Tak ada yang berarti selain bertemu denganmu, Tha. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akses masuk ke dalam dunia pikiran tertutup begitu saja. Parahnya lagi, untuk tersedot ke depan pintu dunia itu saja tubuhku kini tidak bisa.
Aku rasa memang ini hal yang kau sebut ‘terjadilah apa yang akan terjadi’, arti dari kalimat singkat yang menjadi judul bab sembilan dalam buku ini.
Mataku terpejam, kembali mengembuskna napas tatkala mengingat perihalmu, separuh rasa yang hampa entah karena apa berduyun-duyun menghantuiku siang-malam hanya karena keanehan ini.Bahkan, cuaca mendung dengan rerumputan hijau di bawah sana karena baru saja dibasahi tumpahan air mata awan tak berhasil membuatku merasakan euforia yang biasa dirasa.
Semsta benar-benar memberikan teka-teki baru yang harus kupecahkan sendiri tanpamu, Tha. Memangnya di dunia aslimu juga seperti ini?Disuguhkan teka-teki aneh yang membuatmu kian memikirkanku?
“Aku merindukanmu,” ujarku dengan bibir mAku terperangah merasakan dekapan hangat dari Lee yang begitu kurindukan. Kedua tanganku yang reflek mengudara hanya bisa menggerak-gerakan lima jari dimasing-masing telapak tangan.Kedua mataku juga membola, sedikit merasa de javu merasakan pelukan lama yang sebelumnya lama terlepas begitu saja.Di ujung kolam sana, Joo menatap kami berdua dengan seulas senyum tipis yang hampir tak bisa kudeteksi.Akhirnya aku balik memeluk lee tak kalah erat dengan senyum yang mengembang sempurna. Sedikit mensyukuri insiden kaki kram dan pingsan, sebab hal itu berhasil membuat hubungan renggang kami kembali tertali kencang."Aku rindu pelukan hangat ini, Lee," ujarku jujur masih dengan senyuman mengembang. Tubuh ringkihku menikmati pelukan sayang ini penuh harsa."Aku juga," ujar Lee dengan nada suara yang terdengar melirih.Satu menit setelahnya, kami menguraikan pelukan, bertatap dengan kebahagiaan yang membuncah."Sebagai tanda hu
Memang tak berniat beranjak atau berpikir untuk pulang. Tubuhku menempel pada bangku bersi halte depan sekolah dengan tubuh bersandar pada sandaran yang ada.Sesekali embusan napas keluar dan terdengar kasar, mengingat Athala selalu membuat tubuhku bergeming seperti ini.Tha, sebenarnya teka-teki macam apa ini? Mengapa rasanya hanya aku yang kebingungan di sini?Tak sadar air mataku kembali menetes, ikut turun tepat pada saat hujan dari membasahi jalanan yang sebelumnya kering di depan sana.Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku sendiri, kemungkinan menyakitkan ini terlalu tidak mungkin diakal sehatku. Sama sekali tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak.Jika tahu akan berakhir seperti ini dan mengakibatkan akses masuk dunia kita tertutup tiba-tiba, mungkin untuk tidak hadir dalam perlombaan adalah pilihanku sewaktu itu.Namun harus bagaimana lagi? Apa dengan menyesali tragedi itu kau bisa kembali? Jawabannya juga kau pasti tahu, Th
Langkah kakiku menapak pada paving sekolah yang sedikit basah karena hujan deras semalam. Embusan napas teratur yang keluar dari hidungku seirama dengan degub jantung yang kini stabil.Kedua tanganku bertumpu pada ransel sekolah yang kugendong di belakang punggung.Sedangkan rambut panjang milikku kini diikat kuda seperti biasanya.Ah, mengapa semua hal yang kuceritakan harus membuatku teringat pada Athala, sih?Kuncir kuda dan Athala. Laki-laki itu punya sejuta memori dari sebagian ingatanku.Tha, kau tidak berniat kembali kah?Sebenarnya sakit bila kuungkit lagu. Namun memang pada dasarnya jari tanganku terasa gatal dan ingin menulisnya, aku terpaksa memulainya lagi. Izinkan aku kali ini lagi, tolong.Athala, ini kesekian kalinya bab yang selalu berisi kisahmu. Ralat, kisah kita.Bukannya menyangkal kisah lain yang ada dialur hidupku, Tha. Namun kurasa hanya kisahmu yang patut kuabadikan selain Joo d
"Dia siapa, Lu?" tanya Lee. Jari telunjuknya menunjuk sebuah sketsa wajah Athala yang baru kubuat tiga hari yang lalu.Aku menoleh setelah meletakan buku-buku sejarah yang baru saja baca, lalu berjalan menuju tempat Lee berdiri dengan netra memandangi sketsa laki-laki itu.Aku tersenyum getir, kembali mengingat Athala dan serpihan memori yang ada."Kau sudah punya pacar, Lu?" tanya Lee dengan kedua alis yang terangkat. Raut wajah tidak percayanya malah membuatku sedikit salah tingkah."P-pacar?" tanyaku balik dengan sedikit terbata.Lee manatapku bingung, mungkin karena mendengar respon tak biasa yang keluar dari mulutku.Ia menghela napas, kemudian mendudukan tubuhnya di atas ranjang milikku dengan kedua tangan yang bersedekap dada."Aku hanya mengenalinya," ujarku masih dengan netra memandangi sketsa itu. "Juga mencoba memahami rumitnya dia," sambungku.Pacar? Tidak, aku dan Athala tak pernah
Lagi, adegan kala Athala sibuk mengedarkan pandangannya mencariku kembali terulang. Aku memaksa membuka kedua kelopak mataku, tetapi bak ditahan oleh sebuah lem, sulit rasanya terbuka.Air mataku kembali turun, rasanya tidak kuat menahan perasaan mengerat yang melilit dada.Tubuhku bersandar penuh pada kepala ranjang, menatap pintu balkon kamar yang selalu kubuka setiap malamnya. Menatap horden tipis berwarna putih yang berayun seirama dengan angin malam yang menerpanya.Kedua tanganku memeluk erat boneka kecil yang entah sejak kapan berada dalam dekapan, aku tak ingin terlalu memusingkannya.Lagi dan lagi, mimpi perihal Athala dalam dunia nyata kembali terulang. Mimpi saat dimana aku hanya bisa menatapnya tanpa lagi bisa menyentuh dan menyapannya. Seolah aku hanyalah mahluk tak kasat mata yang tak bisa menyentuh manusia seperti Athala. Biar saja aku memposisikan diriku sedemikian, rasa kesal diriku akan tubuhku dan kejadian beberapa waktu silam sering memb
Tak banyak yang bisa kulakukan untuk meratapi ketidakberadaan dirimu, Tha. Hal-hal yang kujalankan dalm dunia nyata tampak seperti paksaan yang malah membuatku mati rasa. Jangan anggap aku manusia yang berlebihan, karena memang begitu kenyataannya.Perlahan, kuresap teh dalam cangkir putih yang beberapa waktu lalu dibuatkan oleh nenek. Pandanganku tertuju pada anak-anak yang kira-kira masih duduk di bangku sekolah dasar bermain layangan di lapangan depan rumah lewat balkon kamar.Mataku memang menatap ke arah manusia lain, menatap aktivitas mahluk lain seperti Andalusia yang biasnya. Raut wajahku tenang, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah dan rambut panjang tergeraiku.Piyama nyaman berwarna kuning pastel yang melekat pada tubuhku dan belum kuganti sejak kemarin sore tak membuatku risin. Enggan sekali berjalan dan menyiram tubuh menggunakan air dingin di kamar mandi. Aku hanya ingin berdiri di sini dengan pikiran penuh perihalmu, Tha.Aku tak pe
Ting!Gelas kecil berisi kopi tubruk milikku, Joo, juga Lee saling bertubrukan. Kami mulai menyesap kopi hitam dalam genggam tangan dengan senyuman merekah yang tampak pada masing-masing wajah.Joo lebih dulu meletakan gelas miliknya di atas meja, menatapku dan Lee yang duduk bersebelahan dengan senyuman yang terpatri jelas pada jawahnya.Aku ikut meletakan gelas milikku, kemudian mengedarkan pandangan mencari pelayan cafe untuk menambah menu makanan yang dirasanya belum sempat kupesan.Kopi dan sandwich di atas meja tak bisa mengganjal penuh perut kami, mungkin karena Lee terlalu irit untuk memesan menggunakan uangnya sendiri.“Ada yang ingin dipesan lagi, Kak?” ujar pelayan berseragam hitam putih dengan sebuah clemek dan tangan yang memegagi catatan.“Paket B, ya,” ujarku memberitahu dengan seutas senyuman. Menunjuk paket menu berisi lima variasi makanan yang ada pada buku menu.Pelayan muda itu lantas mengangguk, mencatat pesananku dan berlalu d
Hari hingga minggu berlalu, yang bisa kulakukan setelah satu bulan penuh kau tenggelam dalam pikiran, yang kulakukan hanya merenung dan meratapi nasib hidup yang kurasa tak pernah baik.Tha, tolong jangan salahkan manusia lemah sepertiku yang tak mudah merelakan sesuatu. Sebab, memang pada kenyataannya aku tak akan pernah sudi merelakan sesuatu yang sudah memberiku kenyamanan.“Lu!” seruan kencang dari belakang tubuhku reflek membuatku menoleh.Senyumanku langsung mengembang kala Lee melambai-lambaikan satu tangannya dengan senyuman merekah. Suasana Cafe cukup tenang, tak perlu malu menjadi pusat perhatian karena seruan gadis itu.Namun kerutan dahiku tampak kala mendapati presensi di belakang tubuh Lee.Hingga dua manusia itu mendekat dan duduk di banggku kosong yang ada di depanku, aku hanya bisa menatap manik Lee dan laki-laki asing itu secara bergantian.Sedikit tak menyangka bila gadis itu benar-benar mendatangkan laki-laki yang disebutnya
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e