Hari hingga minggu berlalu, yang bisa kulakukan setelah satu bulan penuh kau tenggelam dalam pikiran, yang kulakukan hanya merenung dan meratapi nasib hidup yang kurasa tak pernah baik.
Tha, tolong jangan salahkan manusia lemah sepertiku yang tak mudah merelakan sesuatu. Sebab, memang pada kenyataannya aku tak akan pernah sudi merelakan sesuatu yang sudah memberiku kenyamanan.“Lu!” seruan kencang dari belakang tubuhku reflek membuatku menoleh.Senyumanku langsung mengembang kala Lee melambai-lambaikan satu tangannya dengan senyuman merekah. Suasana Cafe cukup tenang, tak perlu malu menjadi pusat perhatian karena seruan gadis itu.
Namun kerutan dahiku tampak kala mendapati presensi di belakang tubuh Lee. Hingga dua manusia itu mendekat dan duduk di banggku kosong yang ada di depanku, aku hanya bisa menatap manik Lee dan laki-laki asing itu secara bergantian.Sedikit tak menyangka bila gadis itu benar-benar mendatangkan laki-laki yang disebutnya
Decakan kagum dan raut wajah bahagia tak luntur dari seluruh manusia yang singgah di lapangan desa lumayan luas ini. Tidak terkecuali aku, gaun putih lusuh yang kupakai bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang menerpa.Sedangkan tangan kiriku yang terus ditarik Winda agar lebih dalam memasuki kerumunan manusia sama sekali tak membuatku kesal. Senyumanku merekah, sesekali melempar tatapan kagum pada penduduk asli desa ini yang mentapku dengan tatapan bingungnya. Mungkin, merasa tak pernah melihatku di desa ini.“Kak, itu lampionnya.” Winda menunjuk kerumunan manusia di ujung lapangan yang menjual lampion berbagai warna dan motif yang berbeda.Aku mengangguk, lantas membiarkan tangan kiriku kembali ditarik gadis kecil berusia dua tahun lebih muda dariku menuju kerumunan manusia itu.“Yang mana, Kak?’ tanya Winda. Kedua tangannya menujukan lampion dengan warna dan model yang berbeda.Aku menimang sebentar, kemudian menunjuk lampion berwarna merah d
Entah, rasanya kurang mengenakan bila setiap bab cerita yang kutulis bukan perihalmu yang pertama aku utarkan.Ada bagian dari diriku yang menolak dan tidak terima hal kecil itu selalu menjadi kebiasaan.Mungkin, kebiasaan kecil itu bisa menjadi bemerang yang meneyerangku kala lengah. Melupakanmu misalnya, atau malah dirimu yang tiba-tiba amnesia dan berlagak tak lagi mengenalku ebagai manusia lain yang terjebak bersamamu di dunia pikiran.Tha, bilamana ada bagian dari diriku yang kurang mengenakanmu, yang menjadikanku jahat dalam cerita versimu, walau rasanya tidak mungkin ... kemungkinan itu pasti ada. Dan sialnya manusia sepertiku tak pernah berkehendak untuk menyangkalnya.Satu bagian cerita ini kutulis cuma-cuma tentang pertemuan pertama kita di dunia pikiran.Kala itu, yang kita berdia rasakan hanyalah keterkejutan dan rasa penasaran yang menggelora dada. Tak ada rasa menggelitik yang kau rasa atau tasa tak nyaman dan ingin pu
Suara pluit menggema disusul dengan suara ceburan peserta ujian akhir.Aku menatap Joo yang menjadi salah saru peserta yang baru saja memulai praktek berenangnya, laki-laki itu tampak tenang mengayunkan tangan dengan sesekali memunculkan wajah ke atas permukaan.Lee, gadis cantik seumuranku yang duduk di bangku samping kiriku sesekali bertepuk tangan dengan senyuman lebar merekah. Netranya sama sekali tak bergulir ke arah lain, fokusnya hanya pada Joo sejak laki-laki itu menceburkan diri ke kolam renang.Tanpa sepengetahuan Lee, aku tersenyum tipis. Ikut andil merasa bahagia yang setara mengingat kedekatan dua manusia yang dulunya menolak bersama.Joo dan Lee semakin dekat, tak ada canggung ataupun rasa sebal yang terasa bila menghabiskan waktu bersama.Benar kata Athala, segalanya memang perihal waktu saja."Joo, semangat!" seruan kencang Lee kembali terdengar. Aku mendengus kala merasakan telingaku berdengung kare
“Lu, akhirnya kau bangun,” pekikan kencang Lee samar-samar kudengar.Perlahan kedua mataku terbuka sempurna setelah beberapa detik mengerjap. Dengan perasaan yang tak bisa di deskripsikan dan ditambah lagi rasa pening pada kepala bagian samping. Lengkap sudah rasa sakit yang kurasa.“Shh, dimana ini Lee?” tanyaku dengan suara serak dan dahi yang bergerut bingung.Tubuhku yang semulanya bergerak ingin bersandar pada ranjang langsung ditahannya, membuat tubuhku dengan sangat terpaksa kembali berbaring di ranjang kecil dan bantal yang kurasakan empuknya.“Kau ada di klinik dekat pelatihan renang,” ujar Lee memberi tahu. Tangannya menodorkan segelas air putih, membantuku untuk meneguknya perlahan hingga air pada gelas bening itu tersisa setengah.“Kau selalu membuatku khawatir, tahu!” seru gadis itu cukup kencang setelah tangannya meletakan gelas pada nakas samping brangkar.Aku terkekeh menanggapinya, sedikit meringis kala nyeri pada kepala kembali teras
Jalan takdir kan memang seperti itu, Tha. Kita sendiri kadang tak mengerti bagaimana alur dan cara menyelesaikannya. Bahkan, kapan dimulainya saja sulit untuk diri kita ketahui.Terlepas dari hal-hal berbau menyebalkan yang bisa saja merenggut apa yang ada di sekitar, bab kali ini lagi-lagi kupersembahkan untukmu. Juga untuk kisah kelabu kita yang belum sempat dirundingkan namanya.Namun, tak pernah terlintas hal-hal menyebalkan yang bisa saja mampir dalam siklus hidup, Tha. Mungkin karena sepenuhnya hidupku hanya berada dalam pusaran milikmu dan dunia pikiran. Terlepas dari dua hal itu, tidak kuanggap sebagai alur kehidupan.Juga kehadiran fanamu, manusia lain yang secara tak sengaja singgah dan merajut kenangan bersama denganku di dunia putih. Memang sempat menyesal bisa berada di awang-awang dunia lain, tetapi sekarang yang kuraskaan hanya sesal yang mendesak raga.Kini rasa sebal yang selalu menghampiri kala tubuhku terenggut begitu saja saat wakt
Aku terkekeh, merasa tak percaya akan kalimat tanya yang baru saja di lontarkan Athala. Lelucon macam apa ini?Apa dia anggap aku gadis kecil yang mudah sekali di bohongi?Demi apapun, lelucon yang baru saja dilontarkannya hanya kalimat singgat. Tetapi mengapa aku merasa lucu dan sesak sekaligus, tuhan?Tidak mungkin jika…,“Kau tidak mengenalku?” tanyaku hati-hati. Dalam hati, aku berharap Athala menjawabnya dengan kalimat menyenangkan yang bisa mengembalikan moodku yang kini meluruh karena ucapannya waktu lalu.“Tidak, aku tidak mengenalimu sama sekali. Maaf, mungkin kau salah orang,” ujarnya enteng dengan satu alis yang terangkat.Harapanku diluruhkannya begitu saja, tubuhku terkuai lemas, terjatuh di atas rerumputan hijau di dunia pikiran dengan padangan kosong menerawang, berniat memikirkan apa yang baru saja terjadi.Bagaimanaa raut wajah Athala yang serius, bola mata yang tak ada celah sedikitpun kebohongan, juga tubuh rileksnya yang tampak baik
Ujian Nasional datang, merasa tak ada yang perlu kukhawatirkan perihal hal ini. Mematangkan pikiran dan berusaha untuk tidak memikirkan hal lain yang bisa saja mengganggu konsentrasi mengerjakan soalku nantinya.Tha, aku tak bisa berbohong juga perihalmu. Untuk sekarang, satu-satunya cara agar tetap fokus dalam mengerjakan ujian selama satu minggu ini, hanya bergantung padamu. Sebisa mungkin menghindari keberadaanmu walau berada dalam dunia yang sama, dunia pikiran.Seperti sekarang ini, aku berjalan mengendap-ngendap berharap tak mendapati tubuh tegap Athala yang pasti berada di dunia pikiran ini.Aku menghela napas lega, tak ada yang perlu kukhawatirkan setelah berhasil melewati jalan panjang penuh kerikil untuk sampai di goa kecil yang ada di ujung dunia pikiran cukup luas ini.Aku menyandarkan tubuhku pada batu besar yang ada di dalam goa berukuran kecil ini, kedua kakiku kuluruskan dengan napas yang sedikit terengah-engah.Perjalanan awal hingga sampa
Ujian nasional tak membuat tubuhku memilih berhenti untuk berenang.Kini, bersama Joo dan Lee berada di dalam kolam renang dalam pemanasan.Sesekali wajah kami tampak di permukaan, menghirup udara sesekali sampai suara pluit mengudara.Joo lebih dulu naik ke atas permukaan, kemudian menarik Lee lebih dulu. Setelahnya, mereka menarikku dengan satu tangannya masing-masing.Kelas pagi hendak di mulai, memaksa seluruh manusia yang turut serta berukumpul di titik kumpul untuk mendengar pidato singkat dari sang pelatih.Begitupun diriku, Lee, dan Joo, mulai melangkahkan kaki dan langsung memposisikan tangan istirahat di tempat.Hampit lima belas jam mendengar Pak Yandi—pemilik gedung ini, berceloteh panjangg yang dikiranya singat. Cukup membosankan bagi semua murid, termasuk diriku."Joo, kau memakai mobil hari ini?" tanyaku dengan satu alis terangkat setelah kami dibubarkan untuk pemanasan personal.&
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e