Siapa dia? Apa aku benar-benar sudah mati? Mengapa dia terus menatapku seolah kami saling mengenal satu sama lain? Dan mengapa wajahnya terasa familiar dinetra.
Aku melangkah mendekat ke arah laki-laki berjemeja putih itu, kedua kakiku yang menapak rerumputan basah tanpa alas tak mengganggu fokus netraku.Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat-ingat waajah tak asing itu. Namun bukannya menemukan suatu hal, kepalaku malah berdenyut sakit.“Kau siapa?” tanyaku penasaran. Tangan kananku memegangi kepala bagian belakangku yang masih saja terasa sakit.Namun laki-laki itu bergeming ditempat dengan sorot mata memandangkaua penuh ... kerinduan?
Sebenarnya dia siapa?“Kau siapa? Mengapa sepertinya aku pernah melihatmu?” tanyaku mengulang sembari menajamkan pengelihatan.“Manusia harapanmu, Lu,” ujarnya bersuara. Aku tertegun, kedua kakiku berhenti melangkah tatakala mendengar suara bariton itu. Napasku tercekat, rasa menggelitik ini muncul tanpa kuketahui“Mengapa jadi seperti ini sih, Lu?” tanya nenek dengan pandangan khawatirnya. Tangan kanannya terangkat menuju rambutku, mengusap surai panjang tergerai berantakan itu dengan gerakan pelan penuh sayang.Sedangkan aku hanya bisa menanggapi ucapan nenek dengan segaris senyuman masih dengan kondisi badan yang berbaring, punggungku masih terasa sakit bila banyak digerakan walau tidak sesakit sebelumnya.“Lu tidak apa-apa, nek,” ujarku berharap bisa membuatnya tenang.Embusan napas nenek yang keluar mebuatku kian tersenyum, disaat-saat seperti inilah aku merasa dianggap ada dalam muka bumi.“Bukan hanya masalah itu, kamu tak memberitahukan nenek perihal lomba ini juga,” celetuknya lagi.Aku meringis, melupakan hal sesepele itu yang pada akhirnya membuahkan hasil tidak menyenangkan ini.“Bukan tidak memberitahu, nek. Lomba ini memang dicepatkan tanggalnya, dan hanya lomba kecil,” ujarku memberitahu.
Tak ada yang berarti selain bertemu denganmu, Tha. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akses masuk ke dalam dunia pikiran tertutup begitu saja. Parahnya lagi, untuk tersedot ke depan pintu dunia itu saja tubuhku kini tidak bisa.Aku rasa memang ini hal yang kau sebut ‘terjadilah apa yang akan terjadi’, arti dari kalimat singkat yang menjadi judul bab sembilan dalam buku ini.Mataku terpejam, kembali mengembuskna napas tatkala mengingat perihalmu, separuh rasa yang hampa entah karena apa berduyun-duyun menghantuiku siang-malam hanya karena keanehan ini.Bahkan, cuaca mendung dengan rerumputan hijau di bawah sana karena baru saja dibasahi tumpahan air mata awan tak berhasil membuatku merasakan euforia yang biasa dirasa.Semsta benar-benar memberikan teka-teki baru yang harus kupecahkan sendiri tanpamu, Tha. Memangnya di dunia aslimu juga seperti ini? Disuguhkan teka-teki aneh yang membuatmu kian memikirkanku?“Aku merindukanmu,” ujarku dengan bibir m
Aku terperangah merasakan dekapan hangat dari Lee yang begitu kurindukan. Kedua tanganku yang reflek mengudara hanya bisa menggerak-gerakan lima jari dimasing-masing telapak tangan.Kedua mataku juga membola, sedikit merasa de javu merasakan pelukan lama yang sebelumnya lama terlepas begitu saja.Di ujung kolam sana, Joo menatap kami berdua dengan seulas senyum tipis yang hampir tak bisa kudeteksi.Akhirnya aku balik memeluk lee tak kalah erat dengan senyum yang mengembang sempurna. Sedikit mensyukuri insiden kaki kram dan pingsan, sebab hal itu berhasil membuat hubungan renggang kami kembali tertali kencang."Aku rindu pelukan hangat ini, Lee," ujarku jujur masih dengan senyuman mengembang. Tubuh ringkihku menikmati pelukan sayang ini penuh harsa."Aku juga," ujar Lee dengan nada suara yang terdengar melirih.Satu menit setelahnya, kami menguraikan pelukan, bertatap dengan kebahagiaan yang membuncah."Sebagai tanda hu
Memang tak berniat beranjak atau berpikir untuk pulang. Tubuhku menempel pada bangku bersi halte depan sekolah dengan tubuh bersandar pada sandaran yang ada.Sesekali embusan napas keluar dan terdengar kasar, mengingat Athala selalu membuat tubuhku bergeming seperti ini.Tha, sebenarnya teka-teki macam apa ini? Mengapa rasanya hanya aku yang kebingungan di sini?Tak sadar air mataku kembali menetes, ikut turun tepat pada saat hujan dari membasahi jalanan yang sebelumnya kering di depan sana.Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku sendiri, kemungkinan menyakitkan ini terlalu tidak mungkin diakal sehatku. Sama sekali tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak.Jika tahu akan berakhir seperti ini dan mengakibatkan akses masuk dunia kita tertutup tiba-tiba, mungkin untuk tidak hadir dalam perlombaan adalah pilihanku sewaktu itu.Namun harus bagaimana lagi? Apa dengan menyesali tragedi itu kau bisa kembali? Jawabannya juga kau pasti tahu, Th
Langkah kakiku menapak pada paving sekolah yang sedikit basah karena hujan deras semalam. Embusan napas teratur yang keluar dari hidungku seirama dengan degub jantung yang kini stabil.Kedua tanganku bertumpu pada ransel sekolah yang kugendong di belakang punggung.Sedangkan rambut panjang milikku kini diikat kuda seperti biasanya.Ah, mengapa semua hal yang kuceritakan harus membuatku teringat pada Athala, sih?Kuncir kuda dan Athala. Laki-laki itu punya sejuta memori dari sebagian ingatanku.Tha, kau tidak berniat kembali kah?Sebenarnya sakit bila kuungkit lagu. Namun memang pada dasarnya jari tanganku terasa gatal dan ingin menulisnya, aku terpaksa memulainya lagi. Izinkan aku kali ini lagi, tolong.Athala, ini kesekian kalinya bab yang selalu berisi kisahmu. Ralat, kisah kita.Bukannya menyangkal kisah lain yang ada dialur hidupku, Tha. Namun kurasa hanya kisahmu yang patut kuabadikan selain Joo d
"Dia siapa, Lu?" tanya Lee. Jari telunjuknya menunjuk sebuah sketsa wajah Athala yang baru kubuat tiga hari yang lalu.Aku menoleh setelah meletakan buku-buku sejarah yang baru saja baca, lalu berjalan menuju tempat Lee berdiri dengan netra memandangi sketsa laki-laki itu.Aku tersenyum getir, kembali mengingat Athala dan serpihan memori yang ada."Kau sudah punya pacar, Lu?" tanya Lee dengan kedua alis yang terangkat. Raut wajah tidak percayanya malah membuatku sedikit salah tingkah."P-pacar?" tanyaku balik dengan sedikit terbata.Lee manatapku bingung, mungkin karena mendengar respon tak biasa yang keluar dari mulutku.Ia menghela napas, kemudian mendudukan tubuhnya di atas ranjang milikku dengan kedua tangan yang bersedekap dada."Aku hanya mengenalinya," ujarku masih dengan netra memandangi sketsa itu. "Juga mencoba memahami rumitnya dia," sambungku.Pacar? Tidak, aku dan Athala tak pernah
Lagi, adegan kala Athala sibuk mengedarkan pandangannya mencariku kembali terulang. Aku memaksa membuka kedua kelopak mataku, tetapi bak ditahan oleh sebuah lem, sulit rasanya terbuka.Air mataku kembali turun, rasanya tidak kuat menahan perasaan mengerat yang melilit dada.Tubuhku bersandar penuh pada kepala ranjang, menatap pintu balkon kamar yang selalu kubuka setiap malamnya. Menatap horden tipis berwarna putih yang berayun seirama dengan angin malam yang menerpanya.Kedua tanganku memeluk erat boneka kecil yang entah sejak kapan berada dalam dekapan, aku tak ingin terlalu memusingkannya.Lagi dan lagi, mimpi perihal Athala dalam dunia nyata kembali terulang. Mimpi saat dimana aku hanya bisa menatapnya tanpa lagi bisa menyentuh dan menyapannya. Seolah aku hanyalah mahluk tak kasat mata yang tak bisa menyentuh manusia seperti Athala. Biar saja aku memposisikan diriku sedemikian, rasa kesal diriku akan tubuhku dan kejadian beberapa waktu silam sering memb
Tak banyak yang bisa kulakukan untuk meratapi ketidakberadaan dirimu, Tha. Hal-hal yang kujalankan dalm dunia nyata tampak seperti paksaan yang malah membuatku mati rasa. Jangan anggap aku manusia yang berlebihan, karena memang begitu kenyataannya.Perlahan, kuresap teh dalam cangkir putih yang beberapa waktu lalu dibuatkan oleh nenek. Pandanganku tertuju pada anak-anak yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar bermain layangan di lapangan depan rumah lewat balkon kamar.Mataku memang menatap ke arah manusia lain, menatap aktivitas mahluk lain seperti Andalusia yang biasnya. Raut wajahku tenang, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah dan rambut panjang tergeraiku.Piyama nyaman berwarna kuning pastel yang melekat pada tubuhku dan belum kuganti sejak kemarin sore tak membuatku risin. Enggan sekali berjalan dan menyiram tubuh menggunakan air dingin di kamar mandi. Aku hanya ingin berdiri di sini dengan pikiran penuh perihalmu, Tha.Aku tak pe