ini hal yang kau sebut ‘terjadilah apa yang akan terjadi’, arti dari kalimat singkat yang menjadi judul bab sembilan dalam buku ini.Mataku terpejam, kembali mengembuskna napas tatkala mengingat perihalmu, separuh rasa yang hampa entah karena apa berduyun-duyun menghantuiku siang-malam hanya karena keanehan ini.Bahkan, cuaca mendung dengan rerumputan hijau di bawah sana karena baru saja dibasahi tumpahan air mata awan tak berhasil membuatku merasakan euforia yang biasa dirasa.Semsta benar-benar memberikan teka-teki baru yang harus kupecahkan sendiri tanpamu, Tha. Memangnya di dunia aslimu juga seperti ini? Disuguhkan teka-teki aneh yang membuatmu kian memikirkanku?“Aku merindukanmu,” ujarku dengan bibir m
Aku terperangah merasakan dekapan hangat dari Lee yang begitu kurindukan. Kedua tanganku yang reflek mengudara hanya bisa menggerak-gerakan lima jari dimasing-masing telapak tangan.Kedua mataku juga membola, sedikit merasa de javu merasakan pelukan lama yang sebelumnya lama terlepas begitu saja.Di ujung kolam sana, Joo menatap kami berdua dengan seulas senyum tipis yang hampir tak bisa kudeteksi.Akhirnya aku balik memeluk lee tak kalah erat dengan senyum yang mengembang sempurna. Sedikit mensyukuri insiden kaki kram dan pingsan, sebab hal itu berhasil membuat hubungan renggang kami kembali tertali kencang."Aku rindu pelukan hangat ini, Lee," ujarku jujur masih dengan senyuman mengembang. Tubuh ringkihku menikmati pelukan sayang ini penuh harsa."Aku juga," ujar Lee dengan nada suara yang terdengar melirih.Satu menit setelahnya, kami menguraikan pelukan, bertatap dengan kebahagiaan yang membuncah."Sebagai tanda hu
Memang tak berniat beranjak atau berpikir untuk pulang. Tubuhku menempel pada bangku bersi halte depan sekolah dengan tubuh bersandar pada sandaran yang ada.Sesekali embusan napas keluar dan terdengar kasar, mengingat Athala selalu membuat tubuhku bergeming seperti ini.Tha, sebenarnya teka-teki macam apa ini? Mengapa rasanya hanya aku yang kebingungan di sini?Tak sadar air mataku kembali menetes, ikut turun tepat pada saat hujan dari membasahi jalanan yang sebelumnya kering di depan sana.Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku sendiri, kemungkinan menyakitkan ini terlalu tidak mungkin diakal sehatku. Sama sekali tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak.Jika tahu akan berakhir seperti ini dan mengakibatkan akses masuk dunia kita tertutup tiba-tiba, mungkin untuk tidak hadir dalam perlombaan adalah pilihanku sewaktu itu.Namun harus bagaimana lagi? Apa dengan menyesali tragedi itu kau bisa kembali? Jawabannya juga kau pasti tahu, Th