Ting!
Gelas kecil berisi kopi tubruk milikku, Joo, juga Lee saling bertubrukan. Kami mulai menyesap kopi hitam dalam genggam tangan dengan senyuman merekah yang tampak pada masing-masing wajah.Joo lebih dulu meletakan gelas miliknya di atas meja, menatapku dan Lee yang duduk bersebelahan dengan senyuman yang terpatri jelas pada jawahnya.Aku ikut meletakan gelas milikku, kemudian mengedarkan pandangan mencari pelayan cafe untuk menambah menu makanan yang dirasanya belum sempat kupesan.
Kopi dan sandwich di atas meja tak bisa mengganjal penuh perut kami, mungkin karena Lee terlalu irit untuk memesan menggunakan uangnya sendiri.“Ada yang ingin dipesan lagi, Kak?” ujar pelayan berseragam hitam putih dengan sebuah clemek dan tangan yang memegagi catatan.“Paket B, ya,” ujarku memberitahu dengan seutas senyuman. Menunjuk paket menu berisi lima variasi makanan yang ada pada buku menu.Pelayan muda itu lantas mengangguk, mencatat pesananku dan berlalu d
Hari hingga minggu berlalu, yang bisa kulakukan setelah satu bulan penuh kau tenggelam dalam pikiran, yang kulakukan hanya merenung dan meratapi nasib hidup yang kurasa tak pernah baik.Tha, tolong jangan salahkan manusia lemah sepertiku yang tak mudah merelakan sesuatu. Sebab, memang pada kenyataannya aku tak akan pernah sudi merelakan sesuatu yang sudah memberiku kenyamanan.“Lu!” seruan kencang dari belakang tubuhku reflek membuatku menoleh.Senyumanku langsung mengembang kala Lee melambai-lambaikan satu tangannya dengan senyuman merekah. Suasana Cafe cukup tenang, tak perlu malu menjadi pusat perhatian karena seruan gadis itu.Namun kerutan dahiku tampak kala mendapati presensi di belakang tubuh Lee.Hingga dua manusia itu mendekat dan duduk di banggku kosong yang ada di depanku, aku hanya bisa menatap manik Lee dan laki-laki asing itu secara bergantian.Sedikit tak menyangka bila gadis itu benar-benar mendatangkan laki-laki yang disebutnya
Decakan kagum dan raut wajah bahagia tak luntur dari seluruh manusia yang singgah di lapangan desa lumayan luas ini. Tidak terkecuali aku, gaun putih lusuh yang kupakai bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang menerpa.Sedangkan tangan kiriku yang terus ditarik Winda agar lebih dalam memasuki kerumunan manusia sama sekali tak membuatku kesal. Senyumanku merekah, sesekali melempar tatapan kagum pada penduduk asli desa ini yang mentapku dengan tatapan bingungnya. Mungkin, merasa tak pernah melihatku di desa ini.“Kak, itu lampionnya.” Winda menunjuk kerumunan manusia di ujung lapangan yang menjual lampion berbagai warna dan motif yang berbeda.Aku mengangguk, lantas membiarkan tangan kiriku kembali ditarik gadis kecil berusia dua tahun lebih muda dariku menuju kerumunan manusia itu.“Yang mana, Kak?’ tanya Winda. Kedua tangannya menujukan lampion dengan warna dan model yang berbeda.Aku menimang sebentar, kemudian menunjuk lampion berwarna merah d
Entah, rasanya kurang mengenakan bila setiap bab cerita yang kutulis bukan perihalmu yang pertama aku utarkan.Ada bagian dari diriku yang menolak dan tidak terima hal kecil itu selalu menjadi kebiasaan.Mungkin, kebiasaan kecil itu bisa menjadi bemerang yang meneyerangku kala lengah. Melupakanmu misalnya, atau malah dirimu yang tiba-tiba amnesia dan berlagak tak lagi mengenalku ebagai manusia lain yang terjebak bersamamu di dunia pikiran.Tha, bilamana ada bagian dari diriku yang kurang mengenakanmu, yang menjadikanku jahat dalam cerita versimu, walau rasanya tidak mungkin ... kemungkinan itu pasti ada. Dan sialnya manusia sepertiku tak pernah berkehendak untuk menyangkalnya.Satu bagian cerita ini kutulis cuma-cuma tentang pertemuan pertama kita di dunia pikiran.Kala itu, yang kita berdia rasakan hanyalah keterkejutan dan rasa penasaran yang menggelora dada. Tak ada rasa menggelitik yang kau rasa atau tasa tak nyaman dan ingin pu
Suara pluit menggema disusul dengan suara ceburan peserta ujian akhir.Aku menatap Joo yang menjadi salah saru peserta yang baru saja memulai praktek berenangnya, laki-laki itu tampak tenang mengayunkan tangan dengan sesekali memunculkan wajah ke atas permukaan.Lee, gadis cantik seumuranku yang duduk di bangku samping kiriku sesekali bertepuk tangan dengan senyuman lebar merekah. Netranya sama sekali tak bergulir ke arah lain, fokusnya hanya pada Joo sejak laki-laki itu menceburkan diri ke kolam renang.Tanpa sepengetahuan Lee, aku tersenyum tipis. Ikut andil merasa bahagia yang setara mengingat kedekatan dua manusia yang dulunya menolak bersama.Joo dan Lee semakin dekat, tak ada canggung ataupun rasa sebal yang terasa bila menghabiskan waktu bersama.Benar kata Athala, segalanya memang perihal waktu saja."Joo, semangat!" seruan kencang Lee kembali terdengar. Aku mendengus kala merasakan telingaku berdengung kare
“Lu, akhirnya kau bangun,” pekikan kencang Lee samar-samar kudengar.Perlahan kedua mataku terbuka sempurna setelah beberapa detik mengerjap. Dengan perasaan yang tak bisa di deskripsikan dan ditambah lagi rasa pening pada kepala bagian samping. Lengkap sudah rasa sakit yang kurasa.“Shh, dimana ini Lee?” tanyaku dengan suara serak dan dahi yang bergerut bingung.Tubuhku yang semulanya bergerak ingin bersandar pada ranjang langsung ditahannya, membuat tubuhku dengan sangat terpaksa kembali berbaring di ranjang kecil dan bantal yang kurasakan empuknya.“Kau ada di klinik dekat pelatihan renang,” ujar Lee memberi tahu. Tangannya menodorkan segelas air putih, membantuku untuk meneguknya perlahan hingga air pada gelas bening itu tersisa setengah.“Kau selalu membuatku khawatir, tahu!” seru gadis itu cukup kencang setelah tangannya meletakan gelas pada nakas samping brangkar.Aku terkekeh menanggapinya, sedikit meringis kala nyeri pada kepala kembali teras
Jalan takdir kan memang seperti itu, Tha. Kita sendiri kadang tak mengerti bagaimana alur dan cara menyelesaikannya. Bahkan, kapan dimulainya saja sulit untuk diri kita ketahui.Terlepas dari hal-hal berbau menyebalkan yang bisa saja merenggut apa yang ada di sekitar, bab kali ini lagi-lagi kupersembahkan untukmu. Juga untuk kisah kelabu kita yang belum sempat dirundingkan namanya.Namun, tak pernah terlintas hal-hal menyebalkan yang bisa saja mampir dalam siklus hidup, Tha. Mungkin karena sepenuhnya hidupku hanya berada dalam pusaran milikmu dan dunia pikiran. Terlepas dari dua hal itu, tidak kuanggap sebagai alur kehidupan.Juga kehadiran fanamu, manusia lain yang secara tak sengaja singgah dan merajut kenangan bersama denganku di dunia putih. Memang sempat menyesal bisa berada di awang-awang dunia lain, tetapi sekarang yang kuraskaan hanya sesal yang mendesak raga.Kini rasa sebal yang selalu menghampiri kala tubuhku terenggut begitu saja saat wakt
Aku terkekeh, merasa tak percaya akan kalimat tanya yang baru saja di lontarkan Athala. Lelucon macam apa ini?Apa dia anggap aku gadis kecil yang mudah sekali di bohongi?Demi apapun, lelucon yang baru saja dilontarkannya hanya kalimat singgat. Tetapi mengapa aku merasa lucu dan sesak sekaligus, tuhan?Tidak mungkin jika…,“Kau tidak mengenalku?” tanyaku hati-hati. Dalam hati, aku berharap Athala menjawabnya dengan kalimat menyenangkan yang bisa mengembalikan moodku yang kini meluruh karena ucapannya waktu lalu.“Tidak, aku tidak mengenalimu sama sekali. Maaf, mungkin kau salah orang,” ujarnya enteng dengan satu alis yang terangkat.Harapanku diluruhkannya begitu saja, tubuhku terkuai lemas, terjatuh di atas rerumputan hijau di dunia pikiran dengan padangan kosong menerawang, berniat memikirkan apa yang baru saja terjadi.Bagaimanaa raut wajah Athala yang serius, bola mata yang tak ada celah sedikitpun kebohongan, juga tubuh rileksnya yang tampak baik
Ujian Nasional datang, merasa tak ada yang perlu kukhawatirkan perihal hal ini. Mematangkan pikiran dan berusaha untuk tidak memikirkan hal lain yang bisa saja mengganggu konsentrasi mengerjakan soalku nantinya.Tha, aku tak bisa berbohong juga perihalmu. Untuk sekarang, satu-satunya cara agar tetap fokus dalam mengerjakan ujian selama satu minggu ini, hanya bergantung padamu. Sebisa mungkin menghindari keberadaanmu walau berada dalam dunia yang sama, dunia pikiran.Seperti sekarang ini, aku berjalan mengendap-ngendap berharap tak mendapati tubuh tegap Athala yang pasti berada di dunia pikiran ini.Aku menghela napas lega, tak ada yang perlu kukhawatirkan setelah berhasil melewati jalan panjang penuh kerikil untuk sampai di goa kecil yang ada di ujung dunia pikiran cukup luas ini.Aku menyandarkan tubuhku pada batu besar yang ada di dalam goa berukuran kecil ini, kedua kakiku kuluruskan dengan napas yang sedikit terengah-engah.Perjalanan awal hingga sampa